Agar Negara Bukan Perampok Terorganisasi

Apa bedanya antara perampok dan negara? Keduanya sama-sama mengisap uang rakyat. Keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, negara terdiri atas kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri atau minimal untuk kepentingan bersama.

Logikanya, jika rakyat diisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang tersebut oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, niscaya negara itu juga sama saja dengan perampok, yaitu perampok yang terorganisasi.

Renungan itu penting dilakukan bersama karena kita berada dalam sebuah situasi rakyat diperas kekayaannya untuk pajak dan pungutan -termasuk pembebanan harga yang tinggi untuk meng-cover pajak suatu barang yang dijual. Namun kenyataannya, masih banyak rakyat di negeri ini yang tidak tersentuh berbagai layanan yang wajar. Program pembangunan pun tidak pernah dirasakan.

Masih banyak rakyat yang kelaparan di kala pejabat tinggi bergelimang berbagai tunjangan. Para komisaris BUMN menerima insentif dengan tidak melihat bahwa perusahaan tersebut merugi. Di antara pejabat daerah, ada yang mobil dinasnya tidak bisa jalan hanya karena mobil tersebut kelewat mewah untuk lingkungannya sehingga bahan bakar petramax tidak tersedia di wilayahnya.

Masih banyak bayi tidak tersentuh imunisasi dan gizi memadai. Padahal, di negeri ini, berbagai mobil mewah limited edition laris manis, hotel dan resoran supermahal sering fully-booked. Negeri ini benar-benar penuh dengan ironi.

Memang, banyak pihak yang bangga karena pendapatan dari sektor pajak selalu naik (meski masih banyak pajak yang dikorup). Karena itu, wajar bila sektor tersebut digenjot terus.

Namun, seiring dengan itu, pemerintah justru mulai banyak melepas tanggung jawab dengan alasan swastanisasi. Rakyat ditarik pajak tinggi-tinggi, tapi pemerintah pelan-pelan menimpakan beban kepada rakyat lagi. Rakyat harus membayar mahal, bukan saja untuk mengubur mayat, buang air, parkir di pinggir jalan, melewati jalan tol, namun juga untuk kesehatan dan pendidikan.

Dana kesehatan rakyat miskin diberikan, tapi di rumah sakit negara mereka tidak dilayani sebagai manusia yang wajar. Sebab, rumah sakit tahu bahwa mereka tidak akan membayar.

Demikian halnya pendidikan, proses menjadi BHMN (badan hukum milik negara) telah melambungkan biaya pendidikan yang membuat masyarakat frustrasi untuk mendapatkan layanan pendidikan yang baik.

Ada memang sekolah gratis, yakni di SD-SD yang fasilitasnya sangat jauh dari standar dan diajar secara asal-asalan oleh gurunya. Memang, sekan ada aturan tak tertulis bahwa jika sebuah layanan itu diberikan gratis kepada masyarakat, layanan tersebut pasti asal-asalan.

Alasannya, masyarakat itu tidak membayar, seperti joke yang populer tentang seorang tukang becak yang membawa penumpang dengan cara membahayakan, tapi ketika penumpang menegur. Dia menjawab, Bayar murah kok minta selamat. Analoginya, orang nggak bayar, kok minta layanan yang baik.

Itu logika yang keliru. Bukankah rakyat sudah ditarik pajak, yang di antara uang pajak itu digunakan untuk membayar pegawai yang melayani tersebut? Justru mereka (pegawai) yang harus menuruti rakyat dan melayaninya karena berkat rakyat yang bayar pajak itulah, para pegawai tetap bisa bekerja dan menerima gaji.

Disorientasi Kebijakan Pajak
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan secara signifikan atas peran pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tercatat, pendapatan (realisasi) dari sektor pajak pada 2000 Rp 115 triliun lebih, 2001 Rp 185 triliun lebih, 2002 Rp 210 triliun lebih, 2003 Rp 241 triliun lebih, dan 2004 Rp 272 triliun lebih.

Dengan demikian, terjadi kenaikan yang sangat signifikan. Paling tidak, untuk tiga tahun terakhir. Setiap tahun meningkat 13,8 persen. Itu berarti ada tren perubahan dari pajak sebagai suatu pos pendapatan yang terpinggirkan menjadi suatu pos pendapatan yang diandalkan.

Pemerintah bukan saja senantiasa menaikkan pembayaran pajak untuk item-item tertentu, namun juga senantiasa mengidentifikasi barang-barang apa saja yang memungkinkan untuk dikenai pajak.

Kecenderungan itu tidak mustahil semakin dipertajam dengan adanya otonomi daerah. Daerah-daerah yang termasuk kering sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tidak terlalu unggul hampir bisa diprediksikan bahwa PAD (pendapatan asli daerah) akan lebih diupayakan dengan membidik sektor pajak. Diperkirakan banyak sektor baru yang menjadi bidikan pajak.

Misalnya, tidak mustahil apabila di beberapa daerah diberlakukan pajak untuk hasil pertanian serta tangkapan ikan para nelayan atau mungkin retribusi-retribusi dari berbagai aktivitas yang selama ini untouchable dari pembayaran pajak.

Beratnya beban rakyat akibat pajak itu dibarengi dengan kecenderungan lain, yaitu program pencabutan subsidi secara gradual atas berbagai kebutuhan rakyat. Kecenderungan menaikkan pajak dan pencabutan subsidi tersebut menyisakan pertanyaan mendasar bagi kita semua, ke manakah orientasi kebijakan pajak kita?

Apakah kebijakan pajak sudah dilakukan sesuai dengan asumsi dasar diperlukannya pajak? Apakah return benefit yang bisa dinikmati rakyat sebagai pembayar pajak sudah dinikmati para wajib pajak di negara ini?

Pajak dan Kesejahteraan

Jadi, agar tidak identik dengan perampok, negara harus mampu menunjukkan bahwa pajak itu juga dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik, baik secara langsung maupun tidak, menguntungkan rakyat banyak. Dengan demikian, penarikan pajak secara ketat terhadap rakyat tapi tidak diimbangi dengan agenda menyejahterakan rakyat adalah sebuah bentuk organized robbery (perampokan yang terorganisasi).

Dalam welfare state (negara sejahtera), pajak merupakan suatu elemen terpenting untuk kepentingan penyejahteraan. Dengan membayar pajak, rakyat akan mendapatkan fasilitas publik yang memadai.

Di beberapa negara, dengan pajak itu, orang bisa menikmati pendidikan gratis (misalnya Jerman), rumah sakit dan semua biaya pengobatan (Inggris), fasilitas komunikasi (telepon lokal) secara cuma-cuma (misalnya di sebagian wilayah/negara federal US), tunjangan bagi penganggur dan orang jompo (Inggris, Belanda, dll).

Barangkali sebagian orang akan mengemukakan alasan bahwa pajak kita masih terlalu kecil dibandingkan dengan pajak di negara-negara yang telah sejahtera. Namun, bila dilihat realita yang ada, alasan itu tidak selamanya benar. PPN di negara Eropa, misalnya, sesuai dengan proposal European Union, dipatok hanya 14-20%. Di Inggris hanya 17,5%, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.

Namun harus diingat, dengan pajak sebesar itu, mereka bisa memberikan fasilitas publik yang sangat memuaskan. Negara-negara tersebut, yang kekayaan alamnya tidak sehebat Indonesia, bisa memberikan layanan publik sangat baik dengan hanya menarik pajak yang tidak terlalu banyak selisihnya dengan rakyat di Indonesia.

*Salman Luthan dan Agus Triyanta, dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan