Akuntabilitas Keuangan Partai Politik
Sampai Agustus lalu, ternyata baru tiga partai politik yang memberikan laporan keuangan tahun 2005 ke Komisi Pemilihan Umum. Meski sudah molor hingga satu bulan lebih, baru Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Golongan Karya, dan Partai Demokrat yang memberikan laporan. Ke mana 47 partai yang lain?
Lalainya partai politik dalam pembuatan laporan keuangan, kewajiban audit, serta pelaporan keuangan ke KPU tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai gejala kelalaian administratif biasa. Setidaknya terdapat dua hal yang dapat menjadi persoalan berkaitan dengan kelalaian ini.
Pertama, hilangnya hak kader partai, pengurus, serta konstituen partai untuk mengetahui kondisi keuangan partai (akuntabilitas internal). Kedua, hilangnya hak publik secara luas untuk mengetahui dampak penerimaan dan belanja partai terhadap kebijakan publik (akuntabilitas eksternal). Soal kedua sangat erat berkaitan dengan peran partai politik yang selama ini dinilai dominan berpengaruh dalam konteks kebijakan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
Akuntabilitas internal
Laporan keuangan partai politik seharusnya dapat menjadi alat kontrol secara internal terhadap berjalannya organisasi partai. Benarkah otoritas keuangan partai telah mempertanggungjawabkan semua pendapatan partai? Atau ada sumber penghasilan lain yang tidak tercatat atau dibuat kabur?
Partai politik dilarang menerima sumbangan dari beberapa sumber pendanaan, seperti pihak asing, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, yayasan, dan lembaga swadaya masyarakat, menerima sumbangan yang tidak jelas identitasnya atau melebihi batasan, serta mendirikan badan usaha. Partai yang melanggar ketentuan ini dapat diganjar dengan hukuman dari teguran terbuka hingga larangan mengikuti pemilu berikutnya atas perintah pengadilan (Pasal 27 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik).
Konsekuensi yang bakal diterima akibat kelalaian pengurusan keuangan secara internal dapat fatal bagi partai politik. Dengan adanya laporan keuangan, pengurus atau kader partai dapat mengontrol jalannya aliran uang yang masuk dan keluar dari rekening partai politik. Kalau selama ini politikus sering mengeluh dengan besarnya setoran ke partai, laporan keuangan dapat menjadi tolak ukur apakah semua setorannya tercatat atau gelap lantaran tidak bisa ditelusuri di dalam laporan keuangan. Jika laporan keuangan partai politik tidak memuat laporan sumbangan dari para politikus secara perorangan, itu sama saja dengan mengatakan perimbangan kenaikan gaji dan tunjangan DPR ataupun DPRD dengan alasan membangun konstituen hanyalah isapan jempol.
Hal lain yang berkaitan dengan akuntabilitas internal partai adalah keterkaitan partai dengan kandidat pada saat pemilu. Kasus Pemilu 2004 menunjukkan bahwa pemisahan antara rekening partai dan rekening dana kampanye belum dipatuhi benar. Hal ini, selain disebabkan oleh kapasitas pengaturan keuangan partai yang masih lemah, karena adanya upaya menggunakan celah dalam aturan pemilu. Meski sudah ada ketentuan pemisahan rekening partai dan rekening kampanye partai ataupun kandidat, tetap saja ada dana dari rekening partai politik masuk ke rekening dana kampanye partai ataupun kandidat dengan jumlah yang sangat besar. Pada Pemilu 2004, misalnya, pasangan Wiranto-Salahuddin menerima Rp 30 miliar dari rekening Partai Golkar dan pasangan Megawati-Hasyim menerima Rp 2,6 miliar dari rekening PDI Perjuangan. Mengalirnya sumbangan dari partai ke kandidat juga dapat terjadi dalam konteks pemilihan kepada daerah. Sumbangan yang sangat besar dari rekening partai tentu sangat mengkhawatirkan. Hal ini dapat menafikan aturan mengenai pembatasan jumlah sumbangan karena siapa pun dapat menyumbang melalui partai politik tanpa mengenal batasan.
Akuntabilitas eksternal
Partai politik memiliki peran yang cukup signifikan dalam dunia perpolitikan kita. Hampir setiap pergeseran posisi kekuasaan, baik di tingkat menteri, kepala dinas di daerah, maupun direktur badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, ditentukan oleh komposisi keterwakilan partai politik. Perimbangan kekuatan mencapai ekuilibrium antara eksekutif dan legislatif juga didasari perimbangan suara partai. Di beberapa daerah bahkan ada politikus yang vulgar menuntut porsi APBD (baca: proyek APBD) berdasarkan komposisi suara partai. Hal ini memunculkan pertanyaan: di manakah posisi keuangan partai politik, baik di pusat maupun di daerah? Apakah ada dana dari perimbangan kekuasaan ini yang masuk ke rekening partai atau hanya cukup dinikmati elite? Mengalirnya dana politik dari proyek-proyek yang dibiayai dana publik dapat menjadi jebakan buat partai politik dalam menerima dana yang dilarang aturan.
Besarnya kemungkinan pelanggaran aturan pendanaan partai politik, baik dari segi penerimaan maupun pembiayaan, menyebabkan proses audit harus dilakukan. Ikatan Akuntan Indonesia telah menyiapkan standar audit khusus bagi partai politik dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan 45 (SAK-45), yang juga digunakan untuk audit keuangan organisasi nirlaba. Dengan adanya standar audit, publik dapat menilai laporan keuangan partai politik dari sisi kepatuhan terhadap aturan ataupun kewajaran dalam mempresentasikan pembukuan dan laporan keuangan partai politik. Auditor independen yang mengaudit juga dapat memberikan opini terhadap laporan keuangan yang ada, apakah sudah dipresentasikan secara wajar, wajar bersyarat, atau buruk sehingga tidak bisa diberi opini (disclaimer).
Sanksi
Prinsip pengaturan yang baik (good governance) harus juga turut didorong di lingkungan internal partai politik. Manajemen serta pertanggungjawaban keuangan secara internal harus dibudayakan dan dibuat terbuka agar menjadi sarana pertanggungjawaban partai terhadap kader, pengurus, dan konstituen partai. Partai juga harus secara berkala setiap tahun memberikan laporan keuangannya kepada KPU setelah diaudit.
Peran KPU sangat menentukan untuk mendorong kepatuhan partai politik dalam hal akuntabilitas keuangan. Terkait dengan kepatuhan memberikan laporan keuangan, KPU memiliki kekuasaan menjatuhkan sanksi administratif kepada partai politik (Pasal 26 UU Nomor 31 Tahun 2002). Partai politik yang tidak melaksanakan kewajiban membuat pembukuan dapat dikenai sanksi teguran, dan partai yang tidak memberikan laporan keuangan dapat dikenai sanksi penghentian bantuan dari anggaran negara.
Ibrahim Fahmy Badoh, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 September 2006