Menanti Putusan Uji Formil dan Uji Materi: Mahkamah Konstitusi Harus Membatalkan UU KPK Baru!

Sumber foto: Antara

Persidangan pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) baru segera menemui titik akhir. Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan akan membacakan putusan uji formil dan uji materiil pada Selasa pekan depan. Berangkat dari hal tersebut, timbul satu pertanyaan, yakni: apakah MK membenarkan begitu saja sebuah produk legislasi yang sudah merusak iklim pemberantasan korupsi dan sarat akan kepentingan politik itu?

Sebelum masuk pada substansi kebobrokan UU KPK baru, penting untuk mengingatkan beberapa hal ke MK. Selain sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang bertugas menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum, kehadiran MK juga diharapkan menjadi lembaga penyeimbang sekaligus pengingat tatkala pembentuk UU (Presiden dan DPR) bertindak semena-mena dalam menyusun legislasi. Bukan hanya itu, bahkan, Hakim MK juga secara spesifik disebutkan sebagai Negarawan yang semestinya cakap dan bijak ketika mengambil suatu putusan. Maka dari itu, sebelum memutus uji materi UU KPK, MK diharapkan dapat mengimplementasikan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan setiap hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah publik.

Sulit untuk dipungkiri, keberadaan UU KPK baru telah menimbulkan problematika serius. Hal itu dapat dibuktikan dengan temuan Transparency International yang menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 merosot tajam. Secara sederhana, konteks turunnya IPK tersebut dapat dikaitkan dengan ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi pemerintah. Alih-alih memperkuat keberadaan KPK, yang dilakukan justru menggembosi seluruh kewenangan lembaga antikorupsi itu.

Secara garis besar, setidaknya ada empat permasalahan utama dalam proses pembentukan maupun substansi UU KPK baru. Pertama, Presiden dan DPR telah menihilkan nilai demokrasi saat membahas revisi UU KPK. Betapa tidak, praktis publik sama sekali tidak dilibatkan, bahkan, protes dengan aksi #ReformasiDikorupsi pun diabaikan begitu saja. Selain itu, KPK yang notabene pengguna regulasi tersebut juga hanya dianggap angin lalu. Tentu hal itu secara jelas bertentangan dengan Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedua, substansi revisi UU KPK bertentangan dengan banyak putusan MK. Dalam bagian ini substansi yang dimaksud adalah perubahan Pasal 3 UU KPK tentang independensi dan Pasal 40 UU KPK terkait kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Untuk independensi, UU KPK baru menabrak putusan MK tahun 2006 dan tahun 2011. Sedangkan SP3 melanggar putusan MK tahun 2003 yang telah meletakkan pondasi independensi kelembagaan KPK sebagai suatu hal utama bagi lembaga pemberantasan korupsi. Mengingat putusannya yang bersifat final dan mengikat, maka pasal dalam UU KPK baru mesti dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak ditafsirkan sebagaimana telah diputuskan oleh MK beberapa waktu lalu.

Ketiga, banyak ketidakjelasan norma dalam UU KPK baru. Poin yang paling mencolok ada pada Pasal 37 A dan Pasal 37 B UU KPK baru perihal pembentukan Dewan Pengawas dengan segala tugas-tugasnya. Salah satu tugas yang hingga saat ini sulit diterima logika hukum adalah memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Sebab, jika pun ingin mengacu pada regulasi umum (KUHAP) atau sistem peradilan pidana, satu-satu lembaga yang dibenarkan melakukan hal tersebut hanya pengadilan, bukan malah Dewan Pengawas. Selain itu, pasal tersebut juga sekaligus menciptakan alur yang rumit serta birokratis tatkala KPK ingin melakukan penindakan. Benar saja, hal itu sempat diakui oleh Penyidik KPK, Novel Baswedan, saat memberikan kesaksian di persidangan MK.

Keempat, revisi UU KPK sarat akan kepentingan politik. Untuk tiba pada kesimpulan itu bukan hal yang sulit, jika dilihat, produk legislasi kontroversi ini dihasilkan secara kilat, praktis hanya 14 hari saja. Selain itu, revisi UU KPK juga sedari awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 namun tetap dipaksakan. Saat paripurna untuk mengesahkan UU KPK di DPR, jumlah kehadiran anggota pun tidak memenuhi kriteria kuorum. Sehingga ini menunjukkan adanya intensi politik di balik pembahasan revisi UU KPK.

Maka dari itu, atas problematika di atas, Indonesia Corruption Watch mendesak agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan Uji Formil dan Uji Materiil UU KPK baru.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan