Ada Mafia Kasus di Tubuh KPK?
Laporan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tentang mafia kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi menggelitik kesadaran publik tentang kualitas penegakan hukum di negeri ini. Setelah Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia terjerat makelar, benarkah KPK juga tak lepas dari jeratan itu?
KPK bereaksi serius dengan laporan Mahfud yang juga disampaikan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum itu. Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, setelah melakukan penyelidikan internal memang ditemukan adanya penipuan pada calon tersangka KPK. ”Kami belum berhenti memeriksa, tetapi sampai saat ini belum pernah ditemukan hubungan antara mereka dan internal KPK,” ujarnya.
Rapor KPK dalam menjaga integritas stafnya memang hampir sempurna jika dibandingkan dengan Polri dan Kejaksaan. Sejauh ini, hanya ada satu kasus penyidik KPK yang dipidanakan karena terbukti memeras, yaitu Ajun Komisaris Suparman pada 2006. Suparman akhirnya dihukum delapan tahun penjara.
Tahun yang sama, penyidik KPK lainnya, Ajun Komisaris Besar Oha Napitupulu, juga dilaporkan mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah telah memeras. Napitulu dikembalikan oleh KPK ke Polri. Dia juga dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, tetapi kasusnya tak jelas kabarnya.
Selain dua kasus itu, KPK relatif senyap dari citra negatif terkait dengan proses perkara yang mereka tangani. KPK seolah-olah tidak tersentuh oleh mafia perkara, hingga baru-baru ini Ketua MK menyatakan tentang adanya mafia kasus di tubuh KPK.
Dalam beberapa kesempatan, Mahfud menyatakan, MK sudah menyerahkan sembilan nama orang yang diduga terlibat dalam penanganan kasus dugaan korupsi PT PLN Jawa Timur ke KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Dari sembilan nama itu, hingga saat ini baru empat orang yang diproses oleh KPK, yaitu General Manager PLN Jatim, komisaris utama perusahaan yang memenangi tender, dan kontraktor. Padahal, lima nama lainnya, termasuk di dalamnya yang diduga pegawai KPK, belum ditindak.
Mahfud mengatakan, MK banyak mendapat pengaduan masyarakat mengenai dugaan adanya mafia perkara di KPK setelah pemutaran rekaman pembicaraan telepon Anggodo Widjojo, adik tersangka korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo, dengan sejumlah pejabat Polri dan Kejaksaan. Ada yang melaporkan pimpinan KPK yang meminta sejumlah uang, tetapi ada pula yang melaporkan pegawai KPK di level deputi ke bawah (Kompas, 17/1).
Perantara kasus
Beberapa pengacara yang mendampingi tersangka di KPK mengaku pernah mendapatkan tawaran bantuan dari orang yang mengatasnamakan diri dari KPK. Mereka mengaku bisa menahan laju kasus yang masih berada dalam tahap penyelidikan masuk ke tingkat penyidikan.
Petrus Bala Pattyona, penasihat hukum mantan Wakil Wali Kota Medan Ramli, dan Sugeng Teguh Santoso, penasihat hukum Suwarna Abdul Fatah dan mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Theo F Toemion, setidaknya pernah mengalami hal ini. Klien mereka pernah ditawari bantuan oleh orang yang mengaku dari KPK.
Petrus menjelaskan, kliennya memutuskan tidak meladeni tawaran itu. ”Orang itu membawa identitas KPK, entah sebagai wartawan yang biasa meliput di KPK atau apa sajalah. Yang jelas dia tahu sekali perkembangan kasus yang dialami klien saya,” paparnya.
Hal yang hampir mirip diceritakan Sugeng. Kliennya, Theo Toemion, pernah mendapatkan telepon dari orang yang mengaku sebagai Iswan Elmi, Direktur Penyelidikan KPK pada masa itu. Orang itu meminta uang senilai Rp 500 juta agar dikirimkan ke nomor rekening tertentu.
”Kami tidak percaya begitu saja dengan telepon itu. Kami melaporkan hal ini kepada tim penyelidik yang memeriksa klien kami. Tetapi, kami tidak tahu bagaimana kelanjutan laporan kami,” ujar Sugeng.
Sugeng pernah bertemu dengan oknum yang mengaku dari KPK, yang mengaku bernama Iwan Suwondo, sewaktu menjenguk Theo di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Kasusnya serupa, Iwan pun mengaku dapat membantu Theo. Dia juga menunjukkan kartu nama KPK. Hal ini dilaporkan ke KPK sampai akhirnya Iwan ditangkap dan diadili. ”Iwan ternyata bukan anggota staf KPK,” kata Sugeng.
Namun, untuk perkara lain, yaitu mantan Gubernur Kaltim, kliennya justru pernah mendapat permintaan dari Kepala Satuan Tugas (Satgas) Penyidikan untuk kasus Suwarna, Oha Napitupulu. Saat diperiksa Napitupulu, Suwarna diberi memo berupa kertas kecil berwarna kuning yang menyebutkan permintaan dibantu memperoleh rumah dinas Dinas Pendidikan (Disdik) untuk orang lain. Suwarna sempat mengemukakan hal ini dalam pledoi (nota pembelaan) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan melaporkannya ke Propam Mabes Polri.
Namun, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, memo yang dibuat Napitupulu waktu itu bukan dibuatnya sendiri. Ia hanya dititipi surat oleh mantan atasannya di Polri yang juga pernah menjadi atasannya di KPK. ”Namun, mantan atasannya itu tak di KPK lagi ketika kasus Suwarna ditangani,” katanya.
Bagaimanapun, kasus Suparman dan Oha Napitupulu menunjukkan, KPK bukan tak tersentuh. Setidaknya, kini makin banyak orang yang mengaku memiliki akses bisa menjadi perantara kasus di KPK.
Titik rentan
Titik yang paling rawan di KPK, kata Sugeng dan Petrus, adalah proses dari permintaan klarifikasi dan penyelidikan hingga penyidikan. Rata-rata penelepon gelap itu menawarkan bantuan dengan meminta imbalan mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. ”Kalau sudah penyidikan, perkara di KPK tak bisa ditahan lagi. Itu bedanya dengan di Kejaksaan yang masih memungkinkan kasus berhenti meski sampai tahap penyidikan, bahkan hingga penuntutan,” kata Sugeng.
Hal serupa diungkapkan sumber Kompas yang pernah bekerja di KPK. Alasannya, ”Tidak ada mekanisme dari pimpinan untuk memantau proses di tahap penyelidikan. Pimpinan hanya tahu saat gelar perkara yang biasanya sudah matang kasusnya.” Akhirnya, yang mengetahui secara detail adalah level deputi, direktur, dan 15 satuan tugas yang ada di KPK.
Hal ini ditambah dengan banyaknya laporan pengaduan yang masuk ke KPK. Hingga beberapa waktu lalu, laporan pengaduan ke KPK sekitar 37.000, yang masuk ke penyelidikan sekitar 100 kasus.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Febridiansyah, mengatakan, sesuai Keputusan Pimpinan KPK Nomor Kep-07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, Pasal 22 Huruf d, Pasal 24, dan Pasal 25 Huruf e, kewenangan Deputi Penindakan sangat vital dalam proses penentuan nasib kasus di KPK.
Misalnya, Deputi Penindakan berwenang dalam pemberian saran, pendapat, dan atau pertimbangan hukum kepada pimpinan KPK mengenai perkara korupsi, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan korupsi yang sedang dilakukan kepolisian, kejaksaan, dan masalah hukum lainnya.
”Bagaimana kalau deputi penindakan tidak menyampaikan saran ke pimpinan KPK?” tanya Febri.
Namun, Johan Budi menepisnya. Menurut dia, pimpinan KPK lekat mengikuti proses perkara di KPK sejak awal. ”Untuk menetapkan perkara dari pengaduan ke penyelidikan ada gelar perkara yang dihadiri pimpinan. Kemudian dari penyelidikan ke penyidikan juga ada gelar perkara yang juga dihadiri pimpinan,” katanya.
Johan boleh menepisnya. Namun, KPK tetap harus menata diri karena mafia hukum tak pernah lelah mencari celah lemah di lembaga yang menjadi benteng terakhir rakyat untuk melawan korupsi itu. [Ahmad Arif dan Susana Rita kumalasanti]
Sumber: Kompas, 19 Januari 2010