Ada Logika yang Tak Jalan

Komisi Pemberantasan Korupsi menuntaskan berkas 10 tersangka kasus dugaan pemberian suap cek perjalanan pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Tetapi, hingga kini pihak penyuap belum satu pun yang tersentuh hukum.

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, ada logika hukum dalam kasus pemberian cek perjalanan itu yang tidak berjalan. ”Orang yang menerima suap sudah diproses, lalu yang memberi suap tak ada. Ini kan tak mungkin. Logika hukum yang benar adalah pemberi suap juga diungkap,” paparnya, Kamis (17/3) di Jakarta.

Sepuluh tersangka yang berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap adalah kader dari Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mereka adalah bagian dari 26 tersangka baru yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam waktu dua minggu mendatang diharapkan 10 tersangka itu sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Saldi menambahkan, KPK harus segera menghadirkan Nunun Nurbaeti, yang diduga memberikan dana untuk anggota DPR periode 1999-2004 itu. ”Selama KPK tak segera mengungkap penyuapnya, publik akan menuding KPK,” ujarnya.

Advokat Bambang Widjojanto mengatakan, kasus suap cek perjalanan ini sebenarnya sederhana. Kesaksian di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah alat bukti yang kuat untuk mengungkap siapa penyuap dalam perkara itu.

Dalam sidang perkara di Pengadilan Tipikor dengan terdakwa anggota DPR Dudhie Makmun Murod (PDI-P), Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri), Hamka Yamdhu (Golkar), dan Endin AJ Soefihara (PPP), cek perjalanan itu diserahkan kepada anggota DPR oleh Arie Malangjudo. Arie disebutkan sebagai staf di perusahaan milik Nunun.

Masalahnya, apakah KPK meyakini kesaksian di persidangan itu bisa menjadi alat bukti. ”Kalau yang menyuruh statusnya tetap sebagai saksi, sulit. Lebih mudah kalau statusnya jadi tersangka karena KPK bisa meminta bantuan ke Interpol dengan menerbitkan red notice (surat perintah penangkapan internasional) untuk mencari,” kata Bambang.

Bambang meyakini, KPK tahu keberadaan Nunun. ”Kalau mau, kasus ini sederhana,” katanya.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki menambahkan, seharusnya KPK memaksa pulang Nunun dengan cara diancam dicabut paspornya, jika ia di luar negeri, seperti yang dilakukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum memaksa mantan pegawai pajak Gayus HP Tambunan.

Menurut Teten, KPK bisa mengembangkan pelacakan kepada asal-usul suap, tanpa terpaku pada kesaksian Nunun. Namun, selama ini KPK belum berani.

Dalam diskusi tentang dugaan mafia hukum di KPK, terkait kasus cek perjalanan, yang diadakan Visi Indonesia, pembicara Tama S Langkun dari Indonesia Corruption Watch, advokat Jhonson Panjaitan, dan aktivis Harry Purwanto mengakui, KPK terkesan tidak berani menindak mereka yang disebut-sebut memberikan suap kepada anggota DPR. Padahal, fakta di persidangan sudah mengungkap siapa pemberi cek itu.

Tama menilai, kelambanan KPK itu bukan karena disusupi mafia hukum. Namun, lebih karena performa KPK yang kini kurang baik. (ray/tra)
Sumber: Kompas, 18 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan