Adrian Divonis Penjara Seumur Hidup

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/3), menyatakan Adrian Herling Waworuntu (54) terbukti bersalah dalam perkara korupsi Rp 1,214 triliun, yang berasal dari pencairan dana Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan dokumen fiktif oleh perusahaan Grup Gramarindo.

Oleh karena itu, majelis hakim yang diketuai Roki Panjaitan, dengan anggota Eddy Joenarso dan I Ketut Manika, memvonis Adrian dengan hukuman penjara seumur hidup. Adrian juga diperintahkan membayar denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan dan uang pengganti Rp 300 miliar.

Vonis yang dibacakan dalam sidang yang berlangsung pukul 11.40 hingga 14.50 itu lebih berat daripada tuntutan jaksa Syaiful Thahir yang disampaikan Senin pekan lalu.

Saat itu Syaiful menuntut Adrian dengan hukuman penjara seumur hidup dan membayar denda Rp 1 miliar subsider kurungan tiga bulan. Jaksa pun hanya meminta Adrian membayar uang pengganti Rp 6,846 miliar.

Meskipun vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Adrian lebih berat, Syaiful tetap menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.

Adrian dan tim penasihat hukumnya yang dipimpin Yan Djuanda Saputra menyatakan banding terhadap vonis itu.

Terbukti bersalah
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan tidak ada hal yang meringankan Adrian dalam perkara ini.

Majelis hakim hanya mencatat ada sejumlah hal yang memberatkan. Misalnya, Adrian dinilai berbelit-belit selama memberikan keterangan di persidangan, tidak pernah mengembalikan uang milik Bank BNI yang dia korupsi, dan tidak pernah terlihat menyesal.

Padahal, setelah mendengar keterangan dari 29 saksi dan tiga saksi ahli yang diajukan jaksa serta tiga saksi ahli yang diajukan Adrian dan tim penasihat hukumnya, majelis hakim berkesimpulan bahwa Adrian terbukti bertanggung jawab dalam pencairan dan penempatan uang yang didapat perusahaan Grup Gramarindo dari pencairan 41 surat kredit (L/C) ekspor dari Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan menggunakan dokumen fiktif.

Pengelolaan itu, misalnya, dilakukan Adrian dengan memerintahkan agar uang dari Bank BNI yang didapat oleh delapan perusahaan yang bernaung di bawah Grup Gramarindo itu ditransfer ke berbagai rekening untuk kepentingan sejumlah proyek atas nama PT Sagared Team, di mana dia menjadi salah seorang komisaris. Dana juga ditransfer ke sejumlah rekening demi kepentingan pribadi Adrian serta Maria Pauliene Lumowa, pemilik Grup Gramarindo yang sekarang berkewarganegaraan Belanda.

Hal itu terjadi ketika Adrian meminta perusahaan jasa keuangan PT Aditya PutraPratama Finance (APF) milik Yoke Yola Sigar, saudaranya, menerima uang yang dikirimkan sejumlah perusahaan anggota Grup Gramarindo. Padahal uang itu berasal dari pencairan surat kredit ekspor Bank BNI.

Berkaitan dengan perintah Adrian tersebut, pada 25 Juni 2003 PT APF lalu menerima uang Rp 2,5 miliar dari PT Bhinekatama Pacific. Selanjutnya pada 4 Juli 2003 menerima Rp 5 miliar dari PT Magnetio, dan masing-masing Rp 5 miliar pada 11 Juli serta Rp 2 miliar pada 16 Juli 2003 dari PT Gramarindo Mega.

Setelah itu Adrian meminta PT APF mentransfer sebagian uang yang mereka terima dari sejumlah perusahaan Grup Gramarindo tersebut ke rekening pribadinya di BCA Cabang Kemang. Uang yang ditransfer itu antara lain Rp 1,65 miliar pada 26 Juni 2003, Rp 1,446 miliar pada 2 Juli 2003, Rp 1,5 miliar pada 14 Juli 2003, Rp 2 miliar pada 17 Juli 2003, serta Rp 250 juta pada 27 Agustus 2003.

Penggelapan yang dilakukan Adrian melalui PT APF ini, menurut majelis hakim, membuat negara dirugikan sekitar Rp 9,96 miliar dan lebih dari 488.000 dollar AS.

Dalam pembelaan yang disampaikan pada sidang 7 Maret lalu, Adrian berkilah bahwa uang yang masuk ke rekening pribadinya merupakan pembayaran PT Sagared Team untuk tanah seluas 31 hektar miliknya di Cilincing, Jakarta Utara.

Namun, itu dibantah notaris Rizam Fadilah Tajudin, yang menyatakan tidak ada nama Adrian dalam daftar nama penjual atau pembeli tanah tersebut. Managing Director PT Sagared Team Ollah Abdullah Agam juga mengaku tidak pernah melakukan pembayaran atas transaksi tanah itu kepada Adrian.

Tidak obyektif
Seusai persidangan, kepada wartawan, Adrian menyesalkan vonis majelis hakim. Ia menilai putusan itu tidak obyektif karena hanya berlandaskan pada dakwaan jaksa.

Yan Djuanda Saputra menambahkan, ketidakobyektifan itu terlihat dari tindakan majelis hakim yang tidak pernah mendengarkan pengakuan langsung Maria Pauliene tentang Adrian. Semua pendapat Maria hanya didapat dari orang ketiga, hingga lebih sebagai opini dan bukan fakta, katanya.

Berkaitan dengan itu, Direktur Utama Bank BNI Sigit Pramono berharap putusan itu bisa meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan mempercepat proses pengembalian (recovery) kerugian negara.

Putusan itu diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi orang yang ingin melakukan kejahatan perbankan. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana aset negara bisa dikembalikan, kata Sigit, yang juga Ketua Himpunan Bank- bank Milik Negara (Himbara).

Menurut Sigit, dari jumlah kerugian Rp 1,2 triliun itu, hingga saat ini Bank BNI baru memperoleh Rp 3,36 miliar dan 400.000 dollar AS. (FAJ/nwo)

Sumber: Kompas, 31 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan