Akhiri Kontroversi PK Jaksa

Keputusan hakim Mahkamah Agung dinilai bisa mengakhiri kontroversi Peninjauan Kembali jaksa.

KONTROVERSI tentang boleh dan tidaknya jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terus mengemuka. Namun kontroversi tersebut dapat diakhiri oleh putusan hakim agung Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk Pertanggungjawaban Hakim Soal Putusan PK Jaksa di Jakarta, Selasa (14/7).

Adami Hadzawi, ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengatakan, dirinya sepakat kontroversi itu tidak bisa dihentikan dengan Peraturan MA (PerMA), terlebih oleh Surat Edaran MA (SEMA) yang telah dilakukan MA. Yang bisa mengakhiri ini hanyalah putusan hakim.

Yang kemudian menjadi persoalan, ada dua putusan hakim agung yang saling bertolak belakang. Ada putusan yang menolak, dan ada yang menerima pengajuan PK oleh jaksa. Dengan begitu, berarti sumber hukumnya setingkat. "Kalau sudah begitu, ada asasnya, untuk memilih yang mana. Yaitu, harus dipilih yang menguntungkan terdakwa. Itu asas hukum. Kalau asas ini digunakan oleh hakim agung di MA, selesai kontroversi ini. Selanjutnya, putusan tersebut dijadikan yurisprudensi," ujar Adami.

Sebelumnya, di tempat yang sama, mantan hakim agung Benjamin Mangkudilaga menyatakan hal yang sama. Dia beralasan, karena seorang hakim dapat memberikan keputusan hanya melalui putusan dan ketetapan. "Hakim agung di MA yang menentukan, PK boleh atau tidak. Hakim harusnya bertanggung jawab secara moral dan profesional," kata dia.

Kedua ahli hukum pidana itu berbeda paham dengan anggota DPR Gayus Lumbuun yang mengatakan bahwa PerMA bisa menjadi solusi bagi kontroversi yang ada. Dia menjelaskan, SEMA yang dikeluarkan MA soal PK bukanlah solusi untuk mengakhiri kontroversi.

"MA harusnya mengeluarkan PerMA. Soalnya, SEMA dinilai hanya sebagai kebijakan untuk internal, bukan untuk publik. Kita himbau MA mengeluarkan PerMA dan bukan SEMA. Di PerMA itu harus dirinci, siapa saja yang boleh mengajukan PK. Barulah DPR nanti akan menindaklajutinya dengan merevisi KUHAP.

Terkait PK Jaksa, Adami menjelaskan, mengapa negara yang diwakili kejaksaan tak boleh mengajukan PK perkara pidana. Menurut dia, itu karena negara sudah berdosa menghukum seorang warga negara dalam proses hukum yang panjang. "Kita dibohongi. Itu kebohongan publik, kalau MA mengatakan bahwa jaksa boleh mengajukan PK," ujarnya.

Karena itu, hakim agung yang telah menerima PK jaksa harus dimintai pertanggungjawabannya. Dia mengatakan, tanggung jawab secara jabatan sebagai hakim agung memang tak ada. Tapi tanggung jawab moral ada. "Malu dong, putusan hakim agung ditertawakan akademisi dan publik," kata Adami. Untuk menentukan norma hukum soal PK, kata dia, kita harus melihat keinginan pembuat UU-nya, dalam hal ini Pasal 263 KUHAP.

Direktur Eksekutif Masyarakat Hukum Indonesia Ahmad Wakil Kamal mengatakan, kontroversi dan perdebatan yang terjadi menunjukkan adanya ketidakpastian hukum soal pengajuan PK oleh jaksa. "Saya setuju, kadilan hukum harus ditegakkan. Tapi, prosedur hukum juga harus dipatuhi dan dihormati."

"Di negara demokrasi, kepastian hukum hal yang penting. Keadilan hukum dan penegakan hukum harus kita tegakkan tanpa melakukan pelanggaran hukum," kata dia.[by : Abdul Razak]

Sumber: Jurnal Nasional, 15 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan