Aceh Dihantui Darurat Korupsi

Ratusan orang antre di depan pintu ruang kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh setiap hari. Hampir semuanya membawa proposal bantuan. Sebagian yang datang adalah kalangan tua dengan berkopiah dan berkain sarung, sebagian lagi anak-anak muda yang mengaku mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka.

Tak kalah ramai suasana di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Bahkan di sana lebih ramai lagi karena, selain yang datang membawa proposal, ada juga perempuan datang bersama bayi meminta uang tunai dari anggota dewan.

Inilah satu keistimewaan Aceh, selain Papua. Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kewenangan untuk menyalurkan dana bantuan sosial di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yakni melalui dana kerja gubernur/wakil gubernur yang diajukan sejak tahun 2009, yang besarnya Rp 68 miliar per tahun.

”Ini situasi normal pascakonflik. Kewenangan ini diberikan langsung oleh Presiden,” kata Wakil Gubernur Aceh M Nazar.

Tidak mau kalah, DPR Aceh juga memiliki kewenangan yang sama untuk menyalurkan dana Rp 5 miliar per tahun per anggota dewan atau total Rp 413 miliar untuk semua anggota dewan.

”Saya menerima 100.000 proposal tahun ini. Dana kerja saya habis. Dana taktis juga habis,” tambah Nazar. Dari proposal sebanyak itu, yang direalisasi hanya ribuan saja. ”Kami pilih yang betul-betul baik proposalnya. Kami periksa dan verifikasi,” tambahnya.

Namun, sepertinya, Pemerintah Aceh kerepotan untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana itu. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada 22 Desember 2009 mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri RI bernomor 903/47669, yang salah satu poinnya meminta diberi dispensasi dan keluwesan menggunakan dana kerja itu.

Dia ingin agar penggunaan dana tersebut tidak diaudit aparat pengawas fungsional seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Dalam Negeri, Inspektorat Pemerintah Aceh, serta institusi pengawas lainnya. Alasannya, Aceh masih berada pada masa transisi setelah konflik dan bencana.

Pejabat Sementara Koordinator Gerakan Anti-Korupsi (Gerak) Askhalani mengatakan, dana kerja gubernur/wakil gubernur dan dana aspirasi dewan telah menjadi ladang subur kolusi dan korupsi. ”Ini ajang perselingkuhan anggaran. Gubernur dan wakil gubernur dapat, dewan juga dapat. Pertanggungjawabannya juga tidak jelas,” katanya.

Berdasarkan hasil monitoring Gerak tahun 2009 dan 2010, dana-dana tersebut banyak yang tak bisa dipertanggungjawabkan. ”Ini proyek bagi-bagi uang. Dan ada indikasi potongan hingga 50 persen terhadap proposal yang disetujui,” kata Askhalani. Di sisi lain, menurut dia, fungsi DPRA juga telah bergeser, dari pengawasan anggaran, justru ikut mengusulkan proyek dengan dalih aspirasi.

Nazar menolak tudingan kebocoran anggaran itu. Menurut dia, Pemerintah Aceh berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi, dan proyek dari dana kerja bisa dipertanggungjawabkan dan cukup sukses. Pemerintah Aceh juga telah membentuk Tim Anti-Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA), untuk memastikan tiadanya korupsi.

Namun, penggiat antikorupsi dari Universitas Syiah Kuala, yang minta namanya dirahasiakan dengan alasan keamanan, mengatakan, TAKPA hanya alat politik kekuasaan. ”Silakan cek siapa yang dapat proposal dana kerja gubernur/wakil gubernur? Pasti orang dekat gubernur dan wakil gubernur. Dana itu dipakai untuk menggalang simpati menjelang pemilihan gubernur pada 2011 mendatang,” kata lelaki yang tahu banyak soal TAKPA tersebut.

Polemik soal dana kerja gubernur/wakil gubernur dan dana aspirasi itu, hanyalah satu dari sederet kekacauan pengelolaan keuangan di Aceh. Kekacauan yang lain adalah pelaksanaan proyek-proyek tanggap darurat melalui penunjukan langsung, yang dilakukan setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) oleh gubernur/wakil gubernur.

Penerbitan SPMK untuk proyek darurat memang dimungkinkan, seperti tercantum dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun, dalam kasus Aceh, ”situasi” darurat ternyata bisa dibuat.

Indikasi itu menguat dengan tersendatnya pelaksanaan 122 proyek tanggap darurat tahun anggaran 2010, bahkan ada yang progresnya masih belum dikerjakan walaupun sudah keluar SPMK-nya. ”Proyek-proyek ini tidak mencerminkan kedaruratan terhadap kondisi masyarakat sekitarnya karena walaupun proyeknya terbengkalai, tak ada kejadian darurat ataupun reaksi masyarakat soal keterlambatan ini,” kata Zaidan M, anggota Dewan Pengurus Lembaga Penjamin Jasa Konstruksi Daerah Aceh.

Menurut Zaidan, proyek-proyek tersebut sebenarnya layak masuk kategori rehabilitasi/rekonstruksi dan mestinya diprogramkan dalam APBA murni dan tidak perlu diusulkan dalam APBA-Perubahan (APBA-P). Adapun pengadaannya dilakukan melalui mekanisme pelelangan umum/pelelangan terbatas, bukan melalui penunjukan langsung (PL) yang didahului dengan penerbitan SPMK.

Lambannya progres pengerjaan 122 proyek SPMK, menurut Zaidan, juga mengindikasikan pemerintah keliru memilih kontraktor. Padahal, untuk bisa dipilih mengerjakan proyek itu, mestinya kontraktornya memiliki kapasitas berupa uang, tenaga, dan peralatan. Hal itu karena kontraktor terpilih harus segera mengerjakan proyeknya walaupun anggaran belum turun, sebagaimana sifat proyek tanggap darurat.

”Jadi, ada apa dengan proses penunjukan langsung kontraktor ini? Kenapa sedemikian banyak yang mandek? SPMK berpeluang jadi malapetaka (korupsi) di Aceh,” kata Zaidan.

Anehnya DPRA menyetujui rancangan APBA-P dalam rapat paripurna 16 Desember 2010, dengan kesimpulan ada tambahan anggaran sebesar Rp 607,9 miliar, yakni untuk pembayaran dana proyek tanggap darurat dan multiyears.

Askhalani secara tegas menolak APBA-P ini karena dinilai melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Mendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 172, bahwa APBD-P semestinya dilakukan paling lambat tiga bulan sebelum pergantian tahun anggaran.

Seorang kontraktor asal Banda Aceh, yang minta identitasnya tidak disebutkan, mengatakan, proyek SPMK dengan sistem PL, peluang bagi kontraktor untuk mendapatkan keuntungan besar. Di samping itu, juga menjadi ajang korupsi pejabat berwenang yang memprosesnya, hingga para calo proyek. ”Biasanya calo proyek dan kontraktor bekerja sama sejak awal pengusulan proyek tanggap darurat ini. Kondisi darurat bisa dibuat karena aparat pemerintah biasanya juga tak berani survei di lapangan,” katanya.

Menurut dia, kebocoran anggaran dari proyek-proyek yang pernah dikerjakannya rata-rata sekitar 40 hingga 50 persen. Untuk proyek penunjukan langsung, bisa lebih besar lagi, yaitu mencapai 60 persen.

”Untuk proyek biasa (bukan PL), potongan mulai dari 12 persen untuk proses tender, 10 persen untuk pimpinan proyek, 5 persen untuk pengawas, 5 persen untuk orang Nangroe (mantan GAM), dan 3 persen untuk TNI/Polri, serta orang di luar GAM. Sisanya untuk keuntungan kita, baru 50 persen sisa anggaran yang benar-benar untuk membangun,” katanya.

Lelaki usia 40-an tahun yang telah menjadi kontraktor sejak sebelum tsunami itu mengatakan, dalam proses tender, selain membayar panitia lelang, terkadang mereka juga harus membayar rekanan lain yang kalah atau agar mau mengalah. ”Sebagian kontraktor memilih jalan pintas dengan memakai jasa calo proyek. Biasanya mereka adalah orang Nangroe, atau yang dekat dengan mereka,” ujarnya.

Menurut dia, situasi kebocoran proyek di Aceh saat ini lebih parah dibandingkan dengan masa tanggap darurat di bawah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. ”Pada masa BRR kebocoran hanya di lapangan, atau karena adanya pungutan pajak Nangroe itu saja, tetapi proses lelangnya cukup bersih,” katanya.

Dia menambahkan, proyek yang tengah dikerjakan seorang kontraktor bisa diambil alih pihak lain di tengah jalan. ”Saya pernah mengerjakan proyek multiyears. Dalam pengerjaan, alat-alat berat saya disandera dan ada yang dibakar. Akhirnya proyek terbengkalai. Mau tak mau, saya serahkan proyek ke mereka untuk diteruskan. Saya rugi besar,” katanya.

Kenapa tidak melapor ke polisi? ”Kalau melapor, bukan selesai masalah, malah tambah masalah baru. Sudah habis uang kita untuk bayar mereka, masalah enggak selesai juga. Polisi di sini sepertinya tak berani tangani kasus-kasus seperti ini,” tuturnya.

Wakil Gubernur Aceh M Nazar mengakui masih ada calo dan pungutan dalam proyek. Tetapi, banyaknya proyek yang terbengkalai di Aceh juga karena kualitas kontraktor yang buruk, yang mengajukan harga penawaran terlalu rendah dan akhirnya tak sanggup menyelesaikan proyek. ”Untuk perbaiki keadaan itu, perlu ketegasan dari penegak hukum dan kepala dinas tidak perlu ragu-ragu. Rekanan yang nakal harus masuk daftar hitam. Calo proyek, atau pemeras, tangkap! Jangan ragu,” kata Nazar.

Ia menegaskan, tidak ada pungutan lain di luar pajak yang resmi. ”Saya ingin kepala dinas dalam praktiknya tidak perlu ragu. Kan, proyek-proyek untuk masyarakat. Jangan diganggulah,” katanya.

Menurut dia, terbengkalainya banyak proyek itu merupakan masalah besar. ”Kontraktor juga tidak boleh memanfaatkan dampak konflik untuk dapat proyek. Banyak di antara mereka yang menawarkan fee untuk dapat proyek. Kalau kompak, bisa dikurangi penyimpangan seperti itu. LPJK, Kadin, AKA, dan sebagainya harus kompak memperbaiki situasi,” kata dia.

Pemerintah Aceh, menurut Nazar, telah menyiapkan forum bersama untuk membicarakan masalah ini. ”Akan kita undang asosiasi rekanan plus mantan GAM berbicara terbuka. Memang masih sangat susah dalam pelaksanaannya,” lanjutnya.

Seorang anggota dewan dari partai nasional, yang ketakutan namanya disebutkan, mengatakan, situasi di Aceh masih jauh dari rasa aman. Dia mengatakan, sudah saatnya penegakan hukum dilakukan. Jika dalam beberapa tahun terakhir, Aceh seperti mendapat dispensasi karena masih sakit sehabis konflik, sekarang barangkali saatnya penegakan hukum mulai dilakukan dengan serius, sebelum penyakit korupsi menjadi kronis.

”Aceh sudah sembuh karena sudah bisa membedakan uang sedikit atau banyak. Kalau hanya uang secukupnya untuk hidup yang diambil, mungkin tidak masalah, tetapi nyatanya mereka sudah bisa memilih mobil yang bagus dan rumah yang mewah. Mereka sudah sembuh,” kata politikus muda itu. [Ahmad Arif dan Mahdi Muhammad]
Sumber: Kompas, 30 Desember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan