Akuntabilitas Studi Banding Dewan
BELUM usai kontroversi pembangunan gedung baru yang rencananya menelan anggaran Rp 1,6 triliun, anggota dewan yang terhormat kembali membuat kejutan dengan agenda kunjungan kerja ke luar negeri. Agenda ini terkuak oleh publik ketika Panja RUU Pramuka Komisi X berencana melawat ke Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang.
Merujuk pada data yang dilansir Indonesia Budget Center (2010), total anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan studi banding ke luar negeri mencapai 162,9 miliar. Rinciannya, total anggaran kunjungan kerja terbagi ke dalam empat tupoksi dewan, yakni fungsi legislasi (Rp 73,4 miliar), kemudian fungsi pengawasan (Rp 45,9 miliar). Selanjutnya, fungsi anggaran (Rp 2,026 miliar) dan yang terakhir, fungsi membangun kerja sama internasional dan fungsi lain (Rp 41,4 miliar). Ini berarti, untuk semua pelaksanaan fungsi dan tugas pokok anggota dewan, terdapat komponen kunjungan ke luar negeri.
Ironisnya, peningkatan fantastis alokasi anggaran studi banding ke luar negeri dari 2005 yang hanya Rp 23,6 miliar menjadi Rp 162,9 miliar pada 2010 tidak berbanding lurus dengan kinerja anggota dewan. Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2010), dari penilaian terhadap kinerja legislasi saja, untuk periode masa sidang III 2009-2010, DPR hanya bisa merampungkan pembahasan lima RUU, dari 70 RUU yang seharusnya dituntaskan hingga akhir 2010. Belum lagi secara kualitas, produk legislasi DPR rawan digugat oleh berbagai pihak, baik melalui instrumen judicial review maupun legislative review.
Kedok Plesiran?
Membayangkan anggota dewan tidak pernah sekali pun pergi ke luar negeri barangkali sulit. Apalagi, sudah timbul persepsi bahwa salah satu kementerengan sebagai wakil rakyat adalah bisa jalan-jalan ke luar negeri, khususnya dengan ''menumpang'' alasan studi banding atau kunjungan kerja.
Yang juga menarik, banyak di antara mereka justru ketika berada di luar negeri tepergok tengah berada di pusat-pusat perbelanjaan terkenal. Hingga di Paris, Prancis, terdapat butik terkenal yang secara khusus menyediakan pelayan toko yang pandai berbahasa Indonesia untuk melayani turis Indonesia, termasuk turis yang menggunakan jas berlogo garuda, serta datang dengan menggunakan anggaran negara.
Terlepas dari kemampuan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang pas-pasan, atau bahkan tidak bisa sama sekali, Eropa dan Amerika Serikat tetap menjadi target favorit untuk lokus studi banding. Penolakan dari Pemerintah Kanada terhadap permohonan studi banding Panja RUU Pramuka Komisi X seharusnya bisa dibaca sebagai ''kemuakan'' negara lain atas sikap pejabat publik kita.
Di luar soal gagah-gagahan, satu hal yang diburu dalam agenda ''studi banding'' ke luar negeri adalah besarnya uang saku yang bisa dikantongi. Untuk 2008 saja, uang saku untuk studi banding ke luar negeri bisa mencapai USD 500. Jika kegiatan tersebut dilakukan dalam waktu delapan hari, termasuk perjalanan dari Jakarta hingga kembali lagi ke Indonesia, uang saku yang bisa dikantongi adalah USD 4000 per anggota. Anggaran tersebut lebih mudah dihabiskan tanpa pertanggungjawaban karena skemanya menggunakan lunsum atau gelondongan.
Dua Akuntabilitas
Untuk mengurangi hasrat ke luar negeri anggota dewan yang lebih didominasi motif rekreasi dibandingkan mencari informasi penting bagi penguatan fungsi dan tugas pokoknya, studi banding harus setidaknya memenuhi dua jenis pertanggungjawaban, yakni akuntabilitas politik dan akuntabilitas administrasi-finansial.
Akuntabilitas politik berarti bahwa dalam setiap kegiatan studi banding ke luar negeri, setiap anggota dewan yang berangkat harus dapat mempertanggungjawabkan hasilnya. Informasi apa yang diperoleh, ke mana saja target spesifik studi banding, dengan siapa saja pertemuan dilakukan dan bagaimana rekam proses dari seluruh aktivitasnya harus bisa didokumentasikan secara benar sekaligus tecermin dalam setiap pelaksanaan fungsi dan tugas pokok mereka ketika kembali bertugas di Senayan.
Jika pertanggungjawaban ini tidak dilakukan, secara politik, anggota dewan yang berkunjung ke luar negeri harus dikenai sanksi, baik melalui mekanisme badan kehormatan maupun mekanisme internal partai politik.
Terakhir, akuntabilitas administrasi-finansial berarti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan anggota dewan untuk keperluan studi banding ke luar negeri harus bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Jika memang komponen uang saku adalah untuk mengcover transportasi, akomodasi, dan uang makan, pertanggungjawaban administrasi harus melekat pada tiga item tersebut.
Karena itu, sudah saatnya dalam pertanggungjawaban administrasi-finansial kunjungan kerja ke luar negeri, diterapkan sistem actual cost, bukan lunsum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu institusi negara yang sudah menerapkan sistem anggaran aktual dalam setiap kegiatan perjalanan dinas, baik ke luar negeri maupun dalam negeri.
Konsekuensi dari penerapan anggaran aktual, tidak ada sisa uang saku yang bisa dikantongi anggota dewan karena negara hanya mendanai kegiatan aktual. Sementara item belanja, jalan-jalan ke berbagai tempat wisata selama di luar negeri pasti tidak akan ditunjang oleh negara. Jika ini diterapkan, bisa dipastikan jumlah kunjungan ke luar negeri akan berkurang drastis pada tahun-tahun selanjutnya.
Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 September 2010