Agar Endemi Korupsi Cepat Dibasmi
Perasaan gembira dan kecewa campur aduk dalam benak Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki. Rasa gembira muncul karena permohonan uji materiil yang diajukan Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri, Bram Manoppo, ditolak Mahkamah Konstitusi. Tersangka kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 merek PLC Rostov buatan Rusia itu mempersoalkan Pasal 68 UU KPK yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal 28i ayat 1 disebutkan soal hak dasar untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Penolakan itu tak lepas dari pertimbangan hukum bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan menilai apakah tindakan KPK menyelidiki, menyidik, dan menuntut Bram Manoppo sebagai tindakan berlaku surut (retroaktif) atau bukan. Kasus ini memang berhubungan langsung dengan penerapan sebuah undang-undang. Yang berwenang memutuskan penerapan UU KPK adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Namun, kegembiraan Ruki tak berlangsung lama. Pasalnya Mahkamah Konstitusi juga merilis pertimbangan hukum yang menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih perkara yang terjadi sebelum UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002. Artinya, UU KPK tidak memiliki asas retroaktif. Keruan saja pertimbangan hukum yang dibacakan di depan perwakilan pemerintah, DPR, pemimpin KPK, dan Bram Manoppo serta kuasa hukumnya pekan lalu itu menyulut kontroversi.
Mahkamah Konstitusi dituding tidak peka terhadap aspirasi masyarakat yang menginginkan korupsi segera dibasmi. Pasalnya pertimbangan hukum tadi bisa dijadikan celah bagi tersangka tindak pidana korupsi untuk meloloskan diri. Celah ini yang membuat Ruki geram dan berkomentar keras. Menurut Ruki, mereka yang merasa terpotong keuntungan dan kepentingannya melakukan berbagai cara melemahkan pemberantasan korupsi. Mereka berusaha agar jangan ada pemberantasan korupsi, katanya.
Kegundahan Ruki cukup beralasan. Celah ini bisa digunakan untuk menggembosi kewenangan KPK memeriksa kasus yang terjadi sebelum 27 Desember 2002. Salah satunya, ya kasus dugaan korupsi Bram Manoppo dan Abdullah Puteh. Keduanya terlibat dalam pembelian helikopter buatan Rusia pada 26 Juni 2002. Jual-beli ini diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 13,6 miliar. Kami akan memperkarakan kembali kewenangan KPK dalam memeriksa kasus-kasus sebelum KPK lahir, kata Mohammad Assegaf, kuasa hukum Bram Manoppo.
Kekhawatiran Ruki akhirnya menjadi kenyataan. Abdullah Puteh menggunakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Ad Hoc Korupsi. Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam itu meminta hakim menghentikan penahanan dirinya dan membatalkan kasusnya karena tidak memiliki landasan hukum. Ini produk institusi yang tidak mempunyai kewenangan, kata Assegaf.
Memang dalam persidangan pekan lalu, jaksa penuntut umum Khaidir Ramli keberatan dengan alat bukti berupa pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang diajukan kuasa hukum Puteh. Alasannya, persidangan Puteh merupakan peradilan pidana. Berbeda dengan peradilan perdata yang bisa mengajukan barang bukti di tengah sidang. Apalagi penyidikan kasus ini tidak menggunakan UU KPK, tapi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persidangan ini tertunda gara-gara kesehatan Puteh terganggu.
Keberatan Khaidir Ramli dalam persidangan Puteh paling tidak membuka peluang bagi kasus yang terjadi sebelum KPK berdiri. Alasannya KPK tidak berwenang memeriksa kasus masa lalu bisa dijadikan alat lolos dari jerat hukum. Sampai saat ini memang ada beberapa kasus yang terjadi sebelum 27 Desember 2002 yang ditandatangani KPK. Misalnya, penyalahgunaan pre-shipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI. Selain itu, ada juga perkara pengadaan barang dan jasa dalam proyek Transmisi Gas di Jawa Timur.
Jika pertimbangan Mahkamah Konstitusi tadi dijadikan alat bukti oleh para tersangka, tentu saja akan muncul preseden buruk dalam pemberantasan korupsi. Apalagi korupsi seperti endemi dan sistematis di tengah masyarakat. Menurut praktisi hukum Todung Mulya Lubis, putusan Mahkamah Konstitusi cukup aneh dan berlebihan. Seharusnya MK tidak membahas masalah substansi kalau sudah berkesimpulan dengan legal standing, katanya.
Menurut Todung, untuk menangkap endemi korupsi perlu terobosan baru dan senjata pamungkas. Kehadiran KPK paling tidak bisa memberi harapan. Karena itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi bisa melihat aspirasi dan tujuan dibuatnya sebuah undang-undang. Tidak mesti dilihat secara harfiah, katanya. Hal senada juga diungkapkan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Menurut Bagir, asas hukum tidak berlaku surut bisa dihilangkan demi rasa keadilan masyarakat.
Asas hukum tidak berlaku surut, kata Bagir, memang sesuatu yang kontroversial. Di satu sisi, asas itu menjamin kepastian hukum agar seseorang tidak diperlakukan semena-mena. Namun, di sisi lain, tindakan yang dilakukan saat itu memang belum ada hukumnya. Masalah kejahatan HAM yang luar biasa, misalnya. Tapi asas itu bisa diterobos hakim demi pengadilan, kata guru besar hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, ini. Intinya jangan sampai seseorang tidak mendapat keadilan hanya gara-gara asas nonretroaktif.
Memang diperlukan cara-cara luar biasa untuk menyelesaikan kasus luar biasa seperti korupsi yang sudah mewabah ini. Keberadaan KPK bisa dijadikan alat membasmi endemi yang satu ini. Munculnya pertimbangan Mahkamah Konstitusi mestinya tidak menyurutkan langkah KPK. Putusan MK yang mengikat adalah amar putusannya, bukan pertimbangan hukumnya, kata Danang Widoyoko, Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW.
Meski memiliki celah untuk tetap menggunakan hak retroaktif, KPK bisa memahami sikap Mahkamah Konstitusi. Pasalnya Mahkamah Konstitusi memiliki konstruksi berpikir yuridis teknis. Walau begitu, Ruki berharap MK mampu menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan tujuan diterbitkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Tujuannya apa lagi kalau bukan membasmi korupsi.
Kini yang patut dicermati tak lain sinyalemen Ruki tentang adanya usaha menghambat pemberantasan korupsi secara sistematis. Kita bisa lihat gaji Hakim Ad Hoc Korupsi belum digaji, katanya. Selain itu, para koruptor berusaha mengalihkan usaha pemberantasan korupsi ke urusan politik. Jadilah urusan pengembatan uang rakyat ini persoalan politik. Semoga saja kecemasan dan kekecewaan Ruki tak terus berlanjut. edy can/istiwomatul hayati/abdul manan/sunariyah
Sumber: Koran Tempo, 23 Februari 2005