Agar Koruptor Tak Kabur Lagi

Kisah pelarian koruptor Indonesia ke luar negeri bukan lagi cerita baru. Kasus terakhir terjadi pada Sudjiono Timan dan Irawan Salim. Peristiwa yang terus terulang ternyata tak membuat negeri ini bersicepat berbenah diri. Sanksi cegah-tangkal (cekal) yang diandalkan pemerintah seperti macan di atas kertas. Koruptor kakap pun melenggang riang angkat kaki dari Indonesia. Cekal tidak ada artinya kalau aparat di lapangan ikut bermain, kata Romli Atmasasmita, Koordinator Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi.

Yang lebih ironis, koruptor yang sudah dibui seperti Eddy Tansil masih bisa kabur dari penjara dan hilang entah ke mana. Uang jarahan sebanyak Rp 1,3 triliun pun menguap tak jelas rimbanya. Setelah Eddy Tansil kabur, giliran Hendra Rahardja, kakak kandungnya, yang melarikan diri ke Australia. Padahal bos Bank Harapan Sentosa yang menilap dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebanyak Rp 3,6 triliun itu sudah masuk daftar cekal.

Sebagian besar pengembat uang rakyat itu hidup nyaman di Singapura menikmati hasil jarahan. Indonesia tak bisa memaksa mereka pulang karena tak ada perjanjian ekstradisi. Tapi alasan ini tak bisa digunakan jika perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura sudah ditandatangani. Kini upaya mewujudkannya sedang dirintis kedua negara. Kesediaan Singapura tentu saja sebuah kabar bagus. Meski belum terwujud, setidaknya komitmen negara kota itu dianggap sebagai kemajuan yang layak disyukuri.

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyambut gembira kesediaan Singapura dan upaya pemerintah Indonesia. Menurut Bagir, ekstradisi merupakan salah satu cara dan bagian dari kerja sama internasional memberantas tindak pidana kejahatan. Sehingga mereka yang lari ke negara lain bisa dikembalikan ke negara asal. Kecuali untuk tindak pidana tertentu seperti masalah politik, katanya.

Bagir mengingatkan, tak mudah menyepakati sebuah perjanjian ekstradisi. Pasal-pasal yang tertuang dalam perjanjian tentunya tidak merugikan salah satu negara. Ada negara yang mensyaratkan jaminan hukuman tidak lebih berat dari negara yang bersangkutan, katanya. Biasanya negara yang tidak mengenal hukuman mati bersedia mengembalikan orang ke negara asal dengan jaminan orang itu tidak dihukum mati.

Untuk itu, dua negara yang membuat perjanjian mesti memahami persoalan hukum masing-masing. Tujuannya agar detail pemahaman sebuah tindak pidana bisa disamakan. Biasanya pembahasan detail ini akan rumit, kata Romli. Tarik-ulur kepentingan akan terlihat selama proses pembahasan. Romli menyarankan agar persoalan korupsi mendapat perhatian khusus. Hak membuka rekening tersangka korupsi juga perlu dimasukkan ke isi perjanjian.

Namun, hak membuka rekening ini akan efektif jika disertai data akurat. Misalnya nomor rekening dan nama bank, jumlah dana, dan asal-usul dana. Yang tak kalah penting adalah bukti aliran dana untuk mengantisipasi pengalihan kepemilikan dana ke pihak ketiga. Karena itu, PPATK perlu dilibatkan, kata Romli. Keberadaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memang terbukti ampuh. Pasalnya, seluruh transaksi keuangan akan tercatat secara otomatis.

Dalam kasus pelarian mantan Direktur Utama Bank Global Irawan Salim, PPATK sukses mengendus sejumlah transaksi yang dilakukan Irawan. Apartemen mewah Irawan di Singapura senilai US$ 14 juta juga ditemukan. Begitu pula dengan pencairan dana Irawan sebesar US$ 4 juta pada 2-3 Desember 2004. Jika aliran dana sudah terendus, keberadaan koruptor yang masih jadi buron setidaknya bisa dilacak.

Pelacakan transaksi keuangan ini bisa dijadikan informasi awal untuk mengakses rekening tersangka korupsi di luar negeri. Jangan seperti yang sudah-sudah, kata Romli. Pengejaran harta ini pernah dilakukan pemerintah pada 1999. Jaksa Agung Andi M. Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi dikirim Presiden B.J. Habibie ke Swiss untuk melacak harta kekayaan mantan presiden Soeharto. Sayang, hasilnya nihil karena persoalan data.

Data yang tak akurat ini juga menghambat proses pengembalian harta Hendra Rahardja yang kabur ke Australia. Meski ada perjanjian ekstradisi, ternyata tak mudah mengais kembali harta yang dibawa kabur bos Bank Harapan Sentosa itu. Hendra memang dapat dipulangkan ke Indonesia setelah meninggal dunia lebih dulu. Dari Rp 3,6 triliun dana BLBI yang ditilap, hanya Rp 3,6 miliar yang bisa dibawa kembali ke Indonesia.

Selain itu, tak ada salahnya jika mengadakan kerja sama dengan Financial Action Task Force (FATF), terutama bagi tim pemburu harta koruptor yang telah dibentuk pemerintah. Kerja sama dengan lembaga internasional ini penting, terutama untuk melacak harta hasil jarahan yang diparkir di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Kita mesti belajar dari negara lain untuk pengejaran korupsi, kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Luky Djani.

Filipina bisa dijadikan contoh saat mengejar harta hasil korupsi mendiang Presiden Ferdinand Marcos. Harta jarahan yang diparkir di berbagai bank di Hawaii itu akhirnya bisa dipulangkan kembali setelah 15 tahun pengejaran. Sukses ini tak lepas dari kerja keras tim pemburu bentukan Presiden Cory Aquino yang menelusuri aliran dana Marcos. Memang tak semua harta Marcos kembali. Maklumlah, para pendukung setia diktator itu masih menjadi penghalang, baik yang berkiprah di parlemen maupun di pemerintahan.

Keseriusan semua pihak dibutuhkan untuk mengejar harta koruptor di luar negeri. Sebaik apa pun peraturan yang dibuat tak akan berarti apa-apa jika tak didukung aparat yang bersih. Perjanjian ekstradisi dan upaya cekal hanya satu bagian dari banyak upaya. Cekal tidak berfungsi jika aparat di lapangan masih bermain, kata Romli.

Selama ini, lolosnya tersangka korupsi ke luar negeri tak lepas dari kinerja aparat keimigrasian. Romli menyarankan agar persoalan internal ini dibereskan dulu sebelum perjanjian ekstradisi dengan Singapura ditandatangani. Jika lubang ini tak segera ditutup, perjanjian ekstradisi dan cegah-tangkal cuma macam ompong di atas kertas. Ujungnya, Indonesia juga yang akan mendapat malu. arif/sunariyah/edy can

Sumber: Koran Tempo, 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan