270 skandal korupsi di DPRD; Kejagung: Umumnya dipicu penyalahgunaan APBD [14/06/04]

Tingkat korupsi anggota dewan, khususnya di daerah, cukup mengerikan. Betapa tidak, 270 perkara di antara 690 kasus korupsi yang dilaporkan ke kejaksaan selama periode Januari 2003 hingga April 2004 adalah skandal korupsi yang melibatkan anggota DPRD.

Sekitar 106 perkara di antara jumlah tersebut sudah dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan. “Kasus korupsi itu umumnya dipicu penyalahgunaan APBD,” jelas Kapuspenkum Kejagung Kemas Yahya Rahman di Jakarta Sabtu.

Menurut dia, angka tersebut relatif meningkat dibandingkan angka penanganan korupsi sebelum otonomi daerah digulirkan pada 1 Januari 2001. Bahkan, peningkatannya diprediksikan lebih dari 100 persen.

“Salah satu perkara korupsi di daerah yang cukup fenomenal adalah yang terjadi di DPRD Sumbar (Sumatera Barat) yang melibatkan 43 anggota dewan. Kami menyebutnya sebagai korupsi berjamaah,” jelas mantan wakil kepala Kejati Riau tersebut.

Penyalahgunaan anggaran di daerah, lanjut Kemas, terjadi di hampir setiap provinsi. Selain di Sumbar, kejaksaan menangani skandal korupsi di DPRD Pontianak, Singkawang, Tangerang, Banda Aceh, Bandar Lampung, Palembang, Ciamis, Singkawang, serta Mempawah.

Kemas berjanji, Kejagung bakal melanjutkan penanganan skandal korupsi tersebut ke pengadilan. Sayangnya, sejauh ini, penyidikannya banyak dihambat birokrasi izin pemeriksaan dari pejabat atasannya.

Seperti diketahui, pemeriksaan terhadap pejabat yang diduga berkorupsi dilakukan secara berjenjang. Misalnya, pemeriksaan anggota DPRD kota/kabupaten dan bupati/wali kota harus memperoleh izin dari gubernur. Sedangkan pemeriksaan pejabat setingkat gubernur harus memperoleh izin dari presiden.

Secara terpisah, mantan Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menyatakan, tingginya angka korupsi di daerah tersebut disebabkan pemahaman yang salah terhadap UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Atas dalih pelaksanaan otonomi daerah, baik kepala daerah maupun anggota dewan sering menghalalkan segala cara untuk melaksanakan kebijakan di daerah, termasuk memanipulasi anggaran.

“Ironisnya, permasalahan itu terlambat dikoreksi pemerintah (pusat),” tegasnya di Jakarta kemarin.

Indikasinya terlihat, Depdagri hingga kini belum membuat PP pengganti PP No 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Padahal, peraturan tersebut sudah dinyatakan MA tidak berlaku pada putusannya tertanggal 9 September 2002.

Praktis, karena kekosongan hukum tersebut, mekanisme keuangan alokasi dana di daerah menjadi tidak jelas. BPK atau badan internal audit pemerintah lainnya, menurut Ryaas, tak bisa menyentuh pengelolaan anggaran di daerah. ’’Pemerintah pusat dan badan audit hanya bisa memeriksa lewat APBD,’’ ungkap Ryaas yang juga ketua umum PPDK itu.

Menurut dia, sejauh ini, yang menyusun anggaran adalah Komisi Anggaran DPRD dan pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya, penyusunan anggaran itu biasanya dipenuhi intervensi dan lebih condong untuk kepentingan kroninya.

Meski Kejagung mengeluhkan adanya hambatan pengusutan kasus korupsi berupa izin atasan, Mendagri Hari Sabarno menegaskan bahwa pihaknya tak akan menghambat penegakan hukum.

’’Sehingga, jika ada aparat penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian, yang meminta izin untuk memeriksa anggota dewan, mereka akan dipersilakan,’’ ujarnya di sel-sela pertandingan tenis invitasi eksekutif di lapangan indoor Pamularsih, Semarang, Sabtu.

Hanya, kata dia, yang menjadi masalah adalah cepat atau lambatnya pemberian izin kepada aparat bersangkutan. Sebab, jika pemeriksaan dilakukan hanya untuk beberapa orang, hal itu akan cepat diizinkan. Namun, kalau izinnya menyangkut seluruh anggota dewan, mungkin prosesnya akan lebih lama.

’’Kami khawatir, jika seluruh anggota dewan diperiksa, kinerja dewan akan terganggu. Sebab, otomatis hal itu juga akan mengganggu masalah hukum pemerintahan,’’ jelasnya seperti yang dikutip Antara.

Mendagri akan mendukung masalah penegakan hukum yang sebenarnya sudah berjalan lama. Sebab, sudah beberapa kali izin pemeriksaan anggota DPRD provinsi diajukan ke Mendagri. Meski memberikan izin, kata dia, akan dipikirkan apakah izin pemeriksaan tersebut mengganggu kinerja dewan atau tidak.

Mendagri menilai, masalah pemeriksaan merupakan hal yang wajar dalam penegakan hukum. Namun, mengenai yang salah atau yang benar, itu akan terlihat dari pemeriksaan tersebut. (agm)

Sumber: Sumatera Ekspres, 14 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan