Agenda Antikorupsi SBY Jilid II

PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pelantikan mendapat pujian dari banyak kalangan. Pada awal pidato SBY mengatakan esensi program pemerintahan lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan, "Prosperity, Democracy and Justice." Untuk mencapai hal tersebut, tak lupa SBY memasukkan agenda pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi sepertinya masih menjadi kata kunci yang ditunggu-tunggu masyarakat. Bagaimana tidak, sampai saat ini, Indonesia masih termasuk dalam jajaran negara-negara terkorup di dunia dan Asia. Setidaknya menurut survei Transparency International (TI), Indonesia masih berada di urutan ke-126 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,6. Walaupun IPK-nya naik dari tahun sebelumnya, hal itu tidak cukup mengangkat posisi Indonesia untuk bisa keluar dari daftar negara-negara terkorup.

Agar komitmen antikorupsi tidak sekadar ucapan belaka, sebaiknya Presiden SBY segera membuktikannya dengan program-program konkret. Salah satunya membenahi institusi penegak hukum.

Benahi Kejaksaan
Baik atau buruknya pemberantasan korupsi sebuah rezim politik dapat dilihat dari kinerja penegak hukum yang ada di bawahnya secara struktural, khususnya institusi kejaksaan. Kejaksaan adalah perpanjangan tangan presiden untuk penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. UU Kejaksaan dengan tegas menyatakan bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang bertugas melakukan penuntutan. Penetapan susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan juga merupakan kewenangan presiden. Karena itu, kondisi kejaksaan mencerminkan kinerja penegakan hukum pemerintah.

Beberapa survei publik menyatakan bahwa institusi kejaksaan merupakan sektor penegakan hukum yang mesti direformasi. Sebagaimana hasil penelitian Partnership for Governance Reform (2007) yang menyatakan bahwa kejaksaan bersama-sama dengan pengadilan dan kepolisian merupakan lembaga dengan intensitas korupsi tertinggi. Kemudian, dalam Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Suap 2008 yang dirilis TI disebutkan bahwa seluruh kelompok responden (tokoh masyarakat, pelaku bisnis, dan pejabat publik) menyatakan bahwa institusi penegak hukum merupakan prioritas sektor yang harus dibersihkan dari perilaku koruptif.

Selain citra buruk, kejaksaan dinilai sering melakukan blunder kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Di antaranya tren penetapan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus-kasus korupsi. SP3 ini jelas bermasalah karena alasan SP3 selama ini adalah bukan merupakan kasus pidana, tidak ada kerugian negara, dan kekurangan alat bukti. Alasan tersebut tentu tidak bisa diterima karena proses penentuan peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan seharusnya sudah melewati proses internal kejaksaan, bahkan untuk kasus besar harus diputuskan Jaksa Agung. Status tersangka menandakan bahwa telah ditemukan bukti awal yang berkaitan dengan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, jika masih di-SP3 berarti ada masalah mendasar pada proses pengambilan keputusan di internal kejaksaan dan justru patut dikhawatirkan menjadi ranah "mafia peradilan".

Kejaksaan juga bermasalah terkait uang pengganti kerugian negara. Catatan audit BPK per Desember 2007 melaporkan bahwa dana Rp 7,72 triliun belum diselesaikan/belum disetor ke kas negara. ICW pernah mempermasalahkan ketidakjelasan pengelolaan dana tersebut. Namun, upaya itu berujung pada penetapan tersangka pada dua aktivis ICW karena dianggap telah mencemarkan nama baik Kejagung. Selain itu, kejaksaan lemah dalam menindaklanjuti hasil temuan BPK. Dari 266 temuan BPK pada 2008, 200 (75,19%) di antaranya belum ditindaklanjuti. Tingkat kepatuhan sangat rendah, yakni hanya 24,81 persen.

Karut-marut kondisi kejaksaan tersebut harus segera dibenahi. Salah satu cara yang patut dipertimbangkan oleh Presiden SBY adalah melakukan penyegaran di tubuh Kejagung dengan mengganti Jaksa Agung saat ini beserta jajaran pimpinan lain Kejagung. Penggantian ini perlu dilakukan atas pertimbangan dua hal. Pertama, kinerja Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak menunjukkan pencapaian yang signifikan dalam hal penegakan hukum antikorupsi. Alih-alih memperbaiki kinerja, kejaksaan malah semakin terperosok dalam citra yang semakin memburuk. Kedua, unsur pimpinan Kejagung saat ini telah kehilangan kepercayaan publik. Beragam peristiwa kontroversial dan kebijakan yang tidak populis telah mengikis rasa kepercayaan publik terhadap pimpinan Kejagung. Mereka telah kehilangan dukungan moral sehingga cukup sulit diharapkan mampu mengangkat citra dan kinerja dalam rentang waktu kepeminpinan SBY jilid II. Karena itu, penggantian Jaksa Agung dan jajaran pimpinan Kejagung lain perlu dilakukan demi menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi SBY jilid II.

Perkuat KPK
Tak kunjung membaiknya kinerja kejaksaan dalam pemberantasan korupsi menyebabkan tidak adanya pilihan lain selain memperkuat KPK. Kinerja yang ditunjukkan KPK selama ini telah menghadirkan kepercayaan publik, baik dalam negeri maupun internasional, bahwa Indonesia serius memberantas korupsi. KPK tercatat telah berhasil menyeret sejumlah pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, anggota legislatif dan pejabat publik lain serta pengusaha swasta yang melakukan korupsi. Melalui kewenangan penindakan dan pengawasan jalannya pemerintahan, KPK telah berperan dalam mendorong terjadinya reformasi birokrasi di tubuh institusi pelayanan publik. KPK juga tercatat telah mampu menghadirkan tradisi tertib hukum para pejabat tinggi negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif melalui mekanisme pelaporan harta kekayaan negara.

Setidaknya, catatan-catatan posisitf tersebut harus senantiasa dijaga dan diperkuat. Presiden SBY harus memastikan bahwa KPK tidak dilemahkan. Berbagai upaya terkini untuk melemahkan independensi dan kewenangan KPK harus segera dihentikan. Dukungan politik presiden mestinya diberikan agar KPK menjadi institusi yang kuat, stabil, dan efektif yang selaras dengan amanat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi Indonesia pada 2006. Jika pemerintah gagal melindungi KPK, hal itu akan menggagalkan semua upaya menghapus korupsi dan berdampak kepada kredibilitas politik dan ekonomi.

Oce Madril , Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, Master Student Law and Governance Program, Nagoya University, Jepang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan