Ada Penyimpangan Rp 7,12 Triliun
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) kembali membeberkan penyimpangan di lembaga pemerintah. Berdasar temuan terbaru lembaga itu dari hasil pemeriksaan selama semester II 2004, ada penyimpangan Rp 7,12 triliun atau 2,52 persen dari cakupan pemeriksaan Rp 282,89 triliun.
Hal itu diungkapkan Ketua BPK Anwar Nasution dalam sambutan pada penyerahan Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) II Tahun Anggaran 2004 kepada DPR dalam sidang paripurna di Gedung Nusantara II kemarin.
Menurut Anwar, pemeriksaan itu terdiri atas 506 entitas senilai Rp 282,89 triliun atau 64,84 persen dari realisasi anggaran dengan nilai aset Rp 436,24 triliun. BPK menemukan indikasi 914 kasus merugikan negara Rp 933,27 miliar atau 0,33 persen dari cakupan pemeriksaan.
Selain itu, ditemukan 321 kasus kekurangan penerimaan negara Rp 855,26 miliar atau 0,3 persen dari cakupan pemeriksaan. Sebanyak 893 kasus lain berindikasi tidak hemat, tidak efisien, dan tidak efektif dengan nilai Rp 5,33 triliun atau sekitar 1,89 persen dari cakupan pemeriksaan.
Hapsem yang diserahkan BPK kemarin menyangkut tahun anggaran 2004 periode Juli-Desember (semester I). Isinya, hasil pemeriksaan atas pelaksanaan APBN, APBD, BUMN, BUMD TA/TB 2003 dan TA/TB 2004, serta hasil pemeriksaan BPK atas perhitungan anggaran negara 2003.
Tapi, penyajian Hapsem tersebut masih mengikuti ikhtisar lama dan belum disesuaikan dengan bentuk ikhtisar yang diamanatkan UU No 15 Tahun 2004. Hapsem yang diserahkan itu hasil pemeriksaan semester terakhir yang dilaksanakan pimpinan BPK periode 1998-2004.
Anwar mengungkapkan, untuk yang keempat, BPK tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap APBN 2003. Mantan deputi gubernur senior Bank Indonesia (BI) itu menambahkan, ada dua alasan pokok pemberian predikat disclaimer. Pertama, pemerintah belum menerapkan sistem akuntansi yang baku. Kedua, pemerintah belum mengambil langkah memadai terhadap temuan pemeriksaan BPK pada tahun anggaran sebelumnya.
Disebutkan, Hapsem kali ini meliputi pemeriksaan pada 586 entitas, termasuk 1 PAN tahun anggaran 2003, 55 laporan realisasi anggaran departeman atau lembaga, dan 24 inventarisasi kekayaan negara tahun 2003.
Dari hasil pemeriksaan itu, kata dia, ada dua temuan menyangkut unsur pidana korupsi. Ini sudah disampaikan kepada Kejaksaan Agung RI untuk ditindaklanjuti.
Temuan tersebut mengenai pengadaan helikopter MI-17-IV dengan fasilitas kredit ekspor (KE) pada Dephan dan TNI-AD senilai USD 3,24 juta. Yang lainnya adalah IKN (inventarisasi kekayaan negara) tahun anggaran 2003 pada kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata senilai Rp 1 miliar.
Dalam kesempatan itu, dia mengeluhkan kesenjangan gaji yang cukup besar antara karyawan BPK dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Selain itu, Anwar mengeluhkan Kantor BPK yang sudah tidak layak huni. Kantor BPK sudah tidak layak huni dan peralatan kerjanya jauh di bawah standar umum, paparnya.
Dia bertutur, gaji karyawan BPK mengikuti standar umum gaji pegawai negeri sipil (PNS). Sebaliknya, gaji karyawan BPKP, yang juga pegawai negeri, ternyata tidak mengikuti standar itu. Gaji karyawan BPKP mengikuti standar gaji karyawan Depkeu yang berlipat ganda dari standar gaji pegawai negeri, ungkapnya.
Anwar juga mengeluhkan sempitnya kebebasan maupun kemandirian BPK. Karena berbagai alasan, kebebasan dan kemandirian BPK saat ini sangat sempit, ujarnya.
Sempitnya kebebasan BPK itu, ungkap dia, disebabkan pembatasan objek pemeriksaan. BPK juga sama dengan pengawas internal pemerintah. Jadi, tunduk pada peraturan pemerintah.
Jumlah personel yang hanya sepertiga jumlah pegawai BPKP menyebabkan kemampuan BPK semakin terbatas, tegasnya. Pendidikan rata-rata sumber daya BPK tidak sebaik karyawan BPKP. Bahkan, anggaran BPK lebih kecil daripada BPKP, lanjutnya.
Tapi, dia menegaskan, di luar laporan audit keuangan, secara bertahap BPK menyempurnakan Hapsem dengan menambah audit kinerja, forensic audit, maupun audit kejahatan (fraud audit) sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 15/2004. (sor/nur)
Sumber: Koran Tempo, 16 Maret 2005