Akuntabilitas Pemeriksaan Pembelian Lahan Sumber Waras

Kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta belum tuntas. Pekan ini, KPK mengaku belum menemukan unsur korupsi selama penyelidikan kasus ini.

Kasus ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan DKI Jakarta yang menyatakan terdapat pelanggaran prosedur dan kerugian negara dalam pembelian lahan rumah sakit seluas 36.410 meter persegi itu. Kerugian mencapai Rp 191,3 miliar.

Atas temuan ini, sejumlah pihak melapor ke KPK. Komisi antirasuah kemudian meminta BPK RI melakukan audit investigatif. Hasilnya sama dengan temuan BPK DKI: pembelian rumah sakit melanggar prosedur pengadaan tanah dan mengakibatkan kerugian negara Rp 191,3 miliar.

Sangat sulit menilai akuntabilitas pemeriksaan ini karena informasi dan bukti tentang hal tersebut sangat sulit diperoleh. Namun, penilaian akuntabilitas pemeriksaan juga dapat dilakukan dengan menelaah secara mendalam temuan-temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK serta konteks kepentingan yang melingkupinya.

LHP BPK Jakarta memuat tujuh temuan dalam kaitan dengan kasus ini. Pertama, penunjukan lokasi tidak sesuai dengan ketentuan; kedua, terjadi pelanggaran prosedur pembelian tanah; ketiga, proses penganggaran tidak sesuai dengan ketentuan; keempat, penetapan lokasi tanah tidak melalui proses studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar; kelima, pembelian dilakukan pada masa berlaku kontrak antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan PT Ciputra Karya Utama. Lalu keenam, tanah yang diserahkan tidak sesuai dengan yang ditawarkan; dan ketujuh, pemerintah DKI Jakarta membayar sebelum pihak Yayasan memenuhi kewajiban membayar tunggakan pajak bumi dan bangunan rumah sakit senilai Rp 6,6 miliar.

Tiga dari tujuh temuan tersebut menarik dicermati karena mengarah pada tindak pidana korupsi. Pertama, BPK menyatakan pembelian tanah Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta tidak sesuai dengan prosedur. BPK mengacu pada Pasal 13 UndangUndang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Pasal 2, 5, dan 6 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 ten tang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai dasar hukum prosedur pembelian lahan rumah sakit. BPK Jakarta menyatakan pemerintah Jakarta tidak mematuhi aturan ini.

Tapi, BPK Jakarta tampaknya mengabaikan satu pasal penting dalam prosedur pengadaan, yakni aspek luas tanah yang akan dibeli. Pasal 121 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 menyatakan proses pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan dan pemilik tanah. Konsekuensi adanya pasal ini adalah pemerintah DKI Jakarta tidak perlu mengikuti prosedur yang diatur dalam pasal lain dalam undang-undang atau peraturan presiden tersebut. Pemerintah cukup membentuk tim pembelian tanah.

Pasal 121 juga berkaitan dengan soal penetapan lokasi tanah. Jika lokasi tanah telah ditetapkan dalam anggaran, instansi tersebut tidak lagi harus menetapkan lokasi tanah yang akan dibeli. Lokasi tanah telah ditetapkan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan 2014. KUA-PPAS ini juga telah disetujui oleh Gubernur dan pimpinan DPRD DKI.

Kedua, BPK Jakarta menghitung kerugian negara berdasarkan nilai kontrak pembelian antara Yayasan dan PT Ciputra pada 2013 dengan harga tanah Rp 15,5 juta per meter persegi. Dengan demikian, nilai total pembelian lahan Sumber Waras oleh DKI seharusnya adalah Rp 564,3 miliar. Karena itu, kerugian negara menjadi Rp 191,3 miliar.

Mengapa LHP BPK tidak menggunakan nilai jual obyek pajak (NJOP) 2014 sebesar Rp 20,7 juta permeter persegi sebagai dasar penghitungan kerugian negara? NJOP ditetapkan pada Juni tiap tahun, sementara transaksi pembelian Sumber Waras dilakukan pada Desember 2014.

Seharusnya ada pemeriksaan lebih dalam soal adakah unsur pelanggaran prosedur atau kesengajaan menaikkan harga dalam perhitungan NJOP 2014? Zona nilai tanah Sumber Waras memiliki kode AB, yang merujuk pada tanah di Jalan Kyai Tapa, bukan Jalan Tomang Utara. Dengan demikian, seharusnya NJOP lahan rumah sakit pada 2014, bukan NJOP 2013, bernilai Rp 20 juta lebih. Pemeriksa BPK Jakarta tampaknya kurang cermat memeriksa hal ini.

Belum lagi adanya dugaan konflik kepentingan pemimpin BPK Jakarta, EDN, yang memeriksa pembelian Sumber Waras. EDN diduga memiliki konflik kepentingan karena punya dua bidang tanah 9 ribu meter persegi di tengah pemakaman Pondok Kelapa. Dia berusaha merayu pemerintah DKI Jakarta agar membeli tanah tersebut, tapi ditolak karena lahan tersebut telah dibebaskan. Bulan lalu, EDN dicopot dari jabatannya.

Pendeknya, pemeriksaan BPK Jakarta atas pembelian lahan Sumber Waras pada 2014 belum akuntabel. Pelanggaran prosedur dan kerugian negara yang dituduhkan dalam pembelian lahan tersebut sangat janggal, belum obyektif dan independen. Karena itu, BPK RI harus mengulang pemeriksaan dan LHP BPK Jakarta belum bisa dijadikan bukti untuk mengusut kasus ini.

Febri Hendri A.A., koordinator divisi investigasi Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 4 Maret 2016
 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan