“Aji Mumpung” Melemahkan Pemberantasan Korupsi

Kisruh RUU KUHAP masih terus bergulir. Melihat dari sisi prosedur dan pembahasan yang tak transparan, waktu yang mepet padahal substansinya sangat banyak, serta beragam konflik kepentingan para anggota panitia kerja, RUU KUHAP rawan jadi ajang pelemahan pemberantasan korupsi.

Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) masih mendesak pemerintah segera menarik draf RUU dari DPR, karena tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK.

Komisi 3 DPR menargetkan pembahasan selesai dalam waktu cepat April 2014, atau selambatnya Oktober 2014. Proses pembahasan RUU KUHAP terkesan senyap, diam-diam dan tertutup. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) menilai hal ini jadi tameng menghindari kritik dan perhatian publik maupun media.

Beberapa sumber menyebutkan sejumlah rapat bahkan dilakukan pada malam hari, dengan peserta kurang separuh anggota Panja yang berjumlah 27 orang.

Emerson Yuntho, peneliti ICW menyebutkan laporan sumber, peserta rapat RUU KUHAP umumnya kurang dari 12-13 orang, dan bahkan beberapa sekadar mengisi daftar hadir lalu meninggalkan proses pembahasan.

Selain itu, ada juga upaya Panja menutup akses dokumen hasil pembahasan. Ketika komite meminta daftar isian masalah, DPR berdalih daftar ini adalah rahasia negara. Padahal, Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan untuk memudahkan masyarakat memberi masukan, masyarakat harus diberi akses mudah.

Sebelumnya, Komite pada 23 Januari 2014 telah mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan pada periode DPR ini (2009-2014), sekaligus mendorong agar pembahasan dilakukan pada periode DPR mendatang (2014-2019).

Komite mencatat empat hal ganjil dari segi prosedur dan waktu pembahasan RUU KUHAP.

Masa kerja DPR periode 2009-2014 yang tersisa sangat singkat. Masa kerja DPR periode 2009-2014 hanya tersisa sekitar 145 hari kerja. Berikut rinciannya:

1.      Masa Sidang III: 15 Januari-6 Maret 2014 (32 hari kerja) dengan kondisi pelaksanaan kampanye dan persiapan pemilu legislatif.

2.      Masa Sidang IV: 12 Maret-10 Juli 2014 (81 hari kerja) dengan kondisi persiapan, pelaksanaan, dan pasca pemilu legislatif serta persiapan dan pelaksanaan pemilu presiden.

3.      Masa Sidang I: 16 Agustus-30 September 2014 (32 hari kerja) dengan kondisi pengumuman dan pengukuhan anggota DPR periode 2014-2019.

Padahal, RUU KUHAP punya 1.169 daftar isian masalah dan jumlah pasal yang cukup banyak. Materinya juga cukup rumit, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas pada struktur hukum serta hak asasi manusia.

Komite menegaskan isi KUHAP sangatlah mendasar bagi proses peradilan pidana. Apabila dipaksakan dalam kondisi dan waktu yang tidak mendukung, tentu akan berpengaruh pada kualitas calon produk hukum ini.

Konstelasi pemilu 2014 dan transisi masa jabatan DPR menyita waktu dan perhatian DPR. Pelaksanaan masa kampanye legislatif sudah berlangsung sejak 11 Januari hingga 5 April 2014. Tak dapat disangkal, kampanye akan menyita waktu dan perhatian anggota DPR untuk turun ke daerah pemilihan masing-masing.

Setelah itu, para anggota dewan yang terhormat juga akan kembali sibuk dengan agenda pemilihan presiden dan pergantian periode jabatan DPR.

Praktis, waktu pembahasan RUU ini makin mepet dan panja dinilai tidak akan fokus membahas. Akibatnya, isi RUU ini rentan bermasalah.

Belum adanya kesepakatan yang signifikan antara Pemerintah dengan DPR. Kerja keras panja selama ini tak lantas sia-sia, karena DPR dan pemerintah memang belum menyepakati apapun secara signifikan.

Dari pemantauan komite terhadap dua kali rapat kerja pemerintah-DPR pada 27 November dan 5 Desember 2013, kedua pihak masih berkutat soal penghapusan ketentuan penyelidikan dalam RUU KUHAP dan topik-topik lainnya.

Padahal, tadinya pemerintah dan DPR dapat membahas RUU ini lebih efektif karena RUU KUHAP sudah diserahkan pemerintah ke DPR pada 28 November 2012 silam, lebih dari setahun lalu. Maka, komite berpendapat tidak ada alasan logis untuk melanjutkan pembahasan pada DPR periode ini.  

Partisipasi dan pelibatan masyarakat tidak optimal. Membahas undang-undang, apalagi yang mendasar dan berdampak luas, sudah seharusnya membuka ruang bagi masyarakat untuk aktif terlibat.

Dalam proses pembahasan, komite memang pernah diundang, tepatnya pada Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi III pada 22 Mei 2013. Beberapa kali, atas inisiatif komite, komite juga berdiskusi dengan fraksi-fraksi di DPR.

Namun, dalam perkembangannya, upaya komite untuk berpartisipasi dalam bentuk akses terhadap proses maupun dokumen RUU, sulit terlaksana.

RUU KUHAP, ajang “aji mumpung”?

Langkah sejumlah politisi DPR untuk segera mengesahkan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dalam sejumlah ketentuannya mengandung upaya pelemahan atau “pembunuhan” KPK patut dicurigai. Berikut beberapa masalahnya.

Pertama, KPK mencatat telah memproses hukum 65 politisi DPR. Beberapa di antaranya telah divonis bersalah pengadilan dan tengah menjalani pidana sebagai koruptor. Penyidikan KPK juga dianggap merusak sumber pendanaan politisi atau partai politik untuk Pemilu 2014. 

Kedua, proses pembahasan undang-undang di DPR ibarat “bola liar”—tidak dapat dipastikan menuju ke arah yang lebih baik dan sangat mungkin dibuat asal jadi.

Ketiga, semangat sejumlah anggota dewan saat ini cenderung melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi daripada memperkuatnya. Jika dibiarkan, kondisi berbahaya ini lama-lama akan mempreteli KPK dan menjadikannya hanya Komisi Pencegahan Korupsi.

Keempat, tidak hanya individu, partai politik juga bermasalah dengan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Misalnya, Partai Golkar yang saat ini disorot atas sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan petingginya, seperti kasus suap Mahkamah Konstitusi, PON Riau/korupsi kehutanan di Riau, pengadaan Al Quran, sejumlah proyek di Banten, dan pengadaan Simulator SIM. Tidak hanya Golkar, sejumlah partai juga direpotkan dengan proses penindakan KPK.

Komite menilai kondisi tidak sehat ini boleh jadi membuat proses pembahasan RUU KUHAP ajang menjerumuskan KPK. Akibat beragam konflik kepentingan, muncul kecurigaan upaya pihak-pihak tertentu “aji mumpung” menyelamatkan diri sendiri maupun partai, lewat pembahasan RUU KUHAP.

Komite mendesak DPR untuk menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP dan mengembalikannya kepada Pemerintah untuk diperbaiki, dan/atau pemerintah menarik naskah RUU KUHAP.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyatakan pemerintah boleh jadi akan menarik RUU KUHAP dari DPR, supaya dapat diperbaiki dan disempurnakan.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan