Ada apa dengan ABT? [19/07/04]

Praktik tata pemerintahan yang baik mensyaratkan terselenggaranya pengelolaan dan keputusan manajemen publik yang harus dilakukan secara terbuka dengan ruang partisipasi sebesar-besarnya bagi masyarakat. Konsekuensi dari transparansi pemerintahan adalah terjaminnya akses masyarakat dalam berpartisipasi utamanya dalam proses pengambilan keputusan.

Praktik penyelenggaraan negara harus tercermin dalam fungsi dan peran lembaga kenegaraan yang mampu berinteraksi dengan berbagai komponen masyarakat. Partisipasi harus saling dipahami sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan mencakup perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Namun, partisipasi yang menjadi ciri khas budaya masyarakat Solo di era saat ini, tidak jauh dengan era sebelumnya, berbagai kasus kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) serta masih berlakunya tradisi lama merupakan bukti riil bahwa pemerintahan atau penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak mampu menunjukkan kinerja terbaiknya.

Salah satu yang mencolok dan menjadi polemik akhir-akhir ini adalah adanya dugaan penyimpangan Walikota Solo pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebesar Rp 6,9 miliar yang seharusnya penggunaannya untuk penanggulangan bencana alam, kenyataannya untuk merehab balaikota serta renovasi Stadion R Maladi. Hanya proyek pompanisasi Kaliwingko saja yang bisa dikategorikan penggunaannya untuk menanggulangi bencana, itu pun penuh unsur KKN.

Dari ketiga proyek itu yang menarik perhatian publik adalah prosedur pekerjaannya ditengarai penuh dengan markup serta dobel anggaran, sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa ABT yang merupakan dana dari APBN ini penuh dengan aroma korupsi dan kolusi.
Sementara pihak legislatif ketika membentuk Pansus LPj Walikota telah menemukan indikasi ketidakberesan dari proyek yang dibiayai dari ABT dengan meminta Walikota menerapkan reward dan punishment kepada penanggungjawab proyek, meski akhirnya menerima LPj Walikota.

Namun, anehnya, ketika Komisi D yang juga melakukan kajian dan penelitian tentang kasus ini justru menyampaikan tidak ada indikasi penyimpangan dalam penggunaan dana ABT. Dari pernyataan yang berbeda antara hasil Pansus LPj dan pemantuan Komisi D DPRD Solo ini makin menimbulkan pertanyaan masyarakat, ada apa di balik proyek yang didanai dari ABT ini? Apalagi setelah DPRD menolak hak pengajuan penyelidikan yang diajukan 21 anggota Dewan terhadap kasus ini dengan alasan yang tidak masuk akal dan terkesan dipaksakan.

Tak sesuai Keppres
Sementara polemik seputar penggunaan dana ABT pada angggaran tahun 2003 ini kalau kita kaji dari segi penyimpangannya bisa kita lihat:
Pertama, pada proses prakualifikasi dan pelelangan proyek yang tidak sesuai Keppres No 18/2000 lampiran I, bagian ketiga Tata Cara Prakualifikasi, halaman L 1-9, tentang pengumuman prakualifikasi yang harus sesuai dan memenuhi ketentuan dengan adanya jadwal pelaksanaan prakualifikasi, paket pekerjaan yang akan dilaksanakan, sumber dana, dan perkiraan nilai pekerjaan atau nilai proyek, serta alokasi pekerjaan. Namun saat prakualifikasi dilaksanakan, bahwa dana itu belum ada. Dengan begitu sesuai petunjuk teknis dalam Keppres 18/2000 jelas menyalahi aturan.

Kedua, dalam pelaksanaan proyek dana ABT ini Pemkot Solo telah menjadikan satu paket pekerjaan, padahal kalau kita melihat besaran, sifat dan lokasinya, proyek ini bisa dipecah menjadi tiga paket pekerjan atau bahkan lebih yang dalam penyusunan dan penentuan pengadaannya melibatkan pihak lain, seperti bunyi Keppres 18/2000.

Ketiga, kalau kita cermati dalam pekerjaan proyek ini bahwa satuan pekerjaan tidak jelas ukurannya dan hanya disampaikan dan berbunyi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan