Ahmad Dedi Abidin; Keberanian PNS Membongkar Korupsi

Di negeri korup ini, masih adakah aparat yang bersih? Sosok Ahmad Dedi Abidin mengindikasikan optimisme: tak semua orang berlaku korup. Ia, bahkan, diharapkan dapat memberikan pencerahan di tengah citra kusam pegawai negeri sipil (PNS).

Pencerahan itu agaknya berkat kekukuhan sikapnya untuk tidak menoleransi perilaku korup. Tak sekadar berusaha menghindar, ia dalam batas kapasitasnya, berusaha memerangi korupsi. Pria berusia 44 tahun yang menjadi PNS ini berani membongkar korupsi di lingkungan Pemprov Jabar. Kasus dugaan korupsi itu menyangkut dana Ingub sebesar Rp 3,4 miliar.

Melibatkan Drs Misbach yang menjabat bupati Sumedang sebagai terdakwa, kasus korupsi yang dibongkarnya kini bergulir di Pengadilan Negeri Bandung. Saat membongkar kasus tersebut, alumni Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN; kini STPDN) tahun 1987 itu berani mengorbankan karier dan jabatannya. Ini demi menegakkan idealisme dan kebenaran.

Alkisah, pada tahun 1996/1997, ia menjadi camat di perwakilan kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Di saat itu, Pemprov Jawa Barat mengucurkan bantuan kepada kecamatan sebesar Rp 15 juta dan perwakilan kecamatan Rp 13 juta. Tapi, setiap camat harus menyetor kembali dana itu kepada pejabat di Pemprov Jabar sebesar Rp 5 juta.

Pria yang akrab dengan panggilan Dedi ini mengendus permainan tak sedap dalam aturan tersebut. Ia risau, mengapa harus ada kewajiban menyetorkan dana sebesar Rp 5 juta pada seorang pejabat? Nurani lelaki kelahiran Bandung 29 Januari 1958 ini tak dapat menerima aturan tersebut.

Mulai 26 November 1998 ia menyelusuri permainan tersebut. Hal pertama yang dilakukannya, mengecek nomor rekening pejabat yang menerima penyetoran ulang dana Ingub tersebut. Ternyata, nomor rekening itu adalah milik Misbach yang pada waktu itu menjabat kepala biro penyusunan program Pemprov Jabar.

Dedi pun lantas melayangkan surat ke Gubernur Jabar pada tanggal 26 Desember 1998. Dalam suratnya, ia memberitahukan kepada Gubernur R Nuriana tentang kasus korupsi yang terjadi dalam program Ingub. Kendati lima kali menyusulkan laporan, tak ada tanggapan dari pimpinannya.

Terakhir, ia dipertemukan dengan Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan, Husein Jachjasaputra. Husein, menurut Dedi, bukan bangga pada idealisme bawahannya. Pada pertemuan 14 dan 16 Desember 1999, lanjutnya, ia malah dimarahi atasannya. Mantan Bupati Sumedang itu, masih menurut kisah Dedi, merasa gagal mendidik Dedi menjadi seorang PNS yang baik. Waktu itu saya hanya mengatakan, 'saya berani berbuat seperti itu, karena Pak Husein dulu mengajarkan agar selalu berbuat jujur', ungkap Dedi mengenang.

Tanpa kejelasan sikap pimpinan di Gedung Sate (kantor Pemprov Jabar), ia pun melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jabar, pada 31 Desember 1999. Kejati bereaksi: sejak tahun 2000 mulai melakukan penyelidikan dan memintai keterangan dari berbagai pejabat. Tak kurang dari 99 pejabat dari tingkat kecamatan hingga provinsi yang dijadikan saksi.

Termasuk Nuriana juga sempat dimintai keterangan pada 21 Maret 2002. Untuk memastikan kasus itu disidangkan, Dedi nekat ke Kejaksaan Agung. Dua hari berturut-turut ia meyakinkan mantan Kajati Jabar yang bertugas di Kejaksaan Agung. Memang, kasus korupsi itu kemudian dibawa ke pengadilan.

Kendati demikian, ia masih waswas pengadilan memvonis bebas Misbach. Saya berharap agar pengadilan bisa memutus dan menangani kasus ini secara objektif, harapnya.

Keberanian dan kegigihannya itu membuatnya terpaksa pindah tugas dari Sumedang ke kota Bekasi. Ini setelah mendengar Misbach --pejabat yang dilaporkannya ke kejaksaan-- akan menjadi bupati di Sumedang. Saya rela pindah tugas, karena tidak mungkin bertugas satu atap dengan orang yang
berseberangan, tandasnya.

Dedi pun mulai dikucilkan di lingkungan kerja. Di sisi lain, kariernya berantakan. Ia mengisahkan bila tak
membongkar kasus tersebut, ia kini telah setingkat eselon III yaitu kepala bagian. Tapi, Dedi tak kecewa dengan posisinya kini sebagai staf di Badan Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat kota Bekasi. Kebenaran itu harus diungkapkan, sekalipun pahit, ujarnya.

Kendati hanya menjadi seorang staf, Dedi menilai, Kebahagiaan hidup tidak diukur dengan melimpahnya materi. Dalam hidup yang paling penting adalah kejujuran.

Demi menegakkan sikap tersebut, ia memang rela hidup sederhana, bersama keluarganya. Ia pun bangga terhadap istri dan kelima anaknya. Mereka mendukung sikapnya. Kadang anak saya membawakan koran, jika kasus yang saya bongkar termuat di media massa, ungkapnya.

Kendati demikian, hati kecilnya sebagai bapak, tak jarang giris. Ini menyaksikan kehidupan anaknya yang teramat sederhana. Yusi dan Lutfi anak pertama dan kedua yang tengah asyik belajar di bangku sekolah, misalkan, kini terpaksa berhenti. Akibat tak ada biaya, mereka terpaksa harus istirahat dulu, paparnya sembari menerawang. Yusi terpaksa tak bisa melanjutkan studinya di SMK Jasa Boga ketika menginjak kelas II. Begitupun dengan Lutfi, harus gantung tas sekolah juga saat serius belajar di bangku kelas II SMK jurusan otomotif.

Meski begitu, ketiga anaknya yang lain Yustina, Ahmad, dan Fitri Ramdhani masih tetap bersekolah. Yustina duduk di kelas II SMU, Ahmad kelas II SLTP, dan Fitri Ramdhani si bungsu masih duduk di bangku SD.

Kedua anaknya yang besar hanya belajar secara informal. Anak-anak tetap bangga kepada saya. Meski kehidupannya tidak berlimpah dengan harta seperti yang lain, jelasnya.

Sang istri, Ny Siti Maesyaroh, juga tetap mendukung dan setia pada sang suami. Menurut Dedi, istrinya sangat memahami kondisi ekonomi keluarga. Pernah terbayang oleh saya untuk mengajukan surat tidak mampu agar anak bisa tetap sekolah. Tetapi saya merasa malu, bagaimanapun saya seorang sarjana, tuturnya.

Ia berharap agar dua anaknya yang telah putus sekolah bisa segera melanjutkan studinya. Terlebih bagi anak laki-lakinya yang bakal menjadi tumpuan hidup keluarga kelak. Sayang, teramat sedikit sosok seperti Dedi, di tengah kehidupan bangsa yang kian korup. heri ruslan

Sumber: Republika, 18 Januari 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan