Akademisi Sarankan Jokowi Hentikan Kasus Kriminalisasi Bambang Widjojanto

JAKARTA, Antikorupsi.org (02/10/2015) – Sebanyak 72 orang akademisi lintas Perguruan Tinggi se- Indonesia, menyarankan Presiden Joko Widodo menghentikan kasus kriminalisasi terhadap Bambang Widjojojanto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saran ini disampaikan oleh dua perwakilan akademisi yaitu Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Husein dalam Konferensi Pers yang diadakan di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia di Kuningan Jakarta, Jumat (2/10/2015).

Bivitri Susanti, Dosen dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera menyatakan bahwa seruan ini merupakan gerakan moral dari akademisi karena menilai perkara Bambang bukan untuk penegakan hukum. “Jika prosesnya bukan untuk penegakan hukum maka ada langkah yang dapat ditempuh oleh Kejaksaan Agung dengan cara-cara yang sesuai dengan Hukum Acara yaitu penghentian penuntutan,” ujar Bivitri.

“Sulit dikatakan bahwa kasus ini (kriminalisasi yang menimpa Bambang Widjojanto: red) merupakan perbuatan pidana,” ujar Zainal Arifin Mochtar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada . Zainal mengingatkan penegak hukum agar jangan memaksakan perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan hanya untuk kepentingan satu atau dua pihak saja.

Ahli Hukum Tata Negara ini juga menambahkan apa yang dilakukan oleh Bambang selaku Advokat dengan  mengarahkan saksi-saksi pada saat sidang Sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Mahkamah Konstitudi (MK) beberapa tahun yang lalu adalah sesuatu yang sering dilakukan oleh banyak advokat. Tujuannya agar proses persidangan di MK bisa optimal apalagi dengan waktu yang sangat terbatas. “Jika yang dilakukan oleh Bambang Widjojanto (mengatur saksi pilkada: red) kemudian dipidanakan, maka akan banyak advokat yang nantinya juga akan dijerat dengan kasus yang serupa dengan Bambang,” ujar Uceng, panggilan akrab Zainal Arifin Mochtar.

Sebagaimana diketahui bahwa Bambang Widjojanto telah disangka melakukan tindak pidana pemberian keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Setelah diproses oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri selama 8 bulan,  jumat pekan lalu kasusnya sudah dilimpahkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Ke-72 orang akademisi yang memberikan dukungan terhadap Bambang Widjojanto ini terdiri dari 12 orang bergelar Profesor, 23 Doktor, dan 37 Master. Selain Zainal dan Bivitri, beberapa nama akademisi yang ikut menandatangani surat ke Presiden antara lain  Saldi Isra, Komariah Emong, Yunus Husein, Bambang Widodo Umar, Asep Iwan Iriawan, dan Marwan Mas.

Para akademisi beralasan bahwa dalam kasus pidana yang menimpa Bambang Widjojanto diyakini banyak pelanggaran atas hukum acara maupun peraturan perundangan lainnya berkaitan dengan proses pemeriksaan atas perkara ini. Alasan ini merujuk pada rekomendasi dari Persatuan Advokat Indonesia (PERADI), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas proses hukum yang menimpa Bambang Widjojanto.

Putusan Komisi Pengawas PERADI tanggal 15 Mei 2015, didasarkan atas pemeriksaan panel setelah memeriksa pelapor, saksi dan terlapor, menyimpulkan bahwa tidak ditemukan fakta dan bukti adanya pelanggaran kode etik atas terlapor (Bambang Widjojanto).

Dalam Surat Rekomendasi Ombudsman RI pada 18 Februari 2015 berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap proses penanganan perkara ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting. Pertama, terdapat fakta bahwa perkara tidak didahului oleh serangkaian proses penyelidikan. Kedua, bahwa saat dimulainya penyidikan tidak dibarengi dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (1) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Ketiga, ada orang-orang yang bukan termasuk penyidik dalam kasus Bambang Widjojanto tetapi “turut serta” melakukan tindakan yang menjadi bagian kewenangan penyidik.

Dalam executive summary laporan Komnas HAM disebutkan tiga poin penting dalam penanganan perkara Bambang Widjojanto. Pertama, ada pelanggaran due process of law di mana penanganan perkara dilakukan dengan cara yang tidak fair. Kedua, ada penggunaan kekuasaan secara berlebihan. Ketiga, Komnas HAM menyimpulkan adanya pelanggaran HAM dalam penanganan perkara ini oleh penyidik Bareskrim Polri.

Baik Zainal maupun Bivitri khawatir jika kasus ini diteruskan maka tidak akan berlangsung peradilan yang fair dan justru menyesatkan. Lebih jauh lagi kasus ini dapat mengganggu stabilitas hukum dan politik Indonesia yang pada akhirnya akan menggangu stabilitas ekonomi nasional. Keduanya menyatakan tidak ada cukup alasan secara hukum untuk melanjutkan pemeriksaan hingga ke pengadilan.

Dalam suratnya, ke-72 akademisi itu menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo untuk memerintahkan Jaksa Agung H.M Prasetyo agar segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SKPP) atau tindakan hukum lain guna menghentikan kasus yang melibatkan Bambang Widjojanto atas nama keadilan dan kepastian hukum. (Aradila-Emerson)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan