8 Kontraktor Ikut Tender Heli TNI-AD

Sebanyak 8 perusahaan kemarin mengikuti tender pengadaan helikopter angkut MI-17 produksi Rosoboronexport, Rusia, senilai USD 35,2 juta di Mabes TNI-AD. Dari 8 perusahaan itu, ada beberapa rekanan yang justru mengajukan penawaran mencapai USD 1 juta lebih tinggi dari pada plafon, yakni USD 36,2 juta. Mabes TNI-AD membutuhkan setidaknya lima hingga enam armada MI-17 baru. Satu unit MI-17 harganya diperkirakan USD 4,75 juta.

Sumber kuat koran ini di Komisi 1 DPR mengungkapkan, saat ini Mabes TNI-AD sedang melakukan penilaian atas 8 proposal yang masuk tersebut. Prosesnya diperkirakan berlangsung antara dua pekan sampai satu bulan hingga diumumkan siapa pemenang tender tertutup itu.

Saat dikonfirmasi, Kadispen TNI-AD Brigjen TNI Hotma Ngaraja Pandjaitan mengaku tidak tahu menahu mengenai adanya tender senilai puluhan juta USD di kesatuannya itu. Benar, saya nggak tahu soal tender MI-17 itu. Kabar yang beredar salah. Tidak jelas. Mungkin besok (hari ini, Red) kami akan memberi klarifikasi, tegasnya.

Namun, sumber koran ini di lingkungan Mabes TNI AD malah mengungkapkan bahwa sekitar pukul 08.00 kemarin justru digelar rapat internal yang dipimpin KSAD Letjen TNI Djoko Santoso. Agenda rapat, antara lain, membahas pelaksanaan tender MI-17.

Anggota Komisi I DPR Djoko Susilo mempertanyakan proses pelaksanaan tender pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan) oleh Mabes TNI-AD. Menurut pasal 6 UU No 2/2002 tentang Pertahanan Negara, kata Djoko, pengadaan alutsista harus satu pintu oleh Departemen Pertahanan setelah usul dari kepala staf diteruskan Penglima TNI ke Menhan.

Kalau pun dilakukan oleh Mabes TNI-AD, harus ada pelimpahan atau otorisasi dari Menhan dulu. Kalau tidak ada, ya melanggar aturan namanya, terang Djoko. Djoko juga meminta Menhan Juwono Sudarsono supaya segera mengecek keabsahan tender helikopter MI-17 yang digelar Mabes TNI-AD itu.

Meski demikian, Djoko mengakui bahwa tender pengadaan alutsista memang tidak seterbuka pengadaan barang di lingkungan pemerintahan umumnya. Kategori alutsista yang spesifik membutuhkan rekanan yang sudah berpengalaman dan terdaftar di Mabes TNI dan Dephan. Tapi, ya harus tetap transparan dan bisa dipertanggungjawabkan dalam penganggarannya ke DPR, ujarnya.

Djoko juga mengingatkan agar Menhan mewaspadai terpilihnya kontraktor yang tercatat memiliki track record buruk dalam pengadaan alutsista, namun sangat mungkin dimenangkan karena kongkalingkong dengan oknum pejabat TNI AD. Jangan sampai Mabes TNI AD tiba-tiba memberi usul pengadaan helikopter sudah disertai dengan rekomendasi rekanannya.

Perlu diketahui, pelaksanaan tender kali ini dilakukan saat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedang melakukan penelusuran atas dugaan mark up dalam pengadaan empat unit helikopter jenis yang sama (MI-17) pada tahun 2002 lalu. Langkah KPK tersebut merupakan tindak lanjut dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK menilai ada indikasi kerugian negara sekitar USD 3,24 juta dalam transaksi yang proses yang dimulai sejak 2002 namun hingga kini belum terealisasi. Jumlah itu merupakan uang muka yang sudah dikeluarkan pemerintah dengan makelar PT Putra Pobiagan Mandiri (PT PBM) yang menggandeng Swift Air & Industrial Supply (SAIS) Pte Ltd, Singapura sebagai mitranya.

Dalam laporan hasil pemeriksaan semester II tahun 2004, BPK meminta Menhan Juwono Sudarsono dan Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto segera melakukan proses hukum terhadap pejabat dan personelnya terkait pengadaan dan pencairan uang muka pembelian helikopter tersebut. (arm)

Sumber: Jawa Pos, 29 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan