92 Persen LHA Gagal Ditindaklanjuti

Desak Perluas Kewenangan PPATK

Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dinilai oleh berbagai kalangan sangat lemah. Sejumlah aktivis mendesak DPR agar memberikan kewenangan yang lebih kuat kepada lembaga tersebut dalam RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).

Pengganti UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang saat ini dibahas di DPR itu terancam mandul. ''Kami menilai DPR alergi terhadap pasal-pasal yang memberikan kewenangan lebih jauh kepada PPATK,'' ucap anggota Transparency International Indonesia (TII) Rezki Wibowo dalam diskusi di Jakarta kemarin (20/7).

Seharusnya, kata dia, PPATK punya kewenangan untuk menyelidiki, memblokir rekening, meminta penyadapan, dan menyidik. Tetapi, kewenangan PPATK saat ini sangat lemah. Lembaga itu hanya menganalisis transaksi keuangan yang mecurigakan. Hasilnya (berbentuk laporan hasil analisis atau LHA) kemudian diserahkan kepada para penegak hukum, seperti kepolisan dan kejaksaan.

''Tetapi, seperti yang kita ketahui, laporan yang masuk ke kepolisian dan kejaksaan ternyata gagal ditindaklanjuti,'' tutur Rezki.

Dia menjelaskan, korupsi menjadi predicate crime (tindak pidana asal) paling dominan dalam praktik pencucian uang. Data menunjukkan, di antara 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang ditemukan PPATK, sekitar 1.030 berasal dari praktik korupsi.

Dengan kata lain, 42,18 persen atau hampir separo transaksi keuangan mencurigakan adalah korupsi yang kompleks. ''Parahnya, sekitar 92 persen LHA yang diserahkan PPATK kepada kepolisian gagal ditindaklanjuti. Hanya 8 persen yang benar-benar ditindaklanjuti,'' jelasnya.

Karena itu, Rezki meminta upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus mendorong reformasi sistem penegakan hukum. Jadi, polisi tidak perlu lagi menangani praktik pencucian uang yang terbukti sangat kompleks dan penuh kepentingan.

''Sebenarnya rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah sudah menambahkan kewenangan itu. Sekarang bolanya ada pada DPR apa bisa mewujudkan (penambahan kewenangan) atau tidak,'' ucap peneliti Indonesia Budget Center (IBG) Roy Salam.

Menurut dia, PPATK juga harus diubah menjadi lembaga yang lebih independen. Menurut dia, lembaga yang dipimpin Yunus Husein tersebut saat ini belum independen. Sebab, ketua PPATK ditnunjuk oleh presiden. Seharusnya, pemimpin lembaga tersebut dipilih melalui panitia seleksi (pansel) seperti KPK. Jadi, tidak ada kepentingan pemerintah untuk memengaruhi PPATK. ''Sekarang masih ada kemungkinan PPATK disetir pemerintah. Apalagi, ketuanya juga ditunjuk menjadi anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum,'' jelasnya. (kuh/pri/c4/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 21 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan