Ada Potensi Pemborosan Keuangan

Indonesia Corruption Watch menduga ada potensi pemborosan keuangan negara sebesar Rp 602 miliar dalam rencana anggaran pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan anggaran Rp 1,138 triliun, diduga ada penggelembungan. Padahal semestinya anggaran bisa ditekan hanya Rp 535,6 miliar.

Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) itu disampaikan dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (13/4), yang dihadiri antara lain oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Firdaus Ilyas, serta peneliti korupsi politik Abdullah Dahlan.

ICW merujuk Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara serta Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Jika anggota DPR dianggap setara dengan pejabat eselon I, standar ruang kerjanya 80 meter persegi. Itu mencakup ruang kerja, tamu, rapat, staf, dan sekretaris.

Jika jumlah anggota DPR mencapai 600 orang, total luas ruang yang dibutuhkan adalah 48.000 meter persegi. Ditambah dengan ruang fraksi, pimpinan, dan ruang pendukung (seluas 5.178 meter persegi) serta fungsional lain (seluas 26.589 meter persegi), total kebutuhan ruang gedung baru adalah 79.767 meter persegi. Bangunannya pun cukup 18 lantai.

Dengan perhitungan biaya Rp 6,7 juta per meter persegi, total biaya Rp 535,675 miliar. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran versi DPR yang mencapai Rp 1,138 triliun. Perhitungan DPR itu adalah kebutuhan ruang 156.000 meter persegi dan biaya Rp 7,2 juta per meter persegi. ”Ada selisih Rp 602,5 miliar antara biaya standar sesuai aturan dan anggaran versi DPR. Itu pemborosan atau mark up yang potensial dikorupsi,” kata Firdaus Ilyas.

Audit
Berdasarkan perhitungan itu, kata Ade Irawan, pembangunan gedung baru harus dihentikan. Apalagi, selama ini pimpinan DPR tak punya argumentasi jelas yang mendasari pentingnya mendirikan gedung baru.

”Kami meminta BPK untuk segera melakukan audit investigatif atas pengeluaran dana dan penganggaran pembangunan itu. Sementara KPK bisa menelaah dugaan adanya tindakan korupsi,” kata Ade Irawan.

”Kalau memang ada mark up itu, saya paling keras untuk bilang: segera periksa dan jadikan tersangka,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani, di Jakarta, Rabu.

Menurut Ahmad Yani, sesuai dengan yang disampaikan Ketua DPR Marzuki Alie, masalah teknis pembangunan gedung DPR diserahkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum. Adapun DPR akan menunggu hasil verifikasi dan audit. ”Sejak awal penetapan harga satuan seharusnya dibuka,” katanya.

Sebagai anggota DPR, Ahmad Yani mengaku tidak tahu perincian biaya pembangunan gedung DPR. ”Yang kami tahu itu adalah biaya global yang dilaporkan dalam rapat paripurna,” ujarnya. (IAM/LOK)
Sumber: Kompas, 14 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan