<p><span style="font-size: 9pt;

Kekhawatiran publik dengan isu perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun agaknya masuk di tahap mencemaskan. Sampai saat ini mayoritas fraksi menyetujui usulan pemerintah memperpanjang usia pensiun.

Berbagai argumentasi yang diungkapkan dinilai tak masuk akal, yang menguat justru kesan ”ada permainan” di balik proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) ini.

Usulan tersebut harus dilihat sebagai kemunduran dalam upaya reformasi peradilan. Di tengah buruknya citra MA, DPR dan pemerintah justru berupaya mempertahankan status quo sekelompok ”hakim usia senja”.

Peringkat Terburuk

Menurut catatan ICW, sulit mengatakan MA sudah berubah.Hingga 2008, kondisi MA dinilai masih jauh dari kesan bersih. Mafia peradilan masih marak, pengelolaan keuangan buruk, sikap antitransparansi, dan tingkap kepatuhan pada rekomendasi BPK rendah.

Bahkan,proses pembaruan peradilan pun masih terganjal akibat MA tidak patuh dengan blue print yang disusunnya sendiri sebelumnya. Dengan kata lain, di bawah kepemimpinan Bagir Manan dan sejumlah petinggi lain, institusi ini (MA) justru menonjolkan sisi gelapnya.

Satu evaluasi lain yang kontradiktif dengan suara publik menyangkut soal putusan kasus korupsi. Berdasarkan penelitian ICW, tren putusan bebas untuk kasus korupsi tahun 2005 hingga Juni 2008 di peradilan umum terus meningkat.

Pada 2005, sekitar 22,22% terdakwa kasus korupsi divonis bebas di peradilan umum (54 orang); meningkat menjadi 32,13% atau 116 terdakwa di tahun 2006; kembali mengalami kenaikan mencapai 56,84% atau 212 orang di tahun 2007; dan 104 terdakwa korupsi kembali divonis bebas hingga Juni 2008.

Artinya,dari total 1184 terdakwa kasus korupsi yang dapat dipantau ICW,sebagian besar divonis bebas dan sebagian lainnya dihukum relatif ringan.Atau rata-rata vonis sekitar 20 bulan (Tahun 2005–Juni 2008). Hasil evaluasi ini tentu semakin memperlihatkan stagnasi di institusi peradilan Indonesia yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, pengadilan justru lebih memperlihatkan sisinya yang kontraproduktif.Tidak prosemangat pemberantasan korupsi. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008 pun menunjukkan hal yang sama. Peradilan Indonesia diletakkan pada posisi terburuk di Asia.

Waktu yang cukup panjang dan anggaran yang begitu besar ternyata tidak menghilangkan kesan korup institusi peradilan Indonesia. Seperti dirilis PERC, peradilan Indonesia ditempatkan di posisi ke-12 atau terburuk pertama se-Asia dengan skor 8,26.

PERC yang menggunakan skala 1-10 melakukan survei terhadap 1.537 responden dari pihak yang bersentuhan langsung dengan peradilan, kelompokbisnis,danlainnya.Surveiitu jelas menggambarkan penilaian dan kesan dunia internasional terhadap peradilan Indonesia.

Stagnasi?

Hal ini dapat diletakkan dalam konteks sikap sejumlah fraksi DPR dan Pemerintah tentang usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Data dan hasil evaluasi di atas jelas menunjukkan buruknya prestasi dan citra peradilan di bawah kepemimpinan sejumlah hakim agung ”usia senja”.

Dengan kata lain,tidak masuk akal jika orang-orang yang terbukti gagal memimpin justru kembali diperpanjang usia pensiunnya. Pernyataan Bagir Manan bahwa semakin tua hakim akan semakin bijak dan berpengalaman, agaknya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan telah terbukti sebaliknya.

Mengingat, sejak dilantik pertama kali pada 18 Mei 2001,belum ada perubahan mendasar yang dilakukan. Bahkan, Bagir Manan pernah memperpanjang usia pensiunnya sendiri pada 2006.Apakah rezim korup ini masih terus akan dipertahankan?

Potret ini lebih menunjukkan kepada kita arogansi kekuatan tua di MA dan persekongkolan elite pemerintah bersama DPR ketimbang iktikad untuk memperbaiki MA. Argumentasi yang mengatakan jika usia pensiun tidak dijadikan 70 tahun maka akan berakibat stagnasi di MA pun dinilai tidak berdasar.

Data Komisi Yudisial membeberkan, dari 48 hakim agung yang ada di MA saat ini,hanya 11 yang akan pensiun pada 2009 jika usia pensiun tetap tunduk pada umur 67 tahun. Atau,sekitar 23% saja. Jika usia 70 tahun disetujui,maka sampai 3 tahun ke depan (2011) tidak akan ada hakim agung yang pensiun.

Dengan kata lain, hal ini akan menghilangkan hak para hakim muda progresif untuk bisa menjadi hakim agung. Lebih dari itu, kebijakan ini sama artinya dengan tetap membiarkan mafia peradilan dan segala kompleksitas masalah di MA terus berjalan,bahkan memperkuat diri.

Artinya, pihak yang mendukung usia pensiun 70 tahun dapat dikategorikan pihak yang antiperubahan dan regenerasi di MA.Dalam ungkapan yang lebih ekstrem,mereka adalah kelompok yang secara tak langsung pro dengan mafia peradilan.

Karena itulah, poin krusial yang harus dilakukan DPR adalah meletakkan hasil Panitia Kerja Revisi UU MA sekadar sebagai catatan atas UU MA. DPR perlu didesak untuk tidak segera membawa ini ke rapat paripurna, akan tetapi terlebih dulu membahas UU Komisi Yudisial dan UU Mahkamah Konstitusi dalam sebuah rapat kerja.

Kemudian, membawa tiga UU tersebut secara paralel di rapat paripurna.DPR,pemerintah dan kelompok elite tidak boleh bersekongkol dan melacurkan kewenangan untuk memenuhi kebutuhan kelompok,terutama demi kepentingan reformasi peradilan.(*)

Febri Diansyah
Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 23 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan