Bantuan Sosial di Tengah Pandemi Covid-19: Analisis Persoalan dan Rekomendasi Kebijakan

Sumber: Tagar.id

Penyaluran bantuan sosial (bansos), khususnya dalam rangka penanganan dampak Covid-19, tak kunjung lepas dari masalah. Baru-baru ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 31 ribu Aparatur Sipil Negara (ASN), baik aktif maupun telah pensiun, yang terdata menerima bansos. Data yang diungkap Menteri Sosial  tersebut semakin menegaskan bahwa data penerima bansos masih tidak valid dan proses pendataannya bermasalah.

Ketidakvalidan data penerima bansos pada dasarnya telah banyak terungkap bahkan sejak awal bansos Covid-19 disalurkan. Pada saat itu, warga menemukan penerima bansos yang sudah lama meninggal, pindah domisili kependudukan, hingga sudah menjadi ASN masih tercatat menerima bansos. Sebaliknya, banyak warga dengan tingkat kesejahteraan lebih membutuhkan bantuan justru luput dari penyaluran bansos (exclusion error).

Kementerian Sosial (Kemensos) pada saat itu menyebut bahwa kesemrawutan data penerima bansos dikarenakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi acuan penyaluran bansos belum dimutakhirkan sejak 2017. Problem lain, pemerintah kabupaten/kota juga tak disiplin dalam melakukan verifikasi dan validasi secara reguler.

Data Berantakan, Proses Tidak Transparan

Masalah pendataan bansos diperparah dengan terjadinya korupsi. Setahun lalu, terungkap bahwa bansos yang selayaknya untuk membantu warga miskin justru menjadi sasaran korupsi sejumlah pejabat di Kemensos. Korupsi tersebut bahkan didalangi oleh Juliari P. Batubara yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial. Kasus serupa juga terjadi di daerah yang melibatkan kepala daerah.

Karut marut pendataan bansos dan penyelewengan pengadaan bansos sembako hanya persoalan bansos di sisi hulu. Di sisi hilir, marak pula persoalan seperti adanya pemotongan dan pungutan liar, khususnya di semester awal bansos Covid-19 disalurkan. Pemotongan bansos adalah modus penyelewengan bansos paling banyak yang warga laporkan kepada ICW dan jaringan pemantau antikorupsi pada 2020 lalu.

Tidak adanya kanal informasi satu pintu yang mudah diakses warga memperunyam masalah karena warga tak tahu jelas bansos yang diterimanya. Pertanyaan yang kerap warga ajukan kepada pemantau kami misalnya, jika bansos berupa barang, apa saja yang seharusnya didapat warga? Apakah betul warga masih dikenakan uang antar bansos? Jika berbentuk uang, apakah betul ada pungutan administrasi, pungutan jasa pendataan, dll? Bagaimana cara mendapatkan bansos dan mengapa mereka belum mendapatkan bansos padahal tertera sebagai penerima di aplikasi cek bansos? Dengan informasi yang cukup dan tersampaikan dengan efektif kepada warga, praktik curang dan korup dalam program bansos akan lebih mudah ditelusuri dan pemerintah dapat mengambil langkah pembenahan yang diperlukan.

Melihat strategisnya program bansos dan masih banyaknya persoalan dalam program ini, kami dari jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), Balebengong Bali, Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sulawesi Tenggara, Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM) Surakarta, Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Jawa Timur, dan Bengkel Advokasi Pengembangan dan Pemberdayaan Kampung (Bengkel APPeK) Nusa Tenggara Timur (NTT) menyusun catatan persoalan bansos yang disarikan dari observasi lapangan dan telaah langkah pembenahannya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan