Ada Istana di dalam Penjara?
Temuan adanya ”istana” di dalam penjara sungguh-sungguh merupakan realitas yang teramat sangat menyakitkan perasaan keadilan rakyat kecil. Segelintir narapidana berduit miliaran atau mungkin triliunan rupiah mendapat fasilitas yang superkontras berupa fasilitas ”istana” dalam penjara ketimbang narapidana umumnya yang kurang duit atau tidak berduit sama sekali, yang harus berdesak-desakan hingga puluhan orang di dalam satu sel, jam besuk yang diperketat, dan sebagainya.
Tentu saja diskriminasi yang sangat tidak proporsional ini bukan hanya untuk di-talkshow-kan, tetapi harus ada penindakan tegas terhadap semua aparat yang terkait dalam penyimpangan superdahsyat dan fantastis itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus tanggap menyelidiki kemungkinan (sangat besar) terjadinya praktik suap dalam berbagai kasus ”istana dalam penjara” itu.
Saya bisa membayangkan betapa geramnya almarhum Baharuddin Lopa yang pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM andai menyaksikan fenomena ”istana dalam penjara” ini. Lantas pertanyaannya: siapa yang bersalah sehingga muncul fenomena diskriminasi superdahsyat itu?
Mohon maaf, saya tidak ingin hanya terpaku pada kesalahan sosok-sosok di lembaga pemasyarakatan ataupun mungkin hingga ke tingkat tertentu atasannya, melainkan, menurut saya, kita pun harus memandang masalah ini secara holos (wholeness) menurut istilah almarhum Prof Satjipto Rahardjo.
Yang saya maksudkan secara holos adalah bahwa terjadi berbagai praktik suap yang melahirkan lembaga-lembaga pemasyarakatan tertentu menjadi pusat bandar narkoba, menjadi ”istana dalam penjara”, pemberian remisi yang juga diskriminatif, dan penyimpangan lain harus kita soroti tidak sekadar dengan ”kacamata kuda”, melainkan mengkaji bagaimana keseluruhan sistem pemidanaan kita dalam sistem peradilan kriminal di Indonesia sekarang. Apakah realistis atau malah kontras dengan realitas bangsa kita yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan, dengan kemampuan keuangan pemerintah kita yang sangat terbatas?
Niat baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Keuangan menyisihkan dana sekitar Rp 1 triliun untuk lebih memanusiakan para tahanan dan narapidana patut kita hargai dan acungi jempol. Namun, niat baik saja tidak cukup apabila sistem pemidanaan kita sendiri tidak direformasi secara drastis.
Kultur pemenjaraan
Hukum yang baik, kata Brian Z Tamanaha, adalah hukum yang merupakan cerminan dari masyarakatnya (law is a mirror of society). Dan, hukum yang mampu menjadi cerminan masyarakatnya hanyalah hukum yang sesuai realitas masyarakatnya; bukan hukum yang lahir dari kekuatan asing. Dengan kata lain, dalam menghadapi kasus hukum, harus diperhatikan: the felt necessities of the time, jadi fakta empiris yang menjadi kebutuhan pada masanya.
Jumlah dan fasilitas lembaga-lembaga pemasyarakatan di Indonesia sangat tidak berimbang dengan jumlah narapidana dan tahanan yang setiap saat bertambah. Pasalnya, sistem pemidanaan di Indonesia, yang didasarkan pada berbagai perundang-undangan yang ada, baik yang peninggalan kolonial Belanda (dan paradigma kolonialnya) maupun perundangan yang dilahirkan DPR di era kemerdekaan, bahkan di era reformasi, masih menganut keras paradigma dan kultur pemenjaraan.
Anak kecil usia tujuh tahun yang mencuri telepon seluler karena harus makan pun dipidana penjara sekian lama dan sebagian besar kultur bangsa kita sekarang memang masih ”kultur pengalgojoan”. Kalau ada terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan, diumpatilah pengadilan yang membebaskan. Alasannya sangat normatif dan, maaf, primitif: ”tidak ada perdamaian dalam perkara pidana”. Padahal, di negara hukum lain yang bahkan sudah jauh lebih maju hukumnya dibandingkan dengan Indonesia, contohnya Jepang, banyak perkara pidana ringan (bukan pembunuhan, misalnya) yang didamaikan secara formal, antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan.
Pengguna narkoba jangan dipenjarakan, tetapi dimasukkan ke pusat-pusat rehabilitasi. Sebaliknya, pengedar besar dan bandarnyalah yang wajib dipidana seberat-beratnya. Penerapan pidana percobaan bagi koruptor yang mengembalikan kerugian negara juga dapat menjadi alternatif untuk mengurangi beban jumlah narapidana.
Jadi, ”sistem pemidanaan” kita pun ”turut bersalah” sehingga lahir diskriminasi di dalam lembaga pemasyarakatan. Seyogianya undang-undang kita revisi. Dimungkinkan mediasi untuk perkara-perkara pidana ringan, didamaikan dan dituntaskan di kepolisian saja, tidak perlu diteruskan ke pengadilan yang akhirnya muara semuanya adalah lagi-lagi lembaga pemasyarakatan. Seyogianya undang-undang kita revisi sehingga diterapkan ”sistem jaminan” sehingga seorang terpidana tidak wajib masuk berdesak-desakan ke sel lembaga pemasyarakatan.
Tentu saja fasilitas semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia ditingkatkan sehingga satu sel yang memang hanya cukup untuk dua orang memang ditempati dua orang; tidak ada lagi diskriminasi yang superfantastis seperti ”istana dalam penjara” itu. Kalau memang dana memungkinkan, semua sel tahanan difasilitasi televisi kecil, tidak perlu ada larangan membawa laptop milik pribadi bagi narapidana yang memilikinya, apalagi jika dia dapat menghasilkan karya brilian selama menjalani masa pemidanaannya.
Akhirnya, prinsip distributive justice nya Aristoteles harus diterapkan di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan, yaitu ”memperlakukan sama yang sama dan memperlakukan tidak sama yang tidak sama”.
ACHMAD ALI Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Januari 2010