Adrian Waworuntu Tetap Menyangkal Bobol Bank BNI

Adrian Herling Waworuntu (54) tetap menyangkal terlibat dalam kasus pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, senilai Rp 1,214 triliun melalui sejumlah perusahaan yang masuk dalam Gramarindo Group. Sebab, upaya pembobolan dengan cara pencairan surat kredit ekspor dengan dokumen fiktif itu sudah dimulai jauh sebelum dia menjadi konsultan investasi Gramarindo Group.

Sangkalan ini disampaikan Adrian dalam sidang lanjutan perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (17/3).

Sangkalan itu merupakan tanggapan Adrian atas replik yang disampaikan jaksa Syaiful Thahir pada sidang 14 Maret 2005. Saat itu Syaiful mengatakan bahwa Adrian, yang merupakan orang kepercayaan Maria Pauline Lumowa, pemilik Gramarindo Group, tak mungkin tidak mengetahui bahwa dana yang digunakan perusahaan itu berasal dari pembobolan Bank BNI.

Keyakinan Syaiful ini diperkuat dengan adanya uang sekitar Rp 7 miliar dari Gramarindo Group yang berasal dari pembobolan Bank BNI yang masuk ke rekeningnya.

Dalam sangkalannya, Adrian mengaku tidak tahu jika uang yang diterimanya dari Gramarindo Group itu berasal dari pembobolan Bank BNI. Sebab, dia tidak pernah terlibat dalam pencairan dana dari Bank BNI yang dilakukan grup perusahaan itu.

Menurut Adrian, ketidaktahuan ini juga terjadi karena dia baru bertemu dengan Maria Pauline Lumowa pada Januari 2003. Sementara proses pencairan 41 surat kredit ekspor dari Bank BNI dengan dokumen fiktif yang terjadi Desember 2002 hingga Juli 2003 sudah dimulai sejak April 2002.

Tim penasihat hukum Adrian berpendapat bahwa kliennya tidak merugikan negara karena turut mengelola dana yang didapat Gramarindo Group dari Bank BNI dan memasukkan sejumlah uang dari grup perusahaan itu ke rekening pribadinya. Sebab, kerugian negara terjadi ketika uang dari Bank BNI itu masuk ke Gramarindo.

Dengan alasan di atas, Adrian meminta dibebaskan dari segala dakwaan karena merasa tidak melakukan korupsi atau pencucian uang seperti yang didakwakan jaksa.

Menanggapi hal ini, majelis hakim yang terdiri atas Roki Panjaitan, Eddy Joenarso, dan Ketut Manika memutuskan menunda sidang hingga 30 Maret 2005. (NWO)

Sumber: Kompas, 18 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan