9 Hakim Tipikor Baru Berpotensi Melemahkan KPK

Hari selasa, 14 April 2009 Pukul 09.30-10.00 ICW melakukan audensi dengan pimpinan KPK (diterima oleh M. Jasin) untuk memberikan informasi mengenai pengangkatan 9 hakim tipikor baru (lihat release). M. Jasin menyatakan akan mempelajari informasi yang ICW sampaikan, dan pada prinsipnya setuju bahwa hakim tipikor harus berkualitas, berintegritas dan memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi.

Pernyataan Pers No: 10   /PR/ICW/IV/2009
9 HAKIM TIPIKOR BARU BERPOTENSI MELEMAHKAN KPK
- 6 dari 9 hakim pernah bebaskan terdakwa korupsi -

Ketua MA berdasarkan SK No 041/KMA/K/III/2009 tertanggal 18 Maret 2009, telah menunjuk 9 (sembilan) orang hakim yang akan menempati pos baru sebagai hakim karir Pengadilan Tipikor. Kesembilan hakim tersebut antara lain Tjokorda Rai Suamba, Reno Listowo, FX Jiwo Santoso, Herdi Agusten, Syarifudidn Umar, Jupriyadi, Subachran, Nani Indrawati dan Panusunan Harahap.

Mereka menggantikan Hakim Tipikor, yang terdiri dari: Gusrizal (dipromosikan menjadi: Ketua PN Bogor), Kresna Menon (Ketua PN Bandung), Sutiono (Wakil Ketua PN Sumedang), Teguh Haryanto (Wakil Ketua Tulungagung), Moefri (Wakil Ketua PN Sampit), Martini Mardja I
(Wakil Ketua PN Kayu Agung)

MA menyatakan sembilan hakim yang baru diangkat sudah mendapat sertifikat dari pelatihan hakim tipikor yang diselenggarakan. Mereka yang dipilih adalah hakim-hakim di Jakarta yang mendapat nilai tertinggi dalam pelatihan. Padahal, menurut catatan ICW, terdapat
sejumlah kejanggalan dan persoalan dalam pengangkatan 9 Hakim Tipikor tersebut, antara lain:

1.Proses seleksi hakim karir tipikor tidak sesuai dengan UU
Bahwa proses seleksi hakim pengadilan tipikor, telah diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Pasal 56  menyebutkan:

  1. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc.
  2. Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
  3. Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung.
  4. Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.

Dalam bagian penjelasan Pasal 56 ayat (4) menyebutkan : Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif.  Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut.

Pada proses seleksi hakim pengadilan tipikor tahun 2009 ini, Ketua MA dinilai telah mengabaikan kewajiban sebagaimana diatur dalam UU. Sampai saat ini, ICW tidak pernah menemukan pengumuman resmi dari Ketua MA baik seperti yang diwajibkan oleh Pasal 56 UU KPK diatas. Mekanisme penjaringan pengadilan tipikor dilakukan secara tertutup dan hanya menerima usulan secara terbatas 14 orang hakim  dari Ketua PN Jakarta Pusat untuk selanjutnya diseleksi menjadi 9 orang hakim.

Dengan tidak dilakukannnya proses pengumuman dan membuka ruang bagi publik untuk memberikan masukan, maka dapat diartikan bahwa proses seleks dan juga pengangkatan sembilan hakim agung yang dilakukan oleh Ketua MA adalah cacat hukum sehingga harus dibatalkan.

2.Enam dari sembilan hakim diragukan integritas dan komitmennya
Meskipun sudah mendapatkan pelatihan, namun secara integritas maupun komitmen dalam pemberantasan korupsi para hakim yang diangkat oleh MA patut dipertanyakan. Dari penelusuran yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak enam dari sembilan hakim yang telah ditunjuk oleh MA pernah membebaskan terdakwa kasus korupsi.

Hakim Panusunan Harahap dan Reno Listowo pernah membebaskan kasus korupsi di TVRI senilai Rp 5,2 miliar dengan terdakwa Sumita Tobing (mantan Direktur TVRI). Hakim FX Jiwo Santoso telah menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi Koperasi Tirtayani Utama Yogyakarta dengan terdakwa Amelia Yani dkk. Hakim Subachran saat menjadi hakim Pengadilan Negeri (PN) Blora telah memvonis bebas empat pimpinan DPRD Blora dari dugaan kasus korupsi dana purna bakti APBD 2003 senilai Rp 1,4 miliar.

Hakim Jupriyadi saat menjabat sebagai hakim PN Muara Bulian Jambi pernah membebaskan enam terdakwa dalam kasus korupsi Disnakertrans dan penjualan tanah Negara di Batanghari Jambi. Hakim Syafruddin Umar (baik sebagai Ketua maupun anggota majelis hakim) bahkan pernah membebaskan 36 terdakwa korupsi saat menjadi Hakim di PN Makassar. (daftar lengkap vonis bebas: terlampir)

3. Motif penggantian hakim patut dipertanyakan
Pergantian hakim tipikor secara mendadak jelas menimbulkan kecurigaan, mengingat  kinerja hakim (ad hoc dan karir) Pengadilan Tipikor saat ini dinilai cukup memuaskan dalam memeriksa dan mengadili terdakwa korupsi. Selain tidak diumumkan dan diseleksi oleh tim independen, 9 hakim  tipikor tersebut hanya mendapat pelatihan selama 2 minggu. Berbeda dengan hakim tipikor  karir sebelumnya. Kecurigaan ini juga muncul mengingat sejumlah kasus-kasus besar di KPK siap dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor seperti kasus korupsi pemadam kebakaran (Damkar)  atau yang melibatkan anggota DPR, dsb. Adakah motif lain dibalik pergantian hakim tipikor ini?

4.  Potensi Kuat Melemahkan Pengadilan Tipikor dan juga KPK
Jika keenam hakim ini tetap dilantik menjadi hakim tipikor oleh MA, maka bukan mustahil “kebiasaan menjatuhkan vonis ringan atau bebas terdakwa korupsi” akan juga dilakukan mereka saat  berdinas di Pengadilan Tipikor. Adanya hakim yang pernah menjatuhkan vonis bebas terdakwa korupsi hanya akan merusak citra dan kredibilitas pengadilan tipikor yang saat dikenal tidak pernah kompromi dalam memeriksa dan mengadili kasus korupsi. Sejak tahun 2005, tidak ada satupun kasus korupsi yang dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor.

Tidak saja Pengadilan Tipikor, kehadiran hakim tipikor yang diragukan integritasnya juga berpotensi melemahkan kinerja yang dilakukan oleh KPK. Institusi KPK merupakan pihak yang berkepentingan dalam penggantian hakim tipikor baru ini karena kasus-kasus yang ditangani oleh KPK nantinya akan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Hal ini dapat diartikan pula bahwa posisi KPK berpotensi juga mengalami ancaman.

Berdasarkan uraian diatas kami meminta:

  1. Pimpinan KPK mengingatkan komitmen Ketua MA dalam pemberantasan korupsi. KPK harus meminta penjelasan dari Ketua MA mengenai alasan pengangkatan hakim tipikor tersebut.
  2. Ketua MA membatalkan SK pengangkatan 9 hakim pengadilan tipikor dan menarik kembali hakim-hakim karir pengadilan tipikor yang “dibuang” ke daerah.

Jakarta, 14 April 2009

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan