12 Noda Hitam Pemberantasan Korupsi 2013

Walaupun perlawanan terhadap korupsi terus menerus digencarkan banyak pihak, namun ICW dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat 12 noda hitam pemberantasan korupsi sepanjang 2013. Berikut daftarnya.

Vonis bebas untuk Sudjiono Timan, buronan terpidana korupsi

Mahkamah Agung pada 31 Juli 2013 mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali terhadap Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Sudjiono menjadi buronan dalam perkara korupsi BPUI yang merugikan negara Rp 369,4 miliar dan USD 178,9 juta. Putusan ini membatalkan putusan kasasi yang menghukum Sudjiono 15 tahun penjara. Dalam vonis PK, Hakim Agung Sri Murwahyuni menolak putusan PK dengan mengajukan dissenting opinion.

Hadiah remisi untuk koruptor

Meskipun sudah ada PP 99/2012 tentang pembatasan remisi bagi narapidana korupsi, terorisme, dan narkoba, namun sejumlah koruptor kakap masih berhasil mendapat remisi dan kemungkinan keluar lebih cepat dari putusan hakim. Pasalnya, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin telah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa PP No 99/2012 berlaku untuk napi yang putusannya berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak 12 November 2012. Surat edaran  ini dapat dinilai sebagai upaya kompromi dan belas kasihan kepada koruptor dan jauh dari semangat pemberantasan korupsi.

Nomor surat edaran: M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tertanggal 13 Juli 2013

Kasus korupsi kakap masih berderet

Hingga menjelang akhir 2013, sejumlah kasus korupsi kelas kakap seperti bail out Bank Century, cek pelawat pemilihan deputi Gubernur Bank Indonesia, dan proyek Hambalang belum berhasil dituntaskan hingga aktor utamanya meski sejumlah pelaku sudah diadili dan dijebloskan ke penjara. Kasus korupsi dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dan rekening gendut jenderal polisi bahkan tidak tersentuh di tahun 2013.

Kasus perdata Soeharto belum tuntas

Sama seperti kasus pidana, upaya menjerat mantan presiden Soeharto juga belum membuahkan hasil. Pada tahun 2010 Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa Soeharto sebagai tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai tergugat II bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Yayasan Supersemar harus membayar denda senilai Rp3,17 triliun. Meski diputus MA pada tahun 2010, namun Kejaksaan Agung baru menerimanya tahun 2013. Sayangnya proses eksekusi terhadap putusan tersebut juga belum dilaksanakan. Bahkan Kejaksaan berniat mengajukan Peninjauan Kembali karena alasan salah ketik dalam putusan MA.

Kejaksaan Agung juga belum melakukan proses hukum perdata terhadap 6 yayasan milik Soeharto lainnya lain, yaitu: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dharmais, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora yang telah merugikan keuangan negara hingga trilinuan rupiah. 

40 Koruptor masih buron atau belum dieksekusi

Sedikitnya masih ada 40 koruptor yang buron di dalam dan luar negeri atau belum ditangkap kejaksaan meskipun sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, beberapa putusan perkara korupsi meskipun sudah divonis di tingkat kasasi, hingga kini pelakunya belum dieksekusi dan dijebloskan ke penjara oleh kejaksaan. Salah satunya adalah I Gede Winasa, mantan Bupati Jembrana yang telah divonis 2,6 tahun penjara oleh MA pada 26 Juni 2013. Winasa hingga kini belum juga dieksekusi oleh Kejaksaan Tinggi Bali. Serupa dengan kasus korupsi APBD Gate 2004 di Cirebon. Meski pada tahun 2003 lalu MA telah menolak kasasi 21 terdakwa mantan anggota DPRD Kota Cirebon periode 1999-2004, namun Kejaksaan Negeri Cirebon belum juga melakukan eksekusi.

Tunggakan uang pengganti kasus korupsi sebesar Rp 12,7 triliun belum dieksekusi

Kejaksaan masih punya piutang (belum melakukan eksekusi uang pengganti) dalam perkara korupsi sebesar Rp 12.761.269.954.983,50 dan USD 290.408.669,77.

Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Auditorat Utama Keuangan Negara I Di Jakarta (Nomor : 57/Hp/Xiv/07/2013 Tanggal : 2 Juli 2013) Tentang Piutang Kejaksaan RI Posisi Per 30 Juni 2012 Pada Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Dan Kejaksaan Negeri Di DKI Jakarta Dan Jawa Barat

Ketua MK menjadi tersangka kasus korupsi

Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dan salah satu lembaga harapan dalam memberantas korupsi malah justru tersandung korupsi. Tak tanggung-tanggung, kala itu Ketua MK Akil Mochta  ditangkap KPK pada bulan Oktober 2013 karena menerima suap terkaitPilkada di Kabupaten Gunungmas dan Kabupaten Lebak. Akil juga ditetapkan sebagai tersangka kasus pencucian uang hasil korupsi.

Indonesia masih tergolong negara terkorup dunia

Indonesia masih tergolong sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Pada 3 Desember lalu, Tranparency International melansir Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 177 negara di dunia.

Nilai CPI ditampilkan dalam skor dengan rentang 0-100. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Tahun ini, Indonesia meraih skor 32, masih sama seperti tahun lalu. Bedanya,pada 2012 Indonesia berada di peringkat 118 dari 176 negara. Sedang di tahun 2013, peringkat Indonesia turun menjadi 114 dari 177 negara.

Koruptor masih dapat dana pensiun seumur hidup

Meskipun telah diputuskan bersalah dalam kasus korupsi dan menjalani pidana, sejumlah mantan Anggota DPR tetap bisa menerima dana pensiun seumur hidup. Misalnya, Panda Nababan dari Fraksi PDIP terpidana kasus cek pelawat, Arsyad Syam dari Fraksi Demokrat terpidana kasus proyek pengadaan PLTD Sungai Bahar Jambi tahun 2004, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi PAN terpidana kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), dan Muhammad Nazaruddin dari Fraksi Demokrat terpidana kasus Wisma Atlet.

Dana pensiun bagi anggota dewan diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara. Uang pensiun juga diberikan kepada anggota Dewan yang diganti atau mundur sebelum masa jabatannya habis. Ini diatur UU MPR DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Uang pensiun bagi anggota DPR berjumlah 6-75% dari gaji pokok yang diterimanya selama aktif menjadi anggota DPR. Besaran uang pensiun juga didasarkan pada lamanya masa jabatan. Gaji pokok anggota DPR sendiri bervariasi, dengan nilai minimal Rp 4,2 juta.

Selain anggota dewan, mantan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi juga tetap menerima dana pensiun sampai akhir hayatnya.

Mantan terpidana korupsi jadi pejabat publik

Selain menerima dana pensiun, koruptor di Indonesia ternyata masih bisa memegang jabatan publik. Contoh ini terjadi di Kabupaten Kampar Provinsi Riau.  Muhammad Syukur, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar adalah mantan terpidana korupsi yang telah dihukum 4 tahun penjara oleh MA pada 19 Agustus 2009.  

Hal ini bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012, yang intinya meminta semua gubernur, bupati, dan walikota untuk tidak mengangkat mantan terpidana kasus korupsi menduduki jabatan struktural. Sayangnya, Mendagri Gamawan Fauzi tidak mengambil tindakan apapun terhadap Jefri Noer, Bupati Kampar yang tetap mempertahankan M. Syukur sebagai Kepala Dinas Kehutanan. 

Pelemahan pemberantasan korupsi masih kuat

Setelah gagal memangkas kewenangan KPK lewat Revisi UU KPK, DPR diam-diam kembali berupaya melemahkan—bahkan dapat dikatakan berupaya “membunuh” KPK lewat Revisi Undang-Undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan Revisi Kitab Hukum Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Secara subtansial, terdapat 9 ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi “membunuh” KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa di antaranya, adalah: kewenangan luar biasa bagi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) untuk memutuskan lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana (termasuk kasus korupsi) serta menangguhkan penahanan tersangka atau terdakwa, dengan jaminan uang atau orang. Selain itu, putusan bebas di pengadilan tingkat pertama juga tidak dapat dikasasi. 

Ada juga upaya mengganti RUU Tipikor (UU No 31 Tahun 1999 jo UU no 20 Tahun 2001) dengan tetap memasukkan delik pidana tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP. Ancaman pidana penjara dan denda dalam RUU KUHP lebih ringan dari UU Tipikor saat ini.

Pelaksanaan Konvensi Antikorupsi jauh dari harapan, revisi UU Tipikor tidak diprioritaskan

Sepuluh tahun lalu di Meksiko, PBB telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United Nation Convenstion Against Coruption-UNCAC). Indonesia baru meratifikasi UNCAC pada tahun 2006 dengan diundangkannya dengan Undang-undang No 7 Tahun 2006. Konsekuensinya, UU Tipikor yang saat ini berlaku (UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001) perlu dicabut dan diganti dengan UU baru yang sesuai dengan Ketentuan UNCAC.

Hingga kini, pelaksanaan UNCAC masih jauh dari yang diharapkan karena pemerintah dan DPR belum juga menyelesaikan RUU Tipikor meskipun disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional sejak tahun 2009. DPR dan pemerintah terkesan menilai Revisi UU Tipikor tidak penting. Dampaknya, banyak koruptor kakap yang masih lolos dan Indonesia masih tergolong negara terkorup versi Transparency International. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan