8 Alasan Koruptor Tidak Boleh diberikan Remisi

Jakarta, antikorupsi.org – Terdapat delapan alasan kenapa pemerintah tidak layak melonggarkan dan memberikan remisi kepada terpidana korupsi. Hal ini menjadi catatan Indonesia Corupption Watch (ICW) agar Menteri Hukum dan HAM (MenkumHAM) dapat berfikir kembali dalam merubah PP 99/2012.

Kedelapan alasan tersebut adalah, pertama, pemberian remisi menabrak program Nawa Cita program pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Hal tersebut tertulis pada angka 11 huruf a yang secara tegas menyebutkan “Kami  berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi penegakan hukum”.

Kedua, bertentangan dengan strategi nasional pemberantasan korupsi. Dalam peraturan Peraturan Presiden No 55/2012 tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan jangka menengah tahun 2012-2014, pada bagian strategi penegakan hukum telah diamanatkan agar melakukan pengetatan pemberian remisi kepada terpidana korupsi. Jelas jika pengetatan remisi diganti dengan pelonggaran remisi hal ini telah keluar dari semangat agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Ketiga, pemerintah seharusnya membaca kembali putusan Mahkamah Agung (MA) No 51 P/HUM/2013 yang telah memberikan legitimasi yang sangat kuat bagi pelaksanaan PP NO 99/2012. Hal ini jelas, tidak ada diskriminatif dan melanggar hak terpidana korupsi yang telah dinyatakan sebelumnya oleh pemerintah.

Keempat, karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Hal ini tertuang dalam kesepakatan antara pemerintah dan parlemen yaitu UU No 30/2022 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. berbunyi ‘Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa’.

Kelima, masyarakat Berkehendak agar koruptor tidak diberikan remisi Hal ini dapat dilihat dari sejumlah jajak pendapat atau polling yang dibuat lembaga survei. Salah satunya Harian Kompas edisi Senin 23 Maret 2015, dari 736 responden di 12 kota besar di Indonesia , sebanyak 70,1% menyatakan tidak setuju. Sedangkan yang menyetujui dengan syarat antara lain telah menjalani sebagian hukumannya, telah membayar lunas denda yang diputuskan pengadilan dan mau bekerja sama dalam membongkar pelaku lain yaitu 26,9%

Keenam, karena pemberian remisi akan mengurangi efek jera terhadap pelaku. Dari penelitian ICW tahun 2014, dilakukan pemantauan terhadap 395 perkara korupsi dengan 479 yang telah diputus oleh pengadilan. Dari 479 terdakwa, sebanyak 372 terdakkwa (77,6%) divonis di bawah empat tahun. Sedangkan rerata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 8 bulan. Maka dnegana adanya remisi dan pembebasan bersyarat sudah dipastikan tidak akan memberikan efek jera. Karenanya koruptor kan lebih cepat keluar dari waktu yang di putuskan oleh hakim.

Ketujuh, pelonggaran pemberian remisi berpotensi menghapus sejumlah syarat pemberian remisi sebagaimana diatur dalam PP 99 Tahun 2012 seperti a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. Maka mendatang syarat remisi hanya cukup berkelakuan baik, yang masih harus ditentukan indikator dan maknanya. Jika tidak hal ini akan berpotensi terjadi penyimpangan.

Delapan, pemberian remisi untuk koruptor berpotensi melemahkan upaya penindakan KPK maupun lembaga penegakan hukum lainnya. Karena terjadi kontradiktif antara penindakan yang dilakukan KPK, kepolisian, dan kejaksaan dengan kebijakan yang hendak dilakukan MenkumHAM yang justru ‘berjuang’ nmm,,agar koruptor segera dibebaskan ataupun mengurangi hukumannya,

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan