35 Jaksa Pilihan Usut BLBI Salim
Gedung Bundar tak ingin pengusutan kasus dugaan korupsi BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) Grup Salim mempunyai celah hukum. Para jaksa terbaik dari daerah yang kini sudah dikumpulkan di Jakarta disiapkan secara khusus untuk menangani kasus yang diduga merugikan negara triliunan rupiah itu.
Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya menjelaskan, untuk mengusut kasus itu, Kejagung sudah menyiapkan dua tim. Tim pertama mengusut kasus pengembalian aset BLBI yang dikelola Holdiko (Grup Salim). Tim itu diketuai Sriyono, mantan kepala Kejari Blitar, Jawa Timur.
Pengusutan BLBI dengan nilai Rp 28 triliun dilakukan tim yang dipimpin Urip Tri Gunawan, mantan kepala Kejari Klungkung, Bali. Tri adalah mantan penuntut umum (JPU) kasus peledakan bom Bali dengan terdakwa Amrozi.
Kemas menambahkan, untuk dua kasus BLBI, kejaksaan menargetkan tuntas dalam tempo tiga bulan. Sebanyak 35 jaksa pilihan dari daerah akan ditugasi untuk menyelidiki aspek perbuatan melawan hukum dan kerugian negara. Ini tahapan sebelum meningkatkan kasus ke tahap penyidikan, sekaligus menentukan siapa yang bertanggung jawab, jelas mantan kepala Kejati Jambi itu.
Dia meminta para jaksa pengusut berhati-hati. Dia mengibaratkan para penuntut memasuki hutan belantara penuh hantu ketika menangani kasus dengan nilai triliunan rupiah tersebut.
Para jaksa jangan sampai larut dengan hantu. Mereka harus tetap menjaga integritas dan komitmennya, kata Sekretaris JAM Pidana Khusus (Pidsus) Kemas Yahya Rahman usai mengikuti upacara penutupan Pekan Olahraga (POR) HUT Adhyaksa di Lapangan Kejagung kemarin.
Jaksa Agung Hendarman Supandji, menurut dia, akan mengawasi langsung penanganan dua kasus BLBI itu. Jaksa agung sudah mengisyaratkan akan menjatuhkan sanksi berat jika terbukti ada jaksa menyalahgunakan kewenangannya.
Seperti diberitakan kemarin, ada dua kasus dugaan korupsi pengembalian dana BLBI yang diusut. Pertama, kasus yang menyangkut Holdiko, perusahaan pengelola aset yang dikembalikan Grup Salim. Awalnya, Grup Salim mendapat kucuran BLBI sebesar Rp 35 triliun pada 1998. Saat penandatanganan MSAA (master settlement acquisition agreement) yang merupakan perjanjian pengembalian BLBI, jumlah kewajiban pemegang saham (JPKS)-nya terdongkrak menjadi Rp 52,7 triliun. Dari audit Lehman Brothers terungkap bahwa aset yang diserahkan ke BPPN senilai Rp 52,6 triliun. Namun, saat diaudit Pricewaterhouse Cooper (PwC), asetnya turun menjadi Rp 23 triliun. Dan, puncaknya, dari audit BPK 2006, BPPN hanya meraup Rp 19 triliun atas penjualan aset yang diserahkan Grup Salim.
Sedangkan kasus kedua terkait BLBI yang dikucurkan kepada obligor lain senilai Rp 37 triliun. Hasil audit BPK, JKPS-nya Rp 28,4 triliun. Sesuai MSAA, obligor tersebut diharuskan menyetor Rp 1 triliun dan aset senilai Rp 27,4 triliun. Namun, kenyataannya, dari lelang di BPPN, aset yang diserahkan hanya terjual Rp 3,459 triliun.
Di tempat terpisah, salah seorang pengacara Grup Salim, Perry Cornelius, mengatakan bahwa kejaksaan perlu mengklarifikasi kerugian negara dari selisih dana penyelesaian BLBI kliennya. Sebab, hasil audit BPK berbeda dengan audit yang dilaksanakan BPPN. Yang harus ditanyakan, bagaimana cara menghitung dan kondisi ekonomi ketika aset Salim diserahkan ke BPPN. Inilah yang mengakibatkan selisih cukup besar, kata Perry.
Menurut Perry, banyak faktor yang mengakibatkan selisih atas aset yang diserahkan dengan yang dilelang. Misalnya, penetapan nilai saham aset Salim dalam klausul MSAA dipengaruhi kondisi moneter saat itu. Dalam MSAA ditetapkan dengan patokan dolar AS yang nilai kursnya Rp 11.075 per dolar AS. Dengan begitu, ini sangat bergantung kepada berapa besaran nilai tukar AS. Kalau ngitungnya berdasar kurs terakhir, sudah jelas nggak bakal cocoklah, tuturnya. Selain itu, perbedaan metodologi audit antara BPK dan PwC mengakibatkan perbedaan dalam perhitungan.
Anggota Komisi XI DPR Dradjad H. Wibowo mengatakan, terjadinya selisih dalam penyelesaian BLBI harus dibongkar. Untuk itu, DPR berencana memanggil seluruh auditor yang terlibat dalam penyelesaian BLBI. Dengan begitu, kami harap bisa ketemu. Apakah selisih angka terjadi karena perbedaan teknis saja atau benar-benar disebabkan moral hazard, tutur Dradjad. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 20 Juli 2007