Akar Masalah NPWP Ganda
SAYA menyimak kritikan seorang pembaca, bahwa Penerbitan NPWP Ganda Merugikan Wajib Pajak. Hal itu menggelitik saya untuk menulis apa yang sebenarnya menjadi akar permasalahan sehingga NPWP bisa terbit lebih dari satu kali (ganda).
Terlebih lagi, keberadaan nomor pokok wajib pajak (NPWP) menjadi lebih penting akhir-akhir ini karena beberapa fasilitas tertentu yang diberikan oleh Ditjen Pajak mensyaratkan NPWP, seperti pembebasan fiskal luar negeri dan tarif pajak yang lebih tinggi bagi yang tidak memiliki NPWP. Karena itu, sangat wajar bagi masyarakat yang akan memanfaatkan NPWP untuk dapat mengetahui proses penerbitan NPWP secara jelas.
Ekstensifikasi WP
Menurut pengalaman di lapangan, hanya ada dua alasan mengapa masyarakat berkepentingan untuk memiliki NPWP secara sukarela. Pertama, NPWP digunakan sebagai syarat pengajuan kredit. Bagi peminjam dana bank di atas Rp 50 juta, memiliki NPWP merupakan klausul wajib. Setelah pinjaman diperoleh, bagi mereka NPWP selanjutnya menjadi tidak berarti lagi.
Kedua, tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk memiliki NPWP. Ini terjadi bagi pemegang proyek (bendahara) pemerintah dan rekanannya. Bagi pemegang proyek kegunaan utamanya adalah untuk memudahkan pencairan dana melalui APBN/APBD, sedangkan bagi rekanan sebagai syarat ikut tender proyek.
Alhasil, apabila masa kerja proyek habis, NPWP tersebut sudah tidak bermanfaat lagi karena tahun berikutnya proyek yang sama belum tentu ada dan proyek baru berganti nama. Kondisi ini menyebabkan penambahan jumlah wajib pajak di Indonesia berjalan di tempat.
Akhirnya pada awal Maret 2007, Ditjen Pajak menggulirkan program penambahan wajib pajak yang disebut ekstensifikasi wajib pajak. Program ini bertujuan menambah jumlah wajib pajak -dengan menerbitkan NPWP- yang difokuskan pada karyawan swasta dan PNS dan pusat-pusat perbelanjaan. Kantor-kantor pajak di seluruh Indonesia bergerak secara serempak mendekati pemberi kerja (perusahaan swasta atau pemerintah daerah) dan menyisir pusat pusat perbelanjaan untuk mengumpulkan data jumlah pegawai atau pemilik tempat usaha yang belum memiliki NPWP.
Selanjutnya, berdasarkan data tersebut diterbitkanlah NPWP. Program ini berhasil menambah jumlah WP. Data empiris membuktikan bahwa pada Oktober 2007 terjadi penambahan 1,2 juta NPWP, sehingga pada saat itu jumlahnya berkisar 6,2 - 7 juta NPWP.
Pada akhir Desember 2008, NPWP naik menjadi 8,807 juta (Kompas, 15/4/2009). Data terakhir per 31 Maret 2009 jumlah NPWP sudah menjadi 11,167 juta (Kompas, 15/4/2009). Malah, angka NPWP pada April 2009 sudah melejit pada kisaran 13 juta NPWP (Bisnis Indonesia, 16/4/2009).
Bila dibandingkan dengan awal 2007, sampai dengan sekarang diperkirakan NPWP sudah naik lebih dua kali lipatnya.
NPWP Ganda
Ditjen Pajak menggunakan mekanisme penerbitan NPWP secara jabatan dalam program ekstensifkasi wajib pajak, sesuai pasal 2 ayat 4 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Yaitu, direktur jenderal pajak menerbitkan nomor pokok wajib pajak dan/atau mengukuhkan pengusaha kena pajak secara jabatan apabila wajib pajak atau pengusaha kena pajak tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan atau pengusaha kena pajak walaupun persyaratan subjektif dan objektif telah terpenuhi. Oleh karena itu, maka keberhasilan program ini sangat bergantung pada kualitas data dan mekanisme validasi dalam sistem penerbitan NPWP.
Kualitas data yang diberikan oleh calon wajib pajak akan memengaruhi proses validasi selanjutnya. Calon wajib pajak sebenarnya hanya diminta menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) dan apabila sudah ber-NPWP wajib juga menyertakan fotokopi NPWP-nya atau NPWP suaminya. Persoalannya, dalam tenggat yang ditentukan, data yang dibutuhkan juga tidak tersedia. Maka, Ditjen Pajak sesuai amanat UU dapat langsung menerbitkan NPWP dengan atau tanpa data pendukung tersebut.
Alhasil, terjadinya NPWP ganda sangat mungkin. Ditjen Pajak sudah mengantisipasi kasus seperti ini dengan menyiapkan proses penghapusan NPWP baru tadi secara cepat dan tanpa merugikan wajib pajak itu sendiri.
NPWP ganda sebenarnya dapat dicegah dari dua sisi. Dari sisi calon wajib pajak atau wajib pajak yaitu dengan aktif memberikan data yang diminta oleh Ditjen Pajak melalui pemberi kerjanya. Bila telah ber-NPWP, fotokopi NPWP-nya wajib dilampirkan. Dengan demikian, otomatis data wajib pajak tersebut tidak akan dilanjutkan pada proses selanjutnya.
Dari sisi Ditjen Pajak, penerbitan NPWP telah melalui proses validasi. Walaupun calon wajib pajak menyatakan tidak memiliki NPWP sebelumnya, apabila dalam proses validasi ternyata calon wajib pajak tersebut telah terdaftar (mungkin lupa atau tidak tahu telah memiliki NPWP), otomatis NPWP baru tidak akan diterbitkan.
Proses validasi memegang peran sangat penting untuk menghindari kasus NPWP ganda. Karena nama dan alamat tidak unik, identitas kependudukan (seperti KTP) mutlak diperlukan dalam rangka proses validasi ini. Persoalan NPWP ganda ini juga harus dilihat kasus per kasus karena KTP sebagai alat validasi bagi Ditjen Pajak menjadi gagal kalau calon wajib pajak tersebut memiliki KTP lebih dari satu.
Saat ini perluasan basis pajak (tax base) merupakan cara terbaik untuk menambah penerimaan pajak. Walaupun berefek jangka panjang dan penerimaan pajak yang dihasilkan relatif sedikit, struktur yang terbentuk sangat kukuh. Ibarat suatu bangunan, kaki-kaki yang banyak sangat diperlukan untuk menopang bangunan tersebut agar tidak roboh. Demikian juga terhadap penerimaan pajak yang ditargetkan. Semakin banyak wajib pajak yang terdaftar dan membayar pajak berapa pun, akan membuat target tersebut mudah dicapai.
Tentu, keberhasilan ini akan dipergunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Jadi, masalah NPWP ganda jangan membuat masyarakat jadi ragu dan merasa dirugikan.
Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 April 2009