10 Tahun KPPU; Bubar atau Tetap Jalan Tanpa Status?

Di mata delegasi asing, perjalanan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU selama 10 tahun terakhir di dalam menegakkan hukum persaingan usaha diacungi jempol. KPPU sudah mulai bisa membongkar banyak masalah persaingan bisnis yang tidak sehat, melenceng di negeri ini.

Semisal, KPPU membongkar kongkalikong pengusaha nakal dengan lembaga penyelenggara tender. Menuntaskan kasus dominasi pemilik modal dalam penguasaan pasar, dan bahkan sampai menggugat urusan recehan pesan layanan singkat telepon seluler yang merugikan masyarakat.

Tepat pada peringatan satu dekade KPPU pada 7 Juni 2010, lembaga ini seperti anak kecil yang mulai berlari lincah. Apalagi, per tahun anggaran 2010, KPPU dari aspek penyediaan anggarannya sudah semakin independen. Tak lagi dalam genggaman yang berpotensi sarat intervensi dari Kementerian Perdagangan.

Namun, siapa sangka, lari lincahnya lembaga penegak hukum persaingan usaha ini seakan gamang. Misalnya, status kepegawaian jajaran KPPU yang tidak jelas. Masalah yang muncul sejak berdiri di era reformasi, dari pergantian Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (almarhum), Megawati Soekarnoputri ke masa kepemimpinan periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Artinya, semua pegawai KPPU sepenuhnya masih honorer. Hampir setiap tahun, perekrutan kepegawaian terus dilakukan KPPU. Setiap pegawai yang masuk dan sadar akan ketidakjelasan statusnya alias masa depannya pada akhirnya menjadikan kerja di KPPU ini hanya sebagai batu loncatan.

Ironis. Sebab di depan mata, KPPU harus tegas menghadapi penuntasan kasus yang sarat dengan bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara regulator dan eksekutor serta kesepakatan nakal antarpengusaha yang tanpa sadar menghasilkan kartel. Status pegawai yang tak jelas bisa membuat nasib usia KPPU bisa tak panjang.

”Kayaknya memang ada yang menginginkan lembaga KPPU ini bubar!” tegas Erwin Syahril, anggota KPPU, saat ditemui di sela-sela seminar bertajuk ”The Indonesian Conference on Competition Law and Policy” di Kuta, Bali, Rabu (9/6) lalu.

Sikap antipati boleh jadi benar. Status lembaga tidak masuk di dalam undang-undang ketatanegaraan sehingga tidaklah mungkin menjadikan jajaran KPPU sebagai pegawai negeri sipil. Soal kejelasan status ini, pihak KPPU sudah berupaya mengajukan kepada Presiden maupun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.

”Komisioner sih diangkat langsung oleh presiden, tetapi bagaimana nasib staf yang selama ini ikut bekerja keras dalam upaya menegakkan hukum ini. Jadi, bicara reformasi birokrasi juga semata-mata dilakukan KPPU karena kekuatan nurani saja,” ujar anggota KPPU, Anna Maria Tri Anggraini.

Di mata masyarakat, boleh saja tuntutan memiliki status kepegawaian ini menjadi momok karena terpaan korupsi pernah menghantam Ketua KPPU Mohammad Iqbal. Nila setitik, rusaknya susu sebelanga.

Tugas berat
Dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, sebagian besar pengurus KPPU di sejumlah negara mengakui tugas berat yang diemban lembaga ini di era perdagangan bebas. Bukan saja keberadaan KPPU menjadi sasaran tembak bagi pengusaha yang merasa ketahuan sepak terjang nakalnya, melainkan juga sasaran cacian dari investor asing yang merasakan sulitnya berinvestasi di Indonesia secara fair.

Komisioner Japan Fair Trade Commision (JFTC) Michiyo Hamada mengatakan, sosialisasi penegakan hukum persaingan membutuhkan kemauan berbagi pengalaman. JFTC memasukkannya dalam kerangka kesepakatan kemitraan ekonomi (EPA). Bentuknya berupa notifikasi, kerja sama penguatan aktivitas usaha, koordinasi, permintaan untuk penguatan aktivitas usaha, dan mempertimbangkan kepentingan tertentu.

Konsultan hukum persaingan India, Chakravarthy, memberikan pandangan dari kondisi masyarakat yang umumnya masih dilanda kemiskinan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan satu dollar AS (sekitar Rp 9.300) per hari masih mencapai 30-60 persen.

Menurut Chakravarthy, apabila pertumbuhan ekonomi dan hukum persaingan sungguh diimplementasikan, kebijakan persaingan yang efisien dan efektif akan mendorong pertumbuhan. Pertumbuhan akan mendorong pengurangan kemiskinan dan pengurangan kemiskinan akan mengarah pada integrasi perekonomian dunia.

Di tengah perhatian negara tetangga terhadap keberadaan KPPU, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar memberikan catatan penting kepada KPPU agar bukan sekadar mengejar target penegakan hukum persaingan, melainkan juga berani melihat kondisi iklim usaha, terutama intervensi negara lain pada dunia usaha.

”Bagaimana proteksi harus dipandang secara jernih? Apakah proteksi merupakan bentuk antipersaingan? Sebab, pada era perdagangan bebas, proteksi dilakukan pemerintah sebagai cara ampuh untuk melindungi industri dalam negeri dan rakyatnya,” kata Mahendra.

Pengamat ekonomi Faisal Basri menekankan agar KPPU kian berhati-hati dalam mengambil putusan. Musuh KPPU di masa depan justru adalah pemerintah yang kerap membuat kebijakan atas dasar kepentingan tertentu demi melindungi pengusaha nakal. Apalagi, pemerintah masih menjadi tempat lobi-lobi politik tertentu. Kebijakan menteri kerap berasal dari suara-suara partai politik yang konsern pada perebutan kursi kepemimpinan tahun 2014.

Tantangan kerja KPPU tampaknya semakin berat. Di tengah status yang belum jelas, sebetulnya pemerintah serius atau tidak mendirikan lembaga ini? Bisa jadi, pengusaha semakin pesimistis terhadap putusan kekuatan hukum yang sesungguhnya dibuat oleh lembaga yang tidak jelas statusnya.

Saat dunia internasional mengacungkan jempol atas yang sudah dilakukan KPPU, pemerintah sendiri justru mengabaikan lembaga ini. Ironis! [Stefanus Osa Triyatna]
Sumber: Kompas, 15 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan