Ajukan Pertimbangan MK, Puteh Minta Dibebaskan

Abdullah Puteh, terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter Mi-2, langsung mengajukan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai alat bukti kasusnya. Kuasa hukumnya, Mohammad Assegaf, meminta majelis hakim membebaskan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam itu dari dakwaan. Ia juga meminta agar pemeriksaan dan penahanan Puteh dibatalkan karena dianggap tidak mempunyai landasan hukum.

Assegaf merujuk pada pertimbangan MK sehari sebelumnya yang menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menyidik kasus-kasus sebelum undang-undang yang mengatur komisi itu disahkan. Dengan asumsi tersebut, berita acara pemeriksaan terhadap Puteh yang diajukan dalam persidangan menjadi tidak sah. Ini (kasus Puteh) adalah produk dari sebuah institusi yang tidak mempunyai kewenangan, kata dia dalam sidang di Pengadilan Ad Hoc Korupsi kemarin.

Mahkamah Konstitusi pimpinan Jimly Asshiddiqie pada sidang Selasa (15/2) memutuskan menolak permohonan uji materiil oleh Bram D.H. Manoppo, terdakwa lain dalam kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2. Namun, dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengusut kasus sebelum undang-undang yang mengaturnya disahkan. Bram mengajukan uji materiil karena menganggap Pasal 68 UU KPK bertentangan dengan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945.

Assegaf mengutip putusan MK bahwa keseluruhan undang-undang hanya diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang terjadi setelah undang-undang KPK disahkan pada 27 Desember 2002. Padahal Puteh baru diperiksa KPK sejak Agustus 2004.

Puteh didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memperkaya diri sendiri ataupun orang lain, yakni Bram Manoppo, Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri, dalam pembelian helikopter Mi-2 buatan Rusia pada 26 Juni 2002. Akibat perbuatan itu, menurut jaksa, negara dirugikan Rp 13, 6 miliar.

Majelis hakim yang diketuai Kresna Menon belum mengambil sikap terhadap permintaan penasihat hukum Puteh. Sementara itu, jaksa penuntut umum Khaidir Ramli keberatan atas pengajuan putusan MK sebagai barang bukti. Ia mengatakan, persidangan kasus Puteh adalah peradilan pidana sehingga barang bukti tidak bisa diajukan di tengah persidangan. Barang itu harus disita dulu oleh penyidik, baru bisa dijadikan barang bukti, kata Khaidir.

Selain itu, jaksa tidak menggunakan UU KPK untuk menyidik kasus tersebut. Undang-undang yang digunakan, kata Khaidir, adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sidang yang dijadwalkan untuk memeriksa Puteh ditunda hingga Senin (21/2) karena dia sakit.

Di awal persidangan, Puteh menyatakan dapat mengikuti sidang. Saat itu ia diminta memeriksa barang-barang bukti berupa surat sambil berdiri. Namun, tiba-tiba kuasa hukum Puteh meminta majelis hakim menunda persidangan, karena kondisi kliennya ternyata tidak sehat. Sebaliknya, Puteh tetap menyatakan kepada majelis hakim masih bisa mengikuti sidang.

Puteh yang semula berdiri akhirnya diperkenankan duduk di samping majelis hakim. Ia mengaku, saat itu sedang berpuasa dan sesekali batuk. Wajahnya terlihat pucat. Di sela-sela persidangan ia sempat menuju kamar kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.

Khaidir Ramli akhirnya meminta majelis hakim menunda perkara itu setelah melihat kondisi Puteh yang semakin memburuk. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, kami minta majelis hakim menunda persidangan, katanya. Majelis hakim setuju, tapi penasihat hukum Puteh diminta melampirkan surat keterangan dokter pada persidangan Senin pekan depan.

Praktisi hukum Frans Hendrawinata berpendapat, pertimbangan keputusan MK memang dapat dijadikan alat bukti untuk menghentikan proses persidangan. Hanya, hal itu harus ada persetujuan dari majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Dasar pertimbangannya, kata Frans, karena setiap keputusan yang telah memiliki keputusan hukum tetap, pertimbangannya bisa diambil oleh pengadilan lain.

Tetapi kan peradilan pidana belum tentu setuju, ujarnya. Jikapun peradilan pidana tidak setuju, kasus dugaan korupsi belum tentu akan bebas karena kasusnya bisa dialihkan ke Kejaksaan Agung.

Binsar Gultom, hakim Pengadilan Negeri Medan dan hakim pada Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta menilai, pertimbangan hukum putusan MK bukan merupakan preseden buruk yang bisa menjadikan para koruptor sebelum KPK terbentuk tak bisa dijangkau. Menurut dia, keputusan itu justru kesempatan besar bagi Kejaksaan Agung untuk unjuk gigi memproses kasus-kasus korupsi besar sebelum ada KPK.

Pada bagian lain, Binsar menyesalkan pernyataan putusan MK yang menyebutkan bahwa yang mengikat adalah amar putusan, bukan pertimbangan hukum. Menurut dia, amar putusan hakim adalah perwujudan konstruksi pertimbangan hukum. Karena itu, kata dia, pertimbangan hukum harus saling berkorelasi dengan amar putusan. Rangkaian putusan hakim adalah mengikat kepada semua pihak tanpa kecuali, ujarnya.

Jika putusan hakim bertentangan dengan pertimbangan hakim, amar putusan mengambang dan putusan itu dapat batal demi hukum. edy can/badriah

Sumber: Koran Tempo, 17 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan