26 Politikus Anggota DPR Periode 1999-2004 Tersangka Suap

Kasus Cek Miranda, KPK Belum Sentuh Penyuap

Politikus senior PDIP sekaligus anggota Komisi III DPR Panda Nababan akhirnya resmi menjadi tersangka kasus suap penerimaan cek perjalanan (travelers cheque) atas pemenangan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia (DGS BI).

Selain Panda, kemarin (1/9) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan mengumumkan 25 tersangka lain dalam kasus yang sama.

Seluruhnya merupakan anggota Komisi XI DPR periode 1999-2004.

Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta yang pernah duduk di DPR periode 1999-2004 juga ditetapkan sebagai tersangka.

''Seluruh tersangka adalah anggota DPR periode itu (1999-2004),'' kata Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto di gedung KPK kemarin. Menurut dia, mereka adalah tersangka baru dalam kasus yang terjadi saat pemilihan Miranda sebagai DGS BI di komisi IX pada 2004.

Bibit menambahkan, penetapan 26 tersangka tersebut merupakan hasil penyidikan dan pengembangan berdasar fakta-fakta yang terkuak dalam sidang sebelumnya. KPK membagi 26 tersangka itu dalam enam kelompok yang tertuang dalam enam berkas surat perintah penyidikan (sprindik).

''Ini (pengelompokan) berdasar aliran penerimanya yang dibagi jadi enam kelompok,'' jelasnya. KPK kemarin tidak menjelaskan para tersangka dari kalangan pemberi suap.

Bibit lalu membeberkan satu per satu kelompok tersebut. Per­tama adalah nama-nama tersangka yang tertuang dalam surat perintah penyidikan (sprindik) bernomor 40/01/VIII/2010 tertanggal 27 Agustus 2010. ''Mereka berinisial HY bersama AHZ, MBS, PSz, BS, dan AZA,'' kata Bibit.

Inisial HY mengacu pada nama Hamka Yandhu yang pada 17 Mei lalu divonis penjara 30 bulan oleh Pengadilan Tipikor dalam kasus yang sama. Lima inisial lainnya adalah Ahmad Hafiz Zawawi, Marthin Bria Seran, Paskah Suzetta, Bobby Suhardiman, serta Antony Zeidra Abidin.

Kedua, para tersangka yang termuat dalam sprindik bernomor 42/01/VIII/2010 tanggal 27 Agustus 2010. Bibit menguraikan inisial tersangka kelompok kedua. Yakni, HY bersama MN, ARS, RK, BA, dan HB. HY muncul dua kali dalam sprindik terpisah.

Inisial MN adalah T.M. Nurlif. Selanjutnya adalah Asep Ruchimat Sudjana, Reza Kamarullah, Baharuddin Aritonang, dan Hengky Baramuli. Tersangka pada kelompok pertama dan kedua berasal dari Fraksi Partai Golkar.

Kelompok ketiga dihuni SU dan DT. Diketahui, keduanya adalah anggota DPR dari Fraksi PPP. Yakni, Sofyan Usman dan Daniel Tandjung. Sprindik untuk kelompok itu bernomor 43/01/VIII/2010 tanggal 27 Agustus 2010.

Kelompok keempat sampai terakhir merupakan tersangka dari Fraksi PDIP yang berjumlah 14 orang. Untuk kelompok keempat, berkas sprindiknya bernomor 45/01/VIII/2010 tanggal 27 Agustus 2010. ''Inisialnya NLM, SP, SW, dan MP,'' ucap Bibit. Diketahui, mereka adalah Ni Luh Mariani Tirtasari, Sutanto Pranoto, Soewarno, dan Matheos Pormes.

Kelompok kelima berinisial PN, EP, MI, BD, dan JT. Nah, Panda Nababan termasuk dalam kelompok ini. Selain Panda, tersangka lain adalah Engelina Pattiasina, Budiningsih, Muhammad Iqbal, dan Jeffrey Tongas Lumban. Sprindik kelompok itu bernomor 44/01/VIII/2010 tanggal 27 Agustus 2010.

Dalam kelompok terakhir, salah seorang tersangkanya adalah sang pelapor kasus tersebut. Dia adalah Agus Condro Prayitno yang oleh Bibit disebut dengan inisial ACP.

Selain ACP, tersangka lain berinisial MM, RL, PS, dan WMT. Mereka adalah Max Moein, Rusman Lumbantoruan, Poltak Sitorus, dan Williem Tutuarima. ''Sprindiknya bernomor 41/01/VIII/2010,'' terang Bibit.

Untuk kelompok keempat hingga keenam, tersangka dikelompokkan bersama dengan Dudhie Makmun Murod. Dudhie-lah yang membagikan uang itu kepada mereka.

Lebih lanjut, Bibit menegaskan bahwa pihaknya kini masih mengem­bangkan penyidikan untuk menjerat tiga nama lain yang juga diduga menerima uang pelicin untuk pemenangan Miranda.

Selain itu, jelas dia, untuk beberapa anggota Fraksi TNI-Polri yang diduga juga menerima suap, KPK menyerahkan berkasnya ke panglima TNI. Menurut Bibit, yang lebih berwenang menangani anggota TNI-Polri tersebut adalah pihak militer. ''Tanyakan langsung saja perkembangannya ke panglima,'' ucap purnawirawan polisi tersebut. Tiga nama anggota Fraksi TNI-Polri yang diduga menerima uang suap tersebut adalah Sulistiyadi, Suyitno, dan Dardup Yusup.

Sebaliknya, saat ditanya tentang perkembangan Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Komjen Pol (pur) Adang Daradjatun yang disebut-sebut sebagai pihak yang memfasilitasi penyerahan cek perjalanan dari penyandang dana kepada anggota FPDIP, Bibit menjawab diplomatis.

''Kami masih terus menelusuri keterlibatannya. Pokoknya, kalau terbukti, pemberi maupun penerima akan dijerat semua,'' tegas pria kelahiran Madiun itu. Jawaban serupa dikemukakan Bibit saat ditanya tentang peran Miranda dalam kasus tersebut.

Selain itu, saat disinggung tentang penetapan para politikus PDIP sebagai tersangka yang diindikasikan sebagai intervensi beberapa pihak, Bibit membantah. Dia me­negaskan bahwa KPK tidak mendapat intervensi sedikit pun dalam menangani kasus tersebut.

Sebelumnya, kasus suap penerimaan cek perjalanan atas pemenangan Miranda itu menyeret beberapa politikus lain. Yakni, Udju Djuhaeri, Endin A.J. Soefihara, Dudhie Makmun Murod, dan Hamka Yandhu. Mereka divonis dua tahun hingga 30 bulan.

Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengungkapkan, partainya tidak mempermasalahkan penetapan kadernya sebagai tersangka. KPK, kata dia, memang berwenang menangani penuntasan kasus korupsi. Sepanjang sesuai penegakan hukum, Golkar tentu akan menyerahkan pada mekanisme yang ada. ''Kami tidak akan menangisi. Tapi, jangan dipolitisasi,'' ujarnya di gedung parlemen kemarin (1/9).

Langkah untuk tidak memolitisasi, kata dia, adalah tentu dengan mengungkap siapa pun yang terlibat. Penerima maupun pemberi suap tentu wajib ditindak secara hukum. ''Siapa pun, termasuk pejabat kabinet atau di parlemen,'' ujarnya.

Sebagai wakil ketua DPR, Priyo mendukung KPK memproses keterlibatan politisi dalam kasus korupsi. Tentunya, hal itu diusut dari partai mana pun. KPK diminta bekerja tidak berdasar pesanan. ''Jangan hanya dari partai besar, tapi dari partai apa pun. Saya yakin, KPK tidak bekerja berdasar pesanan,'' terang dia.

Terkait status tersangka Paskah, Priyo tidak tahu pasti apakah mantan ketua DPP Partai Golkar itu benar-benar terlibat. Dia berharap KPK menekankan asas praduga tak bersalah dalam kasus tersebut. ''Asas praduga tidak bersalah masih memungkinkan ikhtiar bagi seseorang yang dituduh untuk kemudian ada pembelaan di sana,'' jelasnya. Meski, dalam sejarahnya, tidak ada seorang pun tersangka KPK yang lolos dari jerat pidana.

Priyo menegaskan, KPK harus mengusut tuntas setiap pihak yang terlibat dalam kasus suap tersebut. ''Seluruhnya, sampai akarnya, harap diusut sampai habis,'' ujarnya.

Bagi dia, ada hal yang ganjil ketika KPK justru belum menyentuh sumber aib itu. ''Kalau gagal ke sana, reputasi jadi taruhan,'' katanya mengingatkan. Sebaliknya, kalau berhasil menunjukkan sumber bencana dan diperiksa secara terbuka lantas disampaikan ke publik, KPK akan mendapat citra positif. (kuh/bay/c5/agm)
Sumber: Jawa Pos, 2 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan