Abdul Latief Diperiksa 8 Jam

Dibombardir sekitar 40 pertanyaan soal kredit dari Mandiri.

Abdul Latief, bos PT Lativi Media Karya, diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung sekitar delapan jam kemarin.

Latief tiba di kejaksaan dengan mobil Toyota Alphard lima menit menjelang pukul sembilan pagi. Mengenakan jas berwarna gelap, pemilik stasiun televisi Lativi itu didampingi pengacara dan dikawal sejumlah pria bersafari warna gelap.

Jaksa penyidik I Ketut Murtika menjelaskan, Latief diperiksa sebagai saksi kasus dugaan kredit macet Lativi di PT Bank Mandiri Tbk. Ada dugaan, kata dia, terjadi kerugian negara akibat perbedaan peruntukan dana hasil pinjaman dari bank milik negara itu. Ada beberapa hal yang tidak direncanakan dalam studi kelayakan, seperti garansi bank untuk pembayaran jasa fasilitas telekomunikasi, ujar Murtika kepada Tempo seusai pemeriksaan.

Di ruang pemeriksaan, Latief dibombardir sekitar 40 pertanyaan perihal pencairan dan penggunaan kredit dari Mandiri sebesar Rp 361 miliar. Tepat pukul 17.30 WIB, dia keluar dari ruang pemeriksaan. Terlihat letih, pria kelahiran Banda Aceh 66 tahun lalu itu berusaha memberikan komentar kepada wartawan yang sudah mengerumuninya. Saya siap bertanggung jawab jika kredit ini merugikan negara, katanya. Kredit yang kami ajukan sudah sesuai dengan peraturan dan memenuhi semua prosedur.

Menurut Ari Yusuf Amir, pengacara Latief, salah satu bentuk tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja di era Orde Baru itu berupa jaminan pribadi dalam bentuk semua aset yang dimilikinya. Sebagai komisaris, kliennya tidak ikut mengurusi aspek teknis perusahaan. Komisaris mengawasi jalannya perusahaan dari laporan yang diperoleh dari dewan direksi. Kredit yang diajukan Lativi ke Mandiri sudah dilaporkan dalam rapat oleh direksi.

Ari mengaku ada hambatan dalam pembayaran kredit, tapi itu belum bisa dikategorikan macet. Dalam beberapa kali pemeriksaan, kata dia, belum bisa ditunjukkan adanya kerugian negara akibat terhambatnya pembayaran kredit.

Dia menjelaskan, pembayaran kredit menjadi seret karena Lativi mengalami kesulitan finansial akibat persaingan usaha. Bukan karena penyelewengan atau salah peruntukan.

Mengenai pernyataan Murtika bahwa terjadi pengalihan peruntukan dana kredit, Ari tidak membantahnya. Tapi itu dilakukan demi efisiensi, seperti studio mini yang setelah dianalisis ternyata tidak diperlukan.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji mengatakan, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, ditemukan sejumlah indikasi kerugian negara. Saat ini, mantan Direktur Lativi Hasyim Sumiana sudah ditetapkan sebagai tersangka. DIAN YULIASTUTI
-----------------
Dari Mandiri ke Gedung Bundar

20 Oktober 2000
PT Lativi Media Karya mengajukan kredit ke PT Bank Mandiri Tbk.

25 April 2001
Lativi menerima kredit Rp 328,52 miliar dari Mandiri.

10 Juni 2004
Utang macet. Lativi meminta restrukturisasi. Direktur Utama Mandiri E.C.W. Neloe menyatakan, Lativi sudah menyerahkan aset senilai Rp 200 miliar sebagai bagian restrukturisasi utang.

Januari 2005
Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan audit atas Mandiri. BPK menilai pemberian kredit ke Lativi yang per 30 April 2004 mencapai Rp 361,8 miliar melanggar prinsip kehati-hatian. Saat mengajukannya, Lativi belum memiliki neraca pembuka, sehingga total jaminan untuk fasilitas kredit mencapai 123 persen, di bawah ketentuan Mandiri 150 persen. Industri televisi pun bukan merupakan target pemberian kredit Mandiri karena risikonya besar. BPK juga menilai pencairan kredit dilakukan sebelum syarat efektif penarikan kredit dipenuhi.

6 Juni 2005
Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama Lativi Hasyim Sumiana sebagai tersangka korupsi dalam kasus penyalahgunaan kredit dari Mandiri.

27 Januari 2006
Mantan Direktur Utama Lativi Usman Djafar (kini Gubernur Kalimantan Barat) diperiksa kejaksaan. Usman membantah kredit Lativi macet dan bermasalah.

3 Februari 2006
Pemilik Lativi, Abdul Latief, diperiksa kejaksaan.

Sumber: Koran Tempo, 3 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan