Agama, Budaya, dan Pemberantasan Korupsi

Negara kita berdasar Pancasila, dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kegiatan ibadah ritual sebagian besar rakyat terlihat baik. Tiap Ramadhan masjid ramai, tiap tahun sekitar 200.000 warga Indonesia menjalankan ibadah haji. Gereja-gereja pun umumnya ramai dikunjungi umat Kristiani. Begitu pula tempat ibadat lainnya.

Karena itu kita sering menyatakan diri sebagai bangsa yang religius, menempatkan agama sebagai hal penting dalam hidup kita. Namun, sebaliknya, negara kita di kawasan Asia dan dunia termasuk negara terkorup. Itulah satu dari sekian banyak paradoks bangsa kita.

Korupsi telah menjadi bagian utama hidup kita. Bahkan ada yang menyatakan korupsi sudah menjadi budaya. Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Taufik Effendi berusaha membantahnya melalui tulisan Korupsi Bukan Budaya Kita. Tetapi kita melihat, budaya penyalahgunaan wewenang telah menjadi realitas kehidupan sehari-hari. Korupsi telah bersifat endemik dan sistemik.

Agama apa pun pasti melarang perbuatan korupsi atau suap. Dan pelaku korupsi pun tahu pasti agama apa pun melarang dan mengutuk tindakan itu. Tetapi tampaknya banyak dari kita melanggarnya apabila mendapat kesempatan. Jika demikian, hukuman di dunia akan jauh lebih efektif. Mungkin pendekatan agama (jika tepat dilakukan) bisa dipakai untuk pencegahan (preventif) yang bersifat kultural.

Paradoks itu menunjukkan, ibadah ritual (mahdhah) tidak selalu berhubungan positif dengan ibadah sosial. Mungkin lebih tepat dikatakan, ibadah ritual yang tidak bermutu tidak berdampak positif pada perilaku. Sementara kita melihat, banyak orang yang tidak menjalankan ibadah ritual atau mungkin ateis, tetapi perilaku sosialnya baik.

Jadi yang menentukan perilaku kita ialah tingkat spiritualitas. Atau dapat memakai istilah yang populer, religiositas (keberagamaan). Religiositas ialah penghayatan terhadap nilai-nilai yang disampaikan agama sekaligus dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Orang yang mempunyai religiositas tinggi tidak mengandung paradoks antara kesalehan personal dan kesalehan sosial serta kesalehan profesional dalam dirinya.

NABI Muhammad SAW diutus memperbaiki akhlak dan intinya ialah kejujuran. Kita tahu, kejujuran ialah dasar kehidupan manusia, baik pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Di masyarakat yang langka kejujuran, rasa saling percaya juga rendah (low-trust society). Masyarakat seperti itu pada hakikatnya bukan masyarakat yang religius.

Agama Islam memberi pegangan untuk memilih pimpinan yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (profesional), dan fathonah (cerdas). Saya yakin agama lain juga mempunyai pedoman serupa. Kita menjadi saksi, kehancuran bangsa kita diakibatkan oleh korupsi, akibat ulah pemimpin kita yang cerdas, profesional tetapi tidak dapat dipercaya dan tidak jujur.

Maka salah satu langkah tepat untuk mencegah korupsi ialah memberi pendidikan antikorupsi yang intinya mendidik anak bangsa menjadi jujur terhadap diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan.

Perlu disimak pengalaman seorang guru SMU dalam mengajarkan kejujuran. Ketika ditanyakan mengapa berbagai tindak amoral kian gencar terjadi di masyarakat, para siswa menjawab karena banyak orang melakukan. Nalar sederhana menyimpulkan, tindakan-yang melanggar hukum sekalipun-jika dilakukan banyak orang, itu akan dianggap kelaziman. Apalagi jika tidak diambil tindakan hukum.

Pak Guru bertanya, Jika kalian ramai-ramai nyontek saat ulangan, itu amoral atau tidak? Pak Guru menandaskan, sendiri atau beramai-ramai, amoral tetap amoral, tidak jujur tetap tidak jujur. Kita tidak usah heran jika KKN sulit diberantas karena banyak orang melakukan, termasuk guru dan pejabat tinggi, sehingga tindakan itu dianggap biasa, bukan lagi ketidakjujuran.

Kita tahu, pendidikan kejujuran di sekolah tidak akan bermanfaat jika kenyataan dalam kehidupan sehari-hari tidak sejalan dengan yang diberikan di sekolah. Jika dalam kehidupan nyata kejujuran tidak membawa keberuntungan, bahkan orang tidak jujur ternyata lebih beruntung, memang sulit untuk mengajarkan kejujuran kepada anak didik.

Maka upaya itu tidak hanya harus dilakukan di sekolah, tetapi juga di rumah. Untuk bisa berhasil, pendidikan di rumah memerlukan keteladanan orangtua. Karena itu, orangtua dituntut bersikap dan bertindak jujur dalam kehidupan nyata. Orangtua dituntut menghargai hak orang lain dan memenuhi tugas serta kewajibannya dengan baik. Jika tidak, si anak pasti akan mengetahui perilaku tidak terpuji itu dan akan mencontohnya.

PENDIDIKAN akhlak itu selaras dengan pendidikan budi pekerti. Budi pekerti tidak terikat agama tertentu dan mencakup nilai-nilai luhur yang dapat diterima semua agama. Pendidikan budi pekerti perlu diberikan sejak usia dini yang merupakan masa pembentukan diri. Pendidikan budi pekerti juga sejalan dengan pembangunan karakter anak bangsa yang nantinya akan memengaruhi pola pikir dan perilaku. Dalam pendidikan karakter, tidak ada metode yang lebih baik daripada memberi teladan.

Nilai-nilai luhur yang disampaikan dalam pembangunan karakter mempunyai lingkup luas. Di antaranya nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, bangsa, dan agama yang diharapkan bisa menghasilkan rasa saling mengasihi, mengerti, menghormati, dan saling bantu. Juga bisa ditanamkan penghargaan terhadap kerja (etos kerja), sedangkan materi atau uang bukan tujuan tetapi hasil kerja. Dengan ini diharapkan bisa dicegah kecenderungan menempuh jalan pintas atau tujuan menghalalkan cara.

Pembangunan karakter termasuk pembentukan disiplin dan penghargaan terhadap waktu serta ketelitian dan kecermatan yang padanannya dalam bahasa Inggris ialah punctuality. Semua itu secara tidak langsung diharapkan dapat mencegah anak bangsa dari godaan penyalahgunaan wewenang. Yang tidak kalah penting ialah menanamkan ke dalam diri anak rasa bersalah jika melanggar peraturan atau hukum.

Pendidikan budi pekerti, pendidikan antikorupsi, dan pembangunan karakter dilakukan untuk membentuk budaya antikorupsi yang bersifat preventif, dan baru akan diketahui hasilnya di kemudian hari. Budaya antikorupsi harus terus dikampanyekan bersama kekuatan lain seperti ormas agama (NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Walubi, dan lainnya), oleh LSM, masyarakat epistemik seperti Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, organisasi profesi, dan sebagainya.

Kita sadar pendidikan tak akan memberi hasil seperti diharapkan jika tidak didukung langkah represif, yaitu pemberian sanksi hukum tegas terhadap pelaku korupsi tanpa pandang bulu. Maka kekuatan masyarakat sipil harus menekan lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) serta Komisi Pemberantas Komisi untuk meningkatkan kinerjanya dalam waktu singkat.(Salahuddin Wahid Anggota Presidium Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 25 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan