Adik Hakim Diperiksa
Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi, Senin (3/1), mulai bekerja. Majelis langsung memeriksa Zaimar, adik ipar hakim konstitusi Arsyad Sanusi; dan Daryono, sopir hakim Akil Mochtar.
Zaimar adalah orang yang diduga menghubungi Dirwan Mahmud dan mengajak Dirwan ke apartemen Arsyad. Daryono disebut-sebut dalam laporan tim investigasi yang diduga tahu kegiatan Akil selepas jam kerja.
Ketua Majelis Kehormatan Hakim (MHK) MK Harjono, Senin, menjelaskan, pemeriksaan Zaimar dilakukan tim gabungan Panel Etik dan MKH. ”Masih gabungan karena kami, kan, masih membuat laporan Panel Etik juga,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, MK melalui Surat Keputusan MK Nomor 07/KEP/KA.MK/2010 tertanggal 30 Desember 2010 membentuk Majelis Kehormatan MK. Majelis Kehormatan terdiri dari hakim konstitusi Harjono (ketua) dan Achmad Sodiki (sekretaris). Tiga lainnya berasal dari luar MK, yaitu Bagir Manan (mantan Ketua Mahkamah Agung), Abdul Mukthie Fadjar (mantan Wakil Ketua MK), dan Esmi Warassih Pujirahayu (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang).
Kemarin, Esmi dan Mukthie Fadjar sudah bergabung melakukan pemeriksaan. Ditemui seusai pemeriksaan, Mukthie dan Esmi mengungkapkan, pihaknya harus mempelajari dulu hasil Panel Etik. ”Masih banyak yang harus didengar,” ujar Mukthie.
Terkait pembentukan Majelis Kehormatan, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Pengadilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengkritik MK yang dinilai memilih anggota MKH secara sepihak. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan MK Nomor 10 Tahun 2006 khususnya Pasal 4 Ayat 2 yang menyebutkan, pemilihan tiga anggota MKH dilakukan dengan memerhatikan masukan masyarakat.
Menurut Febri, MK harus menjelaskan apakah sudah menjalankan ketentuan pasal tersebut atau belum. Bila belum dilakukan, belum terlambat bagi MK untuk mengoreksinya.
Namun, Mahfud menjelaskan, dipilihnya Bagir Manan, Mukthie Fadjar, dan Esmi Warassih sesuai amanat Peraturan MK Nomor 10 Tahun 2006. Unsur dari luar MK harus merepresentasikan guru besar senior ilmu hukum, mantan hakim agung atau hakim MK, dan mantan pimpinan lembaga negara.
Mahfud menjelaskan, MKH akan bekerja kira-kira satu bulan. Tugas dan kewenangannya memeriksa dan mengambil keputusan tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku yang dilakukan hakim terlapor (Arsyad dan Akil). Namun, bila tidak ditemukan pelanggaran kode etik, rekomendasinya berupa pemulihan nama baik hakim terlapor. (ANA)
Sumber: Kompas, 4 Januari 2011
--------------------
Pendapat ICW:
Mahkamah Konstitusi sudah mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH), dengan keanggotaan sebagai berikut:
- Harjono, Hakim MK (dari Panel Etik) sebagai KETUA MKH
- Achmad Sodiki, Hakim MK (dari Panel Etik) sebagai SEKRETARIS MKH
- Bagir Mannan, mantan Ketua MA
- Abdul Mukhtie Fajar, mantan Hakim MK
- Esmi Warrasih Pujirahayu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
MKH tersebut dibentuk untuk memeriksa ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik atau perilaku hakim terhadap dua Hakim MK, yaitu: Akil Mochtar dan Arsyad Sanusi.
Hingga saat ini, sikap MK yang akhirnya membentuk Panel Etik dan MKH untuk dua hakim tersebut patut diapresiasi. Hal ini setidaknya memberi harapan pada publik, bahwa MK tidak resisten dengan kritik dan pengawasan, dan bersedia berbenah ke dalam institusinya sendiri.
MELANGGAR PMK?
Akan tetapi, kita perlu lebih mencermati proses penunjukkan anggota MKH tersebut. Seperti diatur di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 10 tahun 2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, seharusnya tiga anggota MKH yang berasal dari unsur luar MK tidak bisa ditunjuk secara sepihak oleh MK saja.
Pasal 4 PMK N0. 10 tahun 2006 tersebut mengatur:
Ayat (1):
Majelis Kehormatan beranggotakan lima orang, yang terdiri atas dua orang berasal dari Hakim Panel Etik sebagaimana tersebut dalam Pasal 3, ditambah tiga orang, masing-masing seorang guru besar senior dalam ilmu hukum, seorang mantan Hakim Agung atau mantan Hakim Konstitusi, serta seorang mantan pimpinan lembaga tinggi negara
Ayat (2):
Tiga orang anggota Majelis Kehormatan lainnya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipilih oleh Rapat Pleno Mahkamah dengan memperhatikan masukan dari masyarakat;
Pasal 4 ayat (1) yang mengatur tentang komposisi anggota MKH sepertinya sudah dipenuhi oleh MK. Akan tetapi, tampaknya MK tidak serius menerapkan Pasal 4 ayat (2) PMK yang mensyaratkan agar penunjukan 3 anggota MKH tersebut MEMPERHATIKAN masukan dari masyarakat.
Hingga saat ini, ICW bahkan belum mendengar MK pernah melakukan mekanisme penerimaan masukan masyarakat tentang penunjukkan 3 anggota MKH tersebut. Tiba-tiba MK sudah menentukan saja secara sepihak 3 nama sebagai anggota MKH. Padahal Pasal 4 ayat (2) PMK 10/2006 mengatur secara tegas masukan dari masyarakat.
bagian yang mengatur tentang "masukan dari masyarakat" tersebut tentu bukan asesoris atau sekedar penghias belaka. Ia adalah bagian dari aturan hukum yang harus dipatuhi MK. Di titik inilah, wajar jika ICW mempertanyakan pada MK, apakah dalam menunjuk 3 anggota MKH tersebut, MK sudah menjalankan secara utuh Pasal 4 ayat (2) PMK No. 10 tahun 2006? Jika tidak, MK perlu dikritik dan dikoreksi.
Hal ini penting, karena sesungguhnya pertanggungjawaban MK sebagai salah satu lembaga negara milik publik adalah pada publik itu sendiri. Karena MK tentu bukan hanya milik para hakim Konstitusi. Lebih dari itu, Ketua MK, Mahfud MD seringkali menegaskan bahwa MK akan terbuka dalam mengusut dugaan penyimpangan ditubuh institusi yang ia pimpin tersebut.
Kita bisa membandingkan frase "memperhatikan masukan masyarakat" dengan ketentuan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Disana bahkan prinsip keterlibatan dan partisipasi publik diperjelas hingga bisanya masyarakat memberi masukan dan pengawalan terhadap pemilihan calon pimpinan KPK. BUkankah seharusnya MK juga menerapkan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik seperti ini.
Karena itu, MK perlu dikritik dalam pembentukan MKH ini. Jangan sampai, proses yang cacat prosedural atau cacat hukum tersebut berakibat pada lemahnya posisi MKH dan tidak legitimetnya hasil pemeriksaan MKH tersebut. Jika hal itu terjadi, niscaya tujuan penyelamatan dan pembersihan MK tidak akan tercapai.
Namun, bukan berarti MK tidak punya waktu untuk melakukan koreksi dalam penunjukan anggota MKH tersebut. ICW menyarankan MK mencermati kembali ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK NO. 10 tahun 2006 dan mengkoreksi kebijakan penunjukan 3 anggota MKH tersebut. Belum terlambat untuk memperbaiki keadaan saat ini, apalagi Panel Etik masih menjalankan tugasnya dan belum memberikan rekomendasi akhir. MK kita harapkan bisa menjadi teladan yang baik soal kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan/hukum yang ada di Indonesia.
Sebagai catatan: tidak bisa dijadikan alasan pembenar untuk melanggar Pasal 4 ayat (2) PMK, dengan alasan MK telah berkoordinasi dengan Pemerintah, DPR dan MA. Tiga lembaga ini adalah lembaga negara yang tentu saja sangat berbeda dengan makna "mendengar masukan masyarakat" seperti diatur di MK.
Febridiansyah