Vaksin Berbayar Untuk Kepentingan Bisnis: Batalkan Vaksin Rente

Foto: Detik/BBC

Pada 5 Juli 2021, pemerintah mengeluarkan kebijakan program vaksinasi berbayar bagi individu/perorangan. Meskipun kebijakan ini akhirnya ditunda, kebijakan itu menegaskan ambiguitas sikap pemerintah dalam penanganan pandemi karena ada tarik menarik kepentingan antara kepentingan bisnis dan pemenuhan kewajiban untuk menyelamatkan kesehatan warga negara.

Kebijakan vaksin berbayar tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 19/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19. Pasal 5 Permenkes tersebut secara gamblang menyebutkan, pendanaan vaksinasi Gotong Royong dapat dibebankan kepada individu/orang perorangan.

Pada peraturan sebelumnya, vaksinasi Gotong Royong hanya dapat dilakukan oleh badan hukum/badan usaha. Artinya biaya vaksin dibebankan kepada badan hukum/badan usaha, bukan kepada individu. Namun Permenkes no 19/2021 mengubah ketentuan tersebut.

Melalui Permenkes No. 19 tahun 2021, Pemerintah menunjuk PT Bio Farma sebagai perusahaan distributor vaksin gotong royong. Lebih lanjut, PT Kimia Farma Tbk, BUMN farmasi terbesar di Indonesia ditunjuk sebagai pelaksana.  Langkah pemerintah untuk mendorong vaksin berbayar bagi individu yang mampu adalah langkah blunder, mengingat jumlah warga negara yang rentan dan belum divaksinasi masih sangat banyak. Atas kebijakan vaksin gotong royong itu, ICW mencatat beberapa potensi masalah serius.

Masalah Dual Track Kebijakan 

Berbagai contoh telah membuktikan bahwa kebijakan dual track (dua jalur/gratis-berbayar) untuk public goods yang langka seperti vaksin COVID akan melahirkan praktek dan perilaku rent-seeking. Di sini potensi penyimpangan akan terjadi dalam bentuk penyelundupan dan pengalihan secara ilegal vaksin gratis menjadi vaksin berbayar. Hal ini karena motivasi mendapatkan keuntungan telah dibuka kerannya oleh negara dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan. Meskipun Pemerintah telah menunjuk secara monopoli supplier dan pelaksana vaksin gotong-royong, namun sistem pengawasan yang lemah akan membuka celah penyimpangan di lapangan. Hal ini membuat target vaksinasi massal secara cepat menjadi terhambat dan membuat penanganan wabah COVID menjadi sulit dilakukan.

Keterbukaan Harga Perolehan Vaksin

Terkait dengan pelaksanaan vaksinasi, Sinopharm merupakan hasil dari perundingan antara Kementerian BUMN, Kementerian Luar Negeri, Indofarma dan Bio Farma berasa Group of 42, kelompok negara produsen vaksin berbasis di Uni Arab Emirat.  Pada April 2021, diketahui pemerintah telah menerima vaksin Sinopharm sebesar 482.400 dosis.

Melalui Permenkes, Pemerintah telah membuka informasi mengenai margin harga dan batas maksimal keuntungan dari vaksin berbayar. Namun, Pemerintah tidak membuka dengan transparan harga perolehan dari produsen vaksin di Uni Emirat Arab perihal harga vaksin sehingga keterbukaan pada konteks Permenkes masih sangat semu. Masyarakat luas perlu tahu berapa keuntungan sebenarnya yang akan diterima oleh importir dan pelaksana vaksin berbayar mengingat vaksin masih merupakan barang langka yang pengadaannya harus dilakukan oleh negara.

Peran Ganda Badan Usaha

Pemerintah telah meminta badan usaha untuk terlibat langsung dalam penyelenggaraan vaksinasi massal untuk mencapai tingkat herd immunity yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi. Usaha itu belum maksimal karena jumlah populasi yang telah mendapatkan vaksin masih jauh dari taget nasional. Sementara pada saat yang sama, badan usaha juga diberikan mandat untuk menjadi pelaku usaha, di mana mereka juga menjadi penyedia untuk vaksin berbayar. Beban ganda ini bukan hanya akan menambah tekanan pada penyelenggaraan vaksin, namun juga mengalihkan fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat ke motivasi mendapatkan keuntungan dari program vaksin berbayar.

Monopoli untuk Keuntungan Ekonomi

Diberikannya hak khusus pada badan usaha BUMN untuk menyelenggarakan vaksin berbayar melalui regulasi pemerintah menjadikan iklim kompetisi pasar menjadi tidak sehat. Berbagai model kebijakan yang sama juga telah terjadi sebelumnya, yang menimbulkan protes dari sektor atau pelaku usaha, misalnya monopoli proyek insfrastruktur strategis nasional oleh BUMN. Dengan skema yang kurang lebih sama, Pemerintah hendak memberikan cek kosong kepada BUMN penyelenggara untuk mendapatkan margin keuntungan tanpa melalui persaingan. Sementara dalam prakteknya, BUMN di Indonesia tidak steril dari masalah tata kelola, termasuk bagaimana hubungan patronase antara elit pemerintah/negara dengan BUMN telah terbangun sedemikian rupa sehingga membuka kans bagi praktik terselubung untuk menjadikan BUMN sebagai sumber atau kasir politisi.

Kimia Farma dan Masalahnya

Pada April 2021 lalu, PT Kimia Farma Diagnostika, cucu usaha PT Kimia Farma Tbk, terlibat dalam kasus mengedarkan antigen palsu di lingkungan Bandara Kualanamu, Medan. Polres Medan menetapkan lima pegawai perusahaan tersebut sebagai tersangka, termasuk diantaranya Branch Manager Picandi Mascojaya.  Menteri BUMN Erick Thohir juga memecat seluruh direksi Kimia Farma menyusul kejadian tersebut. Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, belum ada investigasi menyeluruh atas tindakan daur ulang antigen bekas.

Tahun 2020, investigasi yang dilakukan oleh Majalah Tempo menemukan produk alat tes cepat Covid-19 yang diimpor oleh Kimia Farma dari perusahaan Belanda, Inzek Internasional, tidak memiliki akurasi yang mencukupi. Investigasi Tempo juga menemukan produksi tidak dilakukan di Belanda, melainkan di Cina. Akibatnya, Kimia Farma terpaksa menghentikan proses distribusi dan ribuan alat tes cepat terbengkalai di gudang Kimia Farma.

Sepanjang pandemi Covid-19, Kimia Farma juga kerap mengedarkan obat-obat yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19, tetapi belum terbuktikan secara klinis efektifitasnya. Obat-obat tersebut antara lain avigan, chloroquine, dan wacana distribusi ivermectin yang mulai berkembang sejak pertengahan Juni lalu.

Selain itu, PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) menunjukan Kimia Farma berada dalam masalahan finansial. Dalam pers rilis yang dikeluarkan pada Juli 2020, disebutkan bahwa Kimia Farma menarik fasiitas kredit yang digunakan sebesar Rp 20 trilliun per 30 Juni 2020.  Hingga pertengahan 2020, Kimia Farma juga belum melunasi medium term notes (MTN) sejak tahun 2017 sebesar Rp 400 miliar, yang seharusnya telah jatuh tempo pada 15 September 2020.

Potensi keuntungan BUMN dan Perusahaan Privat

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021, tertera bahwa harga pembelian vaksin produksi Sinopharm adalah Rp 321.660 per dosis, dan tarif layanan sebesar Rp 117,910 per dosis. Dengan dua kali dosis, maka pembeli harus membayar Rp 879.140.

Pada November 2020, Budi Gunadi Sadikin yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN menyebut, Kementerian BUMN mendapat tugas untuk mendistribusikan 172,61 juta dosis vaksin. Melalui hitung-hitungan kasar kita dapat melihat keuntungan besar yang akan didapat oleh Kimia Farma. Apabila penjualan dua dosis vaksin mendapat keuntungan Rp 100.000, maka keuntungan yang didapat adalah Rp 17,2 triliun.

Perusahaan-perusahaan non-BUMN juga akan diuntungkan dengan adanya keputusan tersebut. Sebagai contoh, PT Mahaka Media Tbk, perusahaan yang terafiliasi dengan Menteri BUMN Erick Thohir memiliki 721 karyawan (2018). Apabila disimulasikan, untuk satu karyawan, perusahaan tersebut diharuskan membayar dosis vaksin untuk sekaligus tiga orang (suami/istri/1 orang anak) dengan besaran total Rp 1,9 milyar (Rp 879.140 x (721 x 3)). Perusahaan privat dapat menyerahkan kewajiban vaksinasi kepada individu untuk menghilangkan beban.

Angka-angka diatas menunjukkan bisnis vaksin sangatlah menguntungkan. Baik bagi PT Kimia Farma yang mendapat keuntungan yang besar, atau perusahaan non-BUMN yang kehilangan beban untuk membayar.

Korupsi Kebijakan dalam Pelaksanaan Vaksinasi

Sejak mula, vaksinasi memang sudah ditargetkan untuk menjadi lahan bisnis. Vaksinasi berbayar bagi individu/perorangan sempat mencuat pada akhir tahun 2020 lalu. Akan tetapi karena mendapat penolakan yang meluas, pemerintah memutuskan vaksin diberikan gratis kepada seluruh warga. Keputusan itu lalu secara perlahan berubah. Sejak Desember 2020, Permenkes mengenai Pelaksanaan Vaksinasi berubah sebanyak 3 kali, yakni Permenkes no 10/2021, Permenkes no 18/2021, dan Permenkes no 19/2021.

Inkonsistensi pemerintah dalam mengatur ketentuan lantas mengindikasikan adanya kepentingan bisnis dalam melaksanakan vaksinasi. Ikut diduga terdapat praktik perburuan rente dalam hal tersebut. Praktik perburuan rente tersebut lantas dituangkan dalam bentuk kebijakan publik. Lagi-lagi negara dibajak oleh kepentingan bisnis. Oleh karena itu kebijakan vaksin berbayar harus segera dibatalkan.

 

Jakarta, 13 Juli 2021

Indonesia Corruption Watch

Egi Primayogha 

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan