Abdullah Puteh Dituntut Delapan Tahun

Abdullah Puteh, terdakwa kasus pengadaan helikopter Mi-2 PLC Rostov buatan Rusia, dituntut delapan tahun penjara karena dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nonaktif ini juga dituntut uang pengganti Rp 10,08 miliar dalam waktu sebulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap. Tuntutan lainnya, ia diminta membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara.

Dalam tuntutan yang dibacakan tim jaksa penuntut umum yang dipimpin Khaidir Ramli, Puteh dinyatakan melanggar Keputusan Presiden Nomor 18/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang. Terdakwa menunjuk langsung PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) untuk menyediakan helikopter Mi-2. Padahal, menurut jaksa, PPM bukanlah agen tunggal helikopter jenis ini karena masih ada delapan perusahaan lain yang juga mengajukan penawaran.

Sebelumnya, Puteh didakwa telah melakukan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 1 a, b UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan untuk dakwaan sekunder, ia dikenai pelanggaran Pasal 3 jo Pasal 18 ayat 1, 2, dan 3 UU yang sama.

Jaksa menilai, terdakwa juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Menurut jaksa Khaidir, Puteh memerintahkan bendahara daerah memindahkan dana daerah ke rekening pribadinya sebesar Rp 7,75 miliar. Seharusnya dana daerah tidak boleh keluar dari kas daerah, kata dia dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Kresna Menon.

Alasan Puteh yang mengatakan rekening atas nama jabatan gubernur dan diperuntukkan khusus dibantah jaksa. Rekening itu dibuat pada 1994, sebelum terdakwa menjabat gubernur, kata Khaidir. Di dalam rekening di Bank Bukopin Jakarta Pusat itu tercampur antara dana pribadi dan dana daerah.

Terdakwa juga memberi uang muka sebesar Rp 750 juta yang berasal dari kas daerah kepada Bram Manoppo, Presiden Direktur PPM, sebelum kontrak pembelian dilakukan. Padahal, kata jaksa, seharusnya pembayaran dilakukan pemimpin proyek, bukan oleh Puteh selaku gubernur.

Belakangan spesifikasi helikopter yang dibeli dari Rusia itu tidak sesuai dengan perjanjian jual-beli yang dilakukan antara Bram dan Puteh. Mesin helikopter setelah melalui pemeriksaan fisik, kata Khaidir, tidak baru melainkan sudah memiliki jam terbang. Heli ini juga tidak dilengkapi dengan pelindung antipeluru. Ketidakcocokan spesifikasi mesin itu diakui terdakwa.

Jaksa membantah alasan pengadaan pesawat tanpa tender yang diajukan Puteh bahwa kondisi Aceh sedang gawat darurat. Ini, kata dia, tak bisa digunakan sebab heli baru diserahkan ke pemerintah Provinsi NAD pada 2003.

Perbuatan Puteh itu, menurut Khaidir, telah memperkaya dirinya sendiri, Bram, serta merugikan negara sebesar Rp 13,68 miliar. Puteh kemudian mengembalikan sisa dana daerah yang ada di rekeningnya senilai Rp 3,6 miliar setelah perkara ini disidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kerugian negara dinilai jaksa berkurang menjadi Rp 10,08 miliar. Bila tak terungkap, ada kemungkinan dana itu tak akan dikembalikan, kata dia.

Menurut Khaidir, perbuatan Puteh ini semakin memberatkan karena dilakukan pada saat negara sedang gencar memberantas korupsi. Korupsi juga dilakukan saat NAD dilanda konflik. Ini merusak citra demokrasi, kata dia.

Pengadaan helikopter itu, menurut jaksa, tidak memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat. Sedangkan hal yang meringankan terdakwa, Puteh dianggap belum pernah dihukum dan sebagai kepala keluarga mempunyai tanggungan anak dan istri.

Puteh yang sedang menderita sakit asma mendengar tuntutan itu dengan saksama. Sehabis persidangan, ia menyatakan dirinya tidak bersalah. Dengan suara pelan, ia menilai jaksa menyembunyikan sebagian fakta persidangan. Ia berpendapat, jaksa tidak mengerti situasi Aceh. Fakta yang diambil yang menguntungkan jaksa saja, kata dia seusai sidang.

Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Puteh, melihat ada keraguan dari pihak jaksa untuk menjatuhkan hukuman terhadap kliennya. Keraguan itu karena ada fakta yang disembunyikan, kata dia. Rencananya pekan depan Puteh dan kuasa hukumnya akan memberikan pembelaan atas tuntutan itu. edy can

Sumber:Koran Tempo, 8 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan