75 Hari Bidang Hukum, Sedikit Maju[Tanggapan untuk Achmad Ali]

Untuk memberantas KKN dan menegakkan hukum, siapa pun yang memimpim Indonesia sekarang ini dihadapkan pada penilaian yang serba salah atau disalahkan. Jika melangkah hati-hati untuk memenuhi prosedur standar hukum, disalahkan karena lamban dan tak berdaya terhadap pelaku KKN. Tetapi jika melakukan langkah baru yang menyentak, dinilai hanyalah sekadar sensasi mencari popularitas.

Itulah yang dapat dipahami dari refleksi Achmad Ali 50 Hari, Bidang Hukum Meragukan, (koran ini 1 Januari 2005). Dikatakan, langkah penegakan hukum oleh pemerintahan SBY sangat mengkhawatirkan dirinya karena gelagatnya bisa menghalangi obsesi SBY untuk memenuhi janjinya ketika kampanye pilpres, yakni melakukan perubahan, menegakkan hukum, memberantas KKN, bahkan memimpin sendiri gerakan pemberantasan korupsi. Walhasil, prospek penegakan hukum meragukan.

Penyebabnya, menurut Achmad Ali, adalah faktor person-person penegak hukum yang konon masuk ke kabinet akibat tekanan dua orang terhadap SBY pada saat penyusunan kabinet. Jaksa agung dan menteri kehakiman dinilai Achmad Ali sebagai belum (tidak?) memahami masalah.

Bahkan, langkah-langkah menteri kehakiman dinilai sama sekali tidak signifikan, seremonial, dan hanya untuk mengisi media masa; sementara jaksa agung dinilai hanya mengikuti hura-hura jaksa agung sebelumnya, mengungkap ratusan kasus korupsi, tetapi tak satu pun kasus korupsi kakap yang diselesaikan di pengadilan.
***
Kalau kita menengok sejarah yang belum lama berlalu, sebenarnya bukan hanya pemerintahan SBY yang selalu dihadapkan pada penilaian serba salah. Kalau terlalu cermat dianggap lamban, kalau terlalu cepat dihantam karena dianggap melanggar prosedur hukum atau memolitisasi kasus. Ketika Gus Dur memerintahkan jaksa agung menjebloskan seorang mantan pejabat Orde Baru ke gedung bundar, muncul komentar minor dari tokoh besar di MPR bahwa penahanan itu bermotif politik dan bukan untuk menegakkan hukum.

Padahal, tokoh besar dari gedung MPR itulah yang ketika Pak Harto berkuasa meledak-ledak agar orang itu segera dipenjarakan karena telah melakukan korupsi dalam kasus Busang dan lain-lain. Mengapa ketika pemerintahan Gus Dur menangkapnya, lalu dibilang bermotif politik?

Ada lagi. Ketika Baharuddin Lopa diangkat menjadi jaksa agung oleh Gus Dur guna semakin memantapkan penegakan hukum, ternyata Lopa diejek sebagai orang yang mau diperalat Gus Dur, lebih-lebih ketika Lopa mengumumkan seorang petinggi di gedung parlemen akan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi. Lopa diadili di parlemen dengan ganas dan penuh pelecehan. Kita baru sadar dan malu pada Lopa karena setelah Lopa meninggal ternyata kasus itu benar-benar ada dan diajukan ke pengadilan meski kemudian vonis kasasi atas kasus itu dinilai banyak orang sebagai hasil mafia yang sangat melukai rasa keadilan.

Jadi, tidak jarang tindakan yang seharusnya dinilai benar untuk menegakkan hukum selalu disalahkan karena perbedaan posisi dan kepentingan politik. Menyebalkan juga jika sikap selalu menyalahkan itu dilakukan orang yang menjadi bagian atau pendukung penggalan pemerintahan yang ketika memerintah juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, melakukan hal yang sama dengan yang kini dikritiknya.

Seharusnya, tidak bolehlah upaya penegakan hukum dihalangi karena kepentingan politik. Sebaliknya, biarkan saja orang mengambil keuntungan politik dengan cara menegakkan hukum secara benar dan tegas. Apa yang salah dengan ini? Bukankah boleh saja orang mencari simpati dan memperkuat dukungan politik yang dimilikinya dengan cara melakukan tindakan hukum secara tegas?

Oleh sebab itu, pemerintah harus menerima evaluasi dari Achmad Ali sebagai hal yang wajar. Bahwa siapa pun pemerintahnya dan apa pun yang dilakukan pemerintah, akan senantiasa ada yang menemukan lubang kelemahannya dan mengkritiknya. Yang penting, sejauh diyakini benar, kerjakanlah dengan mantap meski kemantapan itu akan dinilai sebagai sensasi untuk mencari popularitas politik.
***
Meski sama tidak optimistisnya, saya sendiri tidak sepesimistis Achmad Ali dalam melihat perkembangan hukum sebelum 100 hari pemerintahan SBY-YK. Minimal, ada empat hal yang dilakukan pemerintah sekarang yang dulunya agak sulit kita temukan. Pertama, pemberian izin secara cepat oleh presiden terhadap aparat penegak hukum untuk memeriksa pejabat yang diduga korupsi seperti gubernur dan bupati.

Bahkan, dulu ada penonaktifan jam-jaman; kalau diperiksa 3 jam, ya dicutikan selama 3 jam dan setelah pemeriksaan langsung kembali aktif dalam jabatannya. Kedua, betul-betul diajukannya beberapa pejabat ke pengadilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketiga, diperolehnya fatwa Mahkamah Agung yang membolehkan KPK membuka rekening para tersangka korupsi di bank. Keempat, disiapkannya perpu untuk menahan para koruptor meski yang bersangkutan sedang naik banding atau kasasi, agar mereka tidak kabur ke luar negeri.

Dibandingkan dengan rumitnya belantara KKN yang begitu besar, keempat hal itu memang belum memberikan jaminan apa pun. Tetapi, itu semua dapat dipandang sebagai langkah nyata dan lebih maju. Dulu yang begini ini tak tertangani dengan baik. Ke depan, kita berharap agar pemerintah segera memberlakukan UU Pembuktian Terbalik.

Siapa pun yang bersikap objektif tidak mungkin berpikir bahwa ketika memilih SBY-JK, para pemilih meyakini bahwa pasangan itu akan mampu menyelesaikan persoalan hukum dan pemberantasan KKN. Jangankan dalam 100 hari, selama satu periode pemerintahan (5 tahun) pun sama sekali tidak ditemukan alasan untuk percaya bahwa pemerintahan SBY-JK atau pemerintahan siapa pun akan mampu menyelesaikan masalah hukum dan KKN itu. Yang bisa diharapkan dari mereka hanya sikap tegas dan upaya yang serius. Soal hasilnya adalah soal lain lagi.

Rakyat tidak akan marah kalau mereka gagal, asalkan menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh dan memulai membersihkan diri dan lingkungannya dari perilaku korup. Rakyat tahu persoalan yang dihadapi sangatlah berat dan ruwet. Yang membuat rakyat marah itu adalah perilaku tidak konsisten atau manipulatif.

Misalnya, menyatakan akan memberantas KKN dan menegakkan hukum, tetapi langkahnya tak pernah jelas, bahkan membiarkan tumbuhnya KKN baru. Rakyat pasti memaklumi keterbatasan pemerintah, tetapi rakyat akan memberikan permakluman itu selama tidak dibohongi dengan berbagai manipulasi.

Karena itu, kita perlu mendorong agar petinggi penegak hukum terus bekerja tanpa memedulikan gunjingan bahwa mereka hanya mencari popularitas. Sebab, mencari popularitas itu tidak diharamkan, asalkan pilihan tindakannya benar. Ya, kan?(Moh Mahfud M.D., guru besar politik hukum di beberapa perguruan tinggi dan wakil ketua umum DPP PKB)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 11 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan