Ada Apa dengan Komisi Negara?
Tertangkapnya Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial, yang ditengarai menerima suap dari pemilik tanah yang dibeli KY untuk gedung kantornya, mengukuhkan pepatah karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Gerakan pemberantasan korupsi yang menjadi bendera pemerintahan reformasi ini tercoreng. Korupsi masih mendera, termasuk pada lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan KY. Tak heran jika persepsi publik tentang merajalelanya korupsi belum banyak berubah. Survei Transparency International 2007 menyebutkan, Indonesia menduduki posisi buruk dengan score 2,3, lebih buruk daripada score 2006 yang 2,4. Ini menunjukkan, di ASEAN kita hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar.
Korupsi
Tulisan ini hendak mengkaji keberadaan komisi-komisi negara yang tampaknya dipenuhi aneka persoalan korupsi. Padahal, komisi-komisi negara yang disebut auxiliary state agencies adalah lembaga-lembaga yang didirikan karena adanya ketidakpercayaan bahwa lembaga-lembaga negara yang ada kurang memenuhi harapan.
Kejaksaan dan kepolisian dianggap gagal memberantas korupsi. Pengadilan dianggap terlalu ramah terhadap koruptor. Selama ini pemilu ditengarai ditunggangi pemerintah sebagai wasit yang tidak imparsial. Departemen Perdagangan dianggap tak mampu mengatur persaingan bisnis. Atas dasar inilah berbagai komisi, seperti KPK, KY, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lahir. Masih banyak komisi dilahirkan yang bertujuan menyempurnakan mekanisme check and balances dalam kehidupan ketatanegaraan kita.
Sayang banyak komisi negara tidak berfungsi. Ironisnya komisi-komisi itu ditengarai terlibat korupsi. KPU, misalnya, hampir tenggelam karena tuduhan korupsi yang menyeret sejumlah anggotanya ke penjara. Penyidik KPK pernah dilaporkan terlibat pemerasan terhadap orang yang diperiksanya. Kini KY tertimpa musibah. Tertangkapnya Irawady adalah tamparan paling keras terhadap integritas komisi-komisi negara. Rupanya Irawady tak belajar dari pengalaman Mulyana W Kusumah yang terjerembab ke penjara karena ikut mengurusi proyek kebutuhan KPU.
Seyogianya soal pengadaan tidak menjadi domain para komisioner yang belum tentu punya pengetahuan dan pengalaman. Atau jumlah sogokan amat menggairahkan karena gaji yang tak terlalu aduhai.
Dari kasus Irawady, kita mendapat pelajaran apa? Dengan tetap memegang asas praduga tidak bersalah, kita harus mengakui, salah satu pelajaran yang diperoleh adalah betapa sulitnya mencari orang baik, orang jujur, dan orang-orang berintegritas. Selain itu, kita juga merasa, kualitas banyak calon dan anggota yang terpilih bukan yang terbaik karena banyak orang baik tidak melamar menjadi anggota-anggota komisi-komisi negara, sebagian karena sudah punya pekerjaan dan sebagian lagi karena tak mau ikut seleksi.
Belum lagi jika melihat probability yang minim karena di DPR melalui fit and proper test biasanya ada dagang sapi politik memilih calon lemah yang didukung partai politik. Calon-calon yang baik, berintegritas, dan berani, biasanya tersisih karena dikhawatirkan akan jadi batu sandungan. Alhasil orang-orang terbaik kebanyakan tak mau mendaftar ikut seleksi karena sejak awal sudah merasa tidak nyaman dengan proses seleksi ini. Dengan kata lain, metode panitia seleksi (pansel) ternyata gagal menjaring calon-calon terbaik.
Pencari kerja dan pensiunan
Tulisan ini memang mengkritik proses seleksi anggota-anggota komisi melalui pansel yang memakan waktu lama dan mahal. Sebagai mantan anggota pansel, saya frustrasi melihat banyak orang yang baik tak berminat melamar meski komitmen dan patriotisme mereka tak diragukan. Saya juga frustrasi melihat beberapa calon anggota komisi dibabat di tingkat pansel lalu di-fit and proper test di DPR. Meritokrasi yang kita jadikan rujukan tak pernah bisa dilaksanakan.
Proses seleksi melalui pansel adalah proses yang terbuka dan demokratis. Dia adalah buah dari gerakan demokratisasi. Namun, dengan berbagai sinyalemen dan kasus yang muncul di berbagai komisi, saya mulai berubah pandangan karena kian yakin, komisi-komisi negara akhirnya hanya akan diisi oleh para pencari kerja dan pensiunan. Lihatlah mereka yang selama ini mendaftar?
Memang, setiap warga negara berhak melamar dan membaktikan keahliannya untuk negara. Hanya saja, berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir, sepertinya kita perlu meninjau ulang proses seleksi melalui pansel ini. Apalagi pansel tak pernah mampu menelusuri rekam jejak seseorang sehingga sering terkejut dengan keaslian perilaku tercela yang tidak terlacak dari curriculum vitae yang amat meyakinkan.
Ada kelemahan lain dari proses seleksi dan penggantian anggota-anggota komisi-komisi negara itu, yaitu pergantian yang sekaligus serentak. Lihatlah KPU dan KPK, yang semua anggotanya harus diganti karena masa jabatannya berakhir. Anehnya para anggota lama yang ingin melanjutkan masa jabatannya juga harus ikut seleksi. Bagaimana jika mereka tidak lulus, seperti terjadi di KPU sekarang ini? Bagaimana jika anggota-anggota komisi yang baru memiliki visi yang secara diametral berbeda?
Agaknya pergantian sekaligus ini membuat kesinambungan komisi menjadi terancam. Sebaiknya pergantian dilakukan sebagian-sebagian sehingga kesinambungan bisa dijaga. Di negara-negara lain, kebanyakan pergantian dilakukan secara sebagian-sebagian. Persoalannya, jika pergantiannya sebagian-sebagian, apakah efisien jika dilakukan melalui pansel karena proses ini akan terlalu mahal dan memakan waktu lama.
Kembalikan kepada Presiden
Agaknya ada baiknya kita mengkaji ulang proses seleksi melalui pansel karena sekarang saja hasil pansel untuk KPU dan KPK sudah menuai kritik dan ketidakpuasan. Mengapa tidak mengembalikan saja pemilihan anggota-anggota komisi melalui hak prerogatif Presiden?
Di sini Presiden juga tak bisa sewenang-wenang karena hasil pilihannya harus juga melalui fit and proper test di DPR. Kalau ada lowongan untuk dua anggota KPK, Presiden hanya mengajukan dua calon anggota KPK ke DPR untuk diuji tuntas. Jangan berikan empat atau enam sehingga DPR bisa mencederai pilihan Presiden dengan dagang sapi.
Saya kira dengan mengajukan calon sesuai kebutuhan sehingga DPR bisa menguji tuntas, kalau perlu seminggu, dengan menelusuri masa lalu dan sikap calon itu melalui dengar pendapat dengan berbagai pihak, diharapkan akan didapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai masa lalu, sikap, dan program calon yang bersangkutan. Ini lebih baik ketimbang uji tuntas satu atau dua jam yang terkesan seperti proforma saja. Di sini kalau DPR menganggap calon itu tidak sesuai dengan harapan, Presiden harus datang dengan calon yang lain.
Saya tahu, gagasan ini tidak populer dan pasti banyak yang menolak. Namun, saya yakin Presiden tidak gegabah mencalonkan orang-orang yang tak mampu dan berintegritas. Jika Presiden gegabah, dia akan membayar ongkos politik yang mahal. Demikian juga DPR. Sejarah membuktikan, setidaknya pengalaman di negara lain, bahwa calon yang diajukan Presiden tak selalu menjadi orang Presiden. Mereka mandiri dan independen.
Sekali lagi, bukan maksud saya untuk kembali kepada masa silam dengan kekuasaan Presiden yang hampir tanpa batas. Saya kira zaman sekarang ini Presiden tak lagi mampu bersikap otoriter, dia mesti mendengarkan suara rakyatnya. Oleh karena itu, Presiden akan menggunakan hak prerogatifnya dengan bertanggung jawab. Mari kita pikirkan dengan kepala dingin.
Todung Mulya Lubis Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 Oktober 2007