Catatan Akhir Tahun Pemberantasan Korupsi Tahun 2020: Pandemi, Kemunduran Demokrasi, dan Redupnya Spirit Pemberantasan Korupsi

Sumber foto: Biro Pers Kepresidenan

Tahun 2020 bukan waktu yang menggembirakan bagi pemberantasan korupsi. Pada periode ini, KPK telah kehilangan taji akibat revisi undang-undang yang melucuti kewenangan dan independensinya. Selama kurun waktu 2020, publik telah menyaksikan terbitnya berbagai kebijakan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, mulai dari pengesahan produk hukum yang kontroversial, dikeluarkannya kebijakan penganggaran yang bermasalah, hingga penanganan pandemi Covid-19 yang rawan akan penyelewengan. ICW merangkum berbagai masalah itu dan menyajikannya dalam catatan akhir tahun pemberantasan korupsi 2020.

Produk Legislasi Bermasalah dan Menguatnya Konsolidasi Oligarki

Selang beberapa bulan setelah revisi UU KPK disahkan pada September 2019, publik kembali disajikan dengan pengesahan sejumlah produk hukum bermasalah. Produk hukum itu adalah Perppu No 1/2020/ UU No 2 Tahun 2020 untuk Penanganan Covid, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Setelah pengesahan revisi UU KPK yang akan mempermudah elit politik-bisnis untuk membajak proyek-proyek negara tanpa dapat ditindak secara hukum, empat produk hukum tersebut juga ditengarai sarat akan kepentingan elit politik-bisnis.

Produk hukum yang pertama disahkan adalah Perppu No 1/2020 pada 31 Maret 2020. Selang beberapa bulan, Perppu itu disahkan menjadi UU No 2/2020 pada Mei 2020. Perppu ini memberikan imunitas hukum pada pemangku kebijakan. Muatan dalam Perppu tersebut juga menguntungkan kelompok pengusaha. Terdapat pasal penurunan pajak korporasi dari 25% ke 22%. Ketentuan itu sebelumnya ada dalam rancangan Omnibus Law Perpajakan tetapi diduga diselundupkan di tengah kondisi pandemi.

Pada 13 Mei 2020, revisi UU Minerba kemudian disahkan. Dengan adanya UU Minerba yang baru, korporasi pertambangan mendapat jaminan perpanjangan izin untuk dapat mengeksploitasi sumberdaya mineral dan batubara. Mereka juga tak diharuskan berhadapan dengan BUMN apabila hendak memperpanjang izinnya. Pada UU Minerba sebelumnya, izin-izin yang habis masanya diprioritaskan untuk dikelola oleh BUMN/D. Sehingga negara berkesempatan mengelola sumber dayanya secara mandiri. Pasca revisi UU Minerba disahkan, kesempatan itu kini raib.

Pada 1 September 2020, revisi UU MK ikut disahkan. Muatan dalam UU MK yang direvisi juga turut bermasalah, seperti batasan usian hakim MK yang diperpanjang. Selain itu, revisi UU MK juga diduga kuat sarat akan nuansa konflik kepentingan. Saat UU itu disahkan, MK sedang menyidangkan dua produk hukum yang diusulkan oleh Presiden dan DPR yaitu uji formil UU KPK dan uji materi Perppu No 1/2020. Pengaturan mengenai batas waktu usia hakim MK yang lebih panjang diduga agar tak mengubah konfigurasi hakim MK yang dapat menguntungkan pemerintah ataupun DPR.

Pada 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja yang telah menjadi polemik sejak lama disahkan. Terdapat setumpuk catatan dalam UU Cipta Kerja itu sendiri, seperti muatan pasal yang menguntungkan pengusaha, proses pembahasan yang cacat prosedur, ancaman terhadap desentralisasi, dugaan konflik kepentingan, masalah asimetris informasi, dan sebagainya.

Seluruh proses pembahasan produk hukum di atas dilakukan secara cepat dan terburu-buru, diduga kuat memanfaatkan kondisi pandemi sehingga pengawasan publik menjadi lemah. Partisipasi warga nyaris tidak dibuka. Produk hukum yang disebutkan di atas sarat akan kepentingan elit politik dan elit bisnis.  Sehingga kita dapat memberi kesimpulan bahwa pengesahan produk hukum tersebut merupakan bentuk konsolidasi elit politik dan bisnis yang kini telah semakin kuat mencengkeram demokrasi.

  1. Implikasi Revisi UU KPK

UU KPK No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 19/2019), sudah menuai kontroversi sejak awal pembahasannya. Revisi tersebut bukan saja merusak independensi KPK, karena menempatkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, tetapi juga merusak mekanisme internal penindakan korupsi di KPK.

Pada sisi penindakan, wajah buruk UU No 19/2019 mulai terlihat saat KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU 2017-2022. Perkara yang juga melibatkan buronan KPK, politikus PDIP Harun Masiku, telah menunjukkan betapa rumitnya proses perizinan untuk melakukan penggeledahan. Alhasil, hingga saat ini, KPK tak kunjung melakukan penggeledahan di Kantor PDIP dan gagal menangkap kembali Harun Masiku.

Keberadaan Dewan Pengawas sebagai organ baru bentukan UU 19/2019 dalam rangkaian proses hukum di internal KPK, terbukti memperlambat kinerja penindakan KPK. Hambatan tersebut bukan saja terjadi pada perkara Wahyu Setiawan-Harun Masiku, tapi juga perkara lain yang mengharuskan proses yang cepat dalam keadaan mendesak.

Hal ini dikuatkan oleh keterangan Penyidik KPK Novel Baswedan, dalam sidang uji formil UU KPK di Mahkamah Konstitusi pada 23 September 2020. Menurut keterangan Novel Baswedan, kini KPK kehilangan kekuatan melakukan upaya hukum dalam keadaan mendesak, karena seluruh prosesnya harus melalui persetujuan Dewan Pengawas KPK. Kondisi ini akan mempengaruhi kecepatan KPK dalam menindak kasus korupsi, dan secara tidak langsung membuka peluang lebih besar bagi tersangka korupsi, untuk mengalihkan, memindahtangankan, atau menghilangkan bukti dugaan tindak pidana korupsi.

Tak lepas dari itu, UU 19/2019 juga berimplikasi pada runtuhnya independensi kepegawaian. Sebab, dalam batas waktu dua tahun pasca pengundangan, seluruh pegawai dengan sendirinya akan beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dampak perubahan ini akan mengakibatkan kepegawaian KPK tunduk pada Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi. Setidaknya ada tiga konsekuensi serius yang akan dihadapi oleh lembaga anti rasuah tersebut, mulai dari menghambat kerja KPK saat ingin mengusut praktik korupsi di lingkup eksekutif, potensi perpindahan pegawai ke lembaga negara lain sampai pada status penyidik yang berada di bawah pengawasan Kepolisian.

Ditambah lagi dengan penambahan syarat untuk menjadi Penyelidik maupun Penyidik dalam UU 19/2019. Pada regulasi itu dituliskan bahwa setiap calon mesti mengikuti pendidikan yang dilakukan oleh KPK dengan bekerjasama dengan penegak hukum lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Poin ini semakin memperkeruh nilai independensi penindakan yang ada di KPK.

  1. Carut Marut Penegakan Hukum

Komitmen negara dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, pada sepanjang tahun 2020 layak dipertanyakan. Tiga institusi penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengalami kemunduran dalam upaya penindakan perkara korupsi. Tak hanya itu, tahun 2020 juga diwarnai dengan turunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Sayangnya, masalah penegakan hukum tampaknya tidak menjadi agenda prioritas Presiden Jokowi sehingga tidak ada kebijakan serius untuk memperbaiki sektor hukum.

Peristiwa yang selama kurun waktu tiga tahun terakhir diperbincangkan oleh publik, yakni penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan, pada faktanya berakhir anti klimaks. Alih-alih dapat mengungkap motif dan meringkus aktor intelektualnya, Kepolisian malah menciptakan kegaduhan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Mulai dari dugaan menghilangkan barang bukti, intervensi saksi, sampai pada menyediakan pendampingan hukum kepada dua terdakwa. Dalam konteks ini, menjadi wajar jika publik mempertanyakan keseriusan Kepolisian saat mengusut peristiwa tersebut.

Hal lain yang turut menjadi sorotan bagi Kepolisian adalah tatkala dua perwira tinggi Polri, Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte, terlibat pelarian buronan perkara korupsi, Joko S Tjandra. Saat itu, Prasetijo bersama dengan Napoleon, menerbitkan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan palsu. Tak cukup disitu, bahkan, oknum Polri tersebut juga menghapus data Joko S Tjandra dari daftar red notice Interpol. Rangkaian perbuatan tersebut ditujukan agar Joko S Tjandra mudah memasuki wilayah Indonesia untuk mengurus berbagai keperluan pendaftaran peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sedangkan Kejaksaan Agung juga memiliki problematika yang serupa. Satu sisi mesti diakui bahwa Kejaksaan telah berhasil mengungkap perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16,8 triliun. Hal ini dibuktikan dengan vonis seumur hidup yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap enam terdawa dalam perkara tersebut.  Namun, pada sisi lain, Kejaksaan dinilai gagal dalam mengusut perkara yang melibatkan oknum Jaksa di internalnya, yakni Pinangki Sirna Malasari. Selama proses penyidikan maupun penuntutan perkara penerimaan suap dari buronan Joko S Tjandra itu, terlihat ada upaya dari Kejaksaan untuk menutup-nutupi keterlibatan aktor lain yang lebih tinggi.

Begitu pula pada KPK, sepanjang tahun 2020, lembaga anti rasuah itu lebih banyak mengumbar kontroversi ketimbang menunjukkan prestasi. Mulai dari menurunnya jumlah tangkap tangan, kegagalan meringkus buronan, problematika kepemimpinan Komisioner, termasuk pelanggaran etika, sampai pada minimnya mengusut perkara-perkara besar. Hal itu tak bisa dilepaskan dari arah politik hukum Indonesia, yang lebih memilih melucuti kewenangan KPK melalui perubahan regulasi, daripada menguatkan lembaga anti rasuah tersebut. Tidak bisa dipungkiri, variabel keberhasilan penegakan hukum juga berada pada seberapa jauh dukungan dari cabang-cabang kekuasaan, salah satunya Presiden sebagai pimpinan eksekutif. Akan tetapi, peran Presiden praktis tidak terlihat dalam isu reformasi penegakan hukum. Alih-alih mendukung, Presiden malah menjadi salah satu aktor utama yang melemahkan pemberantasan korupsi. Hal ini diakibatkan dari kebijakan yang dihasilkan oleh Presiden kerap kali berorientasi pada sektor ekonomi, khususnya investasi. Padahal, kepastian hukum berdasarkan penegakan hukum yang profesional dan independen menjadi salah satu masalah klasik dalam kemudahan investasi di Indonesia.   

Penting untuk ditegaskan, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan dan Pasal 8 ayat (1) UU Kepolisian menyebutkan bahwa Presiden merupakan atasan langsung dari Jaksa Agung dan Kapolri. Maka dari itu, Presiden mempunyai hak untuk mengevaluasi jajaran penegak hukum tatkala ada permasalahan serius yang sedang terjadi, utamanya dalam kaitan pemberantasan korupsi. Namun, sepanjang tahun 2020, kewenangan Presiden itu praktis tidak dimanfaatkan dengan baik. 

  1. Kebijakan Kontroversial dan Catatan Lain

Tahun 2020 turut diwarnai sejumlah kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Kebijakan tersebut direkam dalam catatan berikut.

  • Kucuran Dana yang Besar dan Ketertutupan Informasi Program Prakerja

20 Maret 2020, pemerintah meluncurkan program kartu prakerja. Program ini berbentuk pemberian pelatihan daring berbayar yang biayanya dibayarkan negara kepada platform digital mitra prakerja. Program ini dinilai tak efektif dan efisien mengingat banyak materi pelatihan telah tersedia gratis di platform digital lain, seperti Youtube. Program boros ini juga terkesan dipaksakan dilakukan di tengah pandemi Covid-19 dengan anggaran mencapai Rp 20 triliun dengan judul “solusi alternatif bagi masyarakat terdampak Covid-19”.

Sebagai pihak yang mendapat keuntungan finansial besar, pemilihan mitra platform digital menjadi tahapan yang sangat krusial dalam program ini. Namun, pemilihan tersebut dilakukan secara tertutup, tanpa lelang, dan bernuansa konflik kepentingan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan delapan platform digital yang ditunjuk pada Maret 2020 bahkan telah mengadakan pertemuan tertutup beberapa bulan sebelum ketentuan pemilihan mitra dibuat, yaitu pada penghujung tahun 2019. ICW juga menemukan tidak ada standar harga yang jelas untuk konten pelatihan dan terdapat lembaga pemberi pelatihan yang tidak mempunyai pengalaman dalam memberikan pelatihan, baik online maupun offline.

Atas banyaknya polemik dalam program prakerja, ICW pada 13 Mei 2020 memohon informasi terkait program prakerja kepada Kemenko Perekonomian. Dokumen tersebut diantaranya berupa perjanjian kerja sama antara manajeman pelaksana prakerja dengan delapan platform digital dan mekanisme pendaftaran serta pelaksanaan kurasi lembaga pelatihan yang mendaftar sebagai mitra. Proses permohonan informasi kemudian berlanjut ke sengketa di Komisi Informasi Pusat (KIP). Setelah menjalani tujuh kali persidangan, KIP pada 23 November 2020 memutuskan bahwa dua dokumen yang ICW mohon merupakan informasi terbuka dan memerintahkan Kemenko Perekonomian untuk memberikannya kepada ICW.

  • Konflik Kepentingan Staf Khusus Presiden RI

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal tahun 2020, pemerintah menunjukkan watak aslinya dalam mengelola pemerintahan, yakni menormalisasi perilaku koruptif. Hal tersebut tercermin ketika Staf Khusus Presiden yakni Andi Taufan dan Adamas Belva, diduga terlibat konflik kepentingan dalam penanganan Covid-19. Padahal setiap pejabat publik seharusnya memegang teguh etika publik.

Andi Taufan Garuda Putra diketahui sebagai pendiri dan CEO dari perusahaan teknologi bernama PT Amartha Mikro Fintek. Saat pandemi, Ia menandatangani sebuah surat yang ditujukkan ke Camat di seluruh wilayah Indonesia. Surat tersebut mengenai program kerja sama antara pemerintah dengan PT Amartha Mikro Fintek berkaitan dengan Relawan Desa Lawan Covid-19. Kasus lainnya yakni keterlibatan perusahaan milik Adamas Belva dalam program Kartu Prakerja. Adamas Belva diketahui sebagai pendiri platform pendidikan daring dengan nama Ruangguru. Perusahaan miliknya terpilih sebagai salah satu mitra Platform Digital untuk program Prakerja.

Tindakan yang dilakukan oleh Andi Taufan dan Adamas Belva diduga tidak sesuai dengan prinsip penanganan konflik kepentingan dan berpotensi melanggar aturan. Namun Presiden Joko Widodo selaku Atasan Pejabat tidak melakukan tindakan apapun hingga pada akhirnya Andi Taufan dan Adamas Belva mundur dari jabatannya.

Kenaikan Iuran & Akuntabilitas Pengelolaan JKN oleh BPJS Kesehatan

Transparansi pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan merupakan permasalahan yang disoroti sejak jauh-jauh hari. Pada Maret 2020, Komisi Informasi telah memutuskan bahwa hasil audit terhadap program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan adalah dokumen terbuka. Namun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menolak putusan tersebut dan menyampaikan keberatan ke PTUN. PTUN lalu mengabulkan keberatan tersebut sehingga dokumen audit kembali menjadi informasi tertutup. Saat ini keberatan tengah diproses ke MA.

Implikasi dari pengelolaan program JKN yang tidak transparan adalah celah penyelewengan menjadi terbuka lebar. Publik tidak dapat mengawasi permasalahan yang sesungguhnya tengah terjadi dalam pengelolaan program tersebut. Pengelolaan yang tidak transparan juga membuat kita tidak dapat mengetahui apakah langkah kenaikan iuran JKN merupakan langkah tepat untuk membenahi masalah. Sebagaimana diketahui, di tengah kesulitan warga dalam berhadapan dengan pandemi, pemerintah menaikkan iuran JKN. Padahal MA telah memutuskan bahwa permasalahan pengelolaan BPJS Kesehatan tidak layak dibebankan kepada warga. Putusan MA yang menyatakan demikian memang telah dibatalkan akan tetapi alasan tersebut semestinya masih relevan.

  • Maraknya Rangkap Jabatan dalam BUMN

Sepanjang tahun 2016-2019 Ombudsman RI menemukan 564 komisaris BUMN yang diduga rangkap jabatan dan rangkap penghasilan, yang terdiri dari 397 di BUMN dan 167 lainnya di anak perusahaan BUMN. Ini menunjukkan bahwa pesan Presiden Joko Widodo pada Hari Ulang Tahun Korps Pegawai Republik Indonesia 29 November 2020 lalu mengenai percepatan reformasi birokrasi sebatas gimik politik.

Dalam Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dijelaskan bahwa Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Pelaksana yang dimaksud dapat merujuk pada Pasal 1 ayat (5) yaitu pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

Fenomena rangkap jabatan seringkali membuka peluang terjadinya konflik kepentingan dan berpotensi melakukan korupsi. Sayangnya di dalam program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi tidak terakomodir isu mengenai rangkap jabatan, khususnya di BUMN, anak perusahaan BUMN, dan BUMD. Sementara itu, praktik memberikan jabatan kepada relawan dan sejumlah politisi pun merupakan hal yang seringkali dilakukan. Setidaknya per 4 November 2020 terdapat 17 orang yang diberikan jabatan komisaris. Penunjukan seseorang menjadi komisaris sebuah perusahaan negara pun dinilai tidak transparan dan akuntabel karena tidak adanya indikator yang jelas.

  • Masalah Pengadaan Barang dan Jasa dan Penyaluran Bansos Covid-19

Transparansi informasi penanganan covid-19 merupakan hal yang krusial.  Akan tetapi hal ini tidak tercermin dalam pengadaan barang dan jasa untuk penanganan Covid-19 baik dari sisi anggaran, penanganan kesehatan, maupun penyaluran bansos. Dari sisi anggaran, informasi yang disajikan pemerintah dalam portal website Kementerian Keuangan RI tak bersifat merinci. Dalam pemantauan ICW mengenai PBJ untuk penanganan kesehatan Covid-19, informasi perencanaan yang dimasukkan dalam situs website Kementerian Kesehatan tidak lengkap. Nama-nama paket pengadaan terlalu umum dan spesifikasi paket tidak jelas, sehingga sulit menunjukkan bentuk pengadaan yang dimaksud. Metode pengadaan yang dipilih pun tidak sesuai dengan persyaratan.

Dalam distribusi barang pengadaan baik untuk penanganan kesehatan maupun dalam rangka mengurangi dampak ekonomi, data menjadi masalah utama. Data kebutuhan sesuai keadaan di lapangan dan data penerima distribusi barang menjadi laporan berulang yang diterima ICW, bahkan hingga berakibat kematian. Dalam distribusi jenis dan jumlah alat material kesehatan seperti APD, masker, hazmat set, mesin PCR, ditemukan gap yang sangat timpang antara kebutuhan dan realisasi. Akibatnya pada awal-awal pandemi, ada 61 tenaga kesehatan yang gugur karena kekurangan alat material kesehatan. Untuk distribusi bansos, ditemukan masalah ketidaktepatan sasaran penerima bansos, terjadi pemotongan/pengurangan/pungli, dan bansos tidak sesuai kebutuhan sehingga ada bansos yang diberikan kepada orang lain bahkan hingga dijual. Ketidakvalidan dan mutahirnya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai basis pemberian bansos menjadi kondisi yang harus segera dibenahi. Dari hasil pemantauan ICW, ada 239 aduan warga terhadap distribusi bansos di 13 daerah di Indonesia.

  • Pemaksaan Pilkada, Politik Dinasti dan Cukong Politik

Ketika pandemi belum sepenuhnya dapat ditangani dan jumlah kasus tak mengalami penurunan, pemerintah dan DPR bersikukuh untuk menggelar pilkada. Keputusan ini patut disayangkan karena gelaran pilkada di tengah pandemi akan mempercepat laju penyebaran virus. Selain itu kecurangan dan politik uang akan marak terjadi. Banyak warga yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga akan mudah menerima uang atau materi lain dalam proses kampanye. Politisasi bansos juga marak terjadi terutama dilakukan oleh petahana.

Pilkada 2020 ikut diwarnai dengan maraknya politik dinasti. Anak kandung dan menantu dari Presiden RI Joko Widodo bertarung dalam kontestasi pilwalkot Solo dan Medan. Mereka adalah Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution. Anak dari Wakil Presiden RI Ma’aruf Amin, Siti Nur Azizah dan Keponakan dari Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati bertarung dalam pilkada Kota Tangerang Selatan. Di daerah tersebut terdapat juga Pilar Saga Ichsan, keponakan mantan Gubernur Banten Ratu Atut yang terjerat kasus korupsi. Selain nama-nama di atas, turut terdapat calon-calon kepala daerah lain yang teridentifikasi menjalankan politik kekerabatan.

Helatan Pilkada 2020 juga masih berada dalam bayang-bayang pengaruh cukong. Kontestasi elektoral yang berbiaya tinggi membuat para kandidat dan parpol membuka lebar sumbangsih dari para cukong dengan kekayaan melimpah. Ini kemudian berimplikasi terhadap ketidakseriusan kandidat untuk melaporkan dana kampanye secara jujur. Hasil pemantauan ICW menemukan sebagian besar laporan dana kampanye dalam pilkada 2020 berjumlah terlalu rendah untuk kebutuhan elektoral atau bahkan dilaporkan dengan angka nol. Para kandidat hanya menganggap laporan dana kampanye sebagai formalitas semata.

  • Keterbatasan Akses Informasi Implementasi Program Pemulihan Ekonomi

Program ratusan triliun ini diharapkan menjadi senjata untuk memulihkan ekonomi nasional. Melalui PP 23/2020, Pemerintah berencana memulihkan ekonomi nasional dengan beberapa skema program. Pertama, melakukan PMN (Penyertaan Modal Negara) kepada atau melalui BUMN yang ditunjuk. Kedua, Penempatan Dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan. Ketiga, Investasi Pemerintah yaitu penempatan sejumlah dana dan /atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan atau manfaat lainnya. Keempat, pemerintah memberikan penjaminan, yaitu kegiatan pemberian jaminan oleh penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan. Dan kelima, melalui belanja negara yang antara lain untuk subsidi UMKM.

Data per 14 Desember 2020, dari pagu anggaran sebesar 695,2 triliun, program PEN telah terealisasi Rp 481,61 triliun atau setara dengan 69,3%. Perincian, realisasi untuk perlindungan sosial sebesar 128,78 triliun, UMKM 73,77 triliun, sektoral kementerian/lembaga dan Pemda 59,18 triliun.[1] Merujuk pada rencana program, salah satu yang cukup besar adalah dana program perlindungan sosial dengan total 203,9 triliun.[2] Selain itu, pemerintah juga memasukan beberapa BUMN yang menerima dukungan pemerintah. Yaitu, PLN, Hutama Karya, Bulog, Garuda Indonesia, PT. KAI, PTPN, Bahana (Perusahaan Induk Jamkrindo-Askrindo), PT PNM, Krakatau Steel, Perumnas, Pertamina, dan ITDC. Total dukungan pemerintah kepada BUMN sebesar Rp104,38 triliun untuk dana Above The Line (ATL) dan Rp44,92 triliun untuk dana Below The Line (BTL).[3] Hanya saja, sampai dengan saat ini belum ada informasi untuk melihat bagaimana implementasinya.

Berdasarkan perkembangan pelaksanaan program tersebut, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan. Pertama, terkait dengan penyediaan akses data dan sumber informasi. Tanpa adanya ruang tersebut, masyarakat akan kesulitan berpatisipasi realisasi Program PEN. Kedua, efektifitas fungsi pengawasan yang tidak maksimal selama masa pandemi covid 19. Ketiga, potensi penerima manfaat yang tidak tepat sasaran. Potensi ini tidak hanya terbatas pada isu bansos, tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada UMKN atau BUMN. Dan kelima, potensi korupsi atau kebocoran. Tertangkapnya Menteri Sosial dalam kasus bansos membuktikan bahwa program PEN juga memiliki kerawanan korupsi yang tinggi, terutama ketika tidak ada transparansi pada aspek kebijakan, pengelolaan dan belanja dana PEN.

  • Pemborosan Anggaran Aktivitas Digital Pemerintah

Sejak kementerian dan lembaga negara menggunakan media sosial menjadi kanal penyebaran informasi resmi, tren belanja barang dan jasa pemerintah di sektor aktivitas digital juga meningkat. Namun, hal tersebut seringkali tidak dibarengi dengan mekanisme pengecekan fakta yang menyeluruh, dan tak jarang pula akun resmi kementerian dan lembaga negara, justru turut andil dalam menyebarkan misinformasi.

Pada bulan Agustus 2020, ICW melakukan penelusuran kegiatan belanja aktivitas digital pemerintah, dan mendapati peningkatan tren belanja pada sektor tersebut. Sejak Januari 2014 hingga Agustus 2020, tercatat sekitar Rp1,29 triliun total belanja pemerintah untuk aktivitias digital, dengan jumlah pembelanjaan untuk menyewa jasa influencer sebesar Rp90,45 miliar. Masih berdasarkan tabulasi data belanja hingga Agustus 2020, Kepolisian Republik Indonesia menjadi lembaga negara dengan jumlah belanja untuk aktivitas digital terbanyak yaitu sebesar Rp937 miliar.

Temuan ini mengundang penelusuran lebih jauh, dan pada Oktober 2020, ICW menemukan bahwa ada peningkatan belanja terkait aktivitas digital Polri sejak pengumpulan data pada Agustus 2020 yaitu sebesar, Rp88,4 miliar. Peningkatan tersebut, diduga untuk pembentukan kontra-opini terkait RUU Cipta Kerja yang mendapat penolakan besar-besaran dari berbagai lapisan masyarakat.

Masih berdasarkan temuan di bulan Oktober 2020, pemegang saham PT. Alpha Cipta Raya perusahaan pemenang tender untuk pengadaan paket social media intelligence untuk persepsi publik seharga Rp98,8 miliar di Baintelkam Polri tahun 2020, tercatat pada database International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), terkait pihak-pihak yang diduga tersangkut dalam kasus Panama atau Paradise Papers. Kedua orang pemegang saham PT. Alpha Cipta Raya yang namanya tercatat pada database ICIJ adalah, Tan Loo Mei dan Tommy Jacobus Silfanus.

Pada intinya, poin penting dari keseluruhan temuan terkait dengan besarnya nilai belanja pemerintah untuk aktivitias digital adalah, tidak optimalnya penyelenggaraan fungsi kehumasan yang ada pada kementerian dan lembaga negara. Selain itu, kecenderungan kementerian dan lembaga negara menggunakan jasa influencer untuk mempengaruhi persepsi publik terkait rancangan regulasi atau kebijakan tertentu, justru berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun, dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik.

  • Lambatnya Pencapaian Program Stranas PK

Berdasarkan laporan STRANAS PK di triwulan ke VII tahun 2020, program-program tersebut mengalami perkembangan yang cukup baik. Mengingat sasaran dan jangkauan dalam program ini cukup banyak dan sangat luas. Salah satu program yang mendapat pemantauan dari ICW adalah implementasi SPPT-TI (sistem penanganan perkara tindak pidana berbasis teknologi informasi).

SPPT-TI merupakan sub aksi PK dalam pengintegrasian data terkait sistem peradilan pidana antara 4 lembaga. Yaitu, kepolisian, Kejaksaan, mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan HAM. Harapannya informasi proses penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan berikut eksekusinya bisa terintegrasi dan dipertukarkan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas. 

Terkait dengan implementasi SPPT-TI, ICW memiliki beberapa catatan. Pertama, upaya pertukaran data masih mengalami sejumlah kendala. Diantaranya, terkait dengan kesiapan sumber daya manusia (kuantitas dan kapasitas) termasuk ketersediaan sarana dan prasarana. Kedua, terkait dengan kepatuhan penegak hukum dalam menginput data di masing-masing platform karena ada perubahan budaya kerja organisasi dari manual ke digital. Ketiga, aplikasi yang belum memadai, karena harus menggabungkan 4 platform masing-masing K/L sudah ada terlebih dahulu. Keempat, butuh penyesuaian peraturan dalam sistem peradilan pidana, karena akses informasi terhadap dokumen-dokumen tersebut merupakan informasi yang dikecualikan menurut UU Keterbukaan Informasi Publik. Sejumlah catatan tersebut menyebabkan masyarakat belum bisa secara langsung menikmati manfaat dari program tersebut.

  • Problematika Klasik Seleksi Pejabat Publik

ICW turut memantau proses seleksi pejabat publik untuk beberapa instansi seperti Ombudsman RI, Komisi Yudisial, dan hakim adhoc Pengadilan Tipikor. Proses seleksi Ombudsman RI dipantau bersama Koalisi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) dan menemukan sejumlah catatan. Pertama, panitia seleksi (pansel) kurang terbuka mengenai informasi latar belakang calon. Pansel hanya menginformasikan nama calon, asal provinsi, dan pekerjaan terakhir. Bahkan, informasi lebih detail mengenai pekerjaan terakhir baru pansel buka setelah berkali-kali diminta. Hal ini patut disayangkan mengingat tidak semua calon merupakan nama yang dikenal publik, sehingga informasi lain seperti riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, dan foto calon penting untuk juga dibuka kepada publik. Dengan begitu, publik akan lebih dapat menilai calon figur Ombudsman atau bahkan memberikan informasi terkait rekam jejak calon kepada pansel.

Kedua, pansel hanya meloloskan 22 nama dari proses seleksi profile assessment ke tahap wawancara. Bahkan, hanya ada satu perempuan dari 22 daftar nama tersebut. Hal ini disebut pansel karena nilai profil assessment 49 calon lainnya kurang baik sehingga pansel tidak dapat meloloskan 36 nama sebagaimana dijanjikan. Hal ini kemudian membuat pilihan pansel sangat terbatas pada seleksi tahap berikutnya. Pansel hanya akan menggugurkan 4 nama dari proses wawancara untuk selanjutnya 18 nama lainnya diserahkan kepada Presiden Jokowi. Dari proses wawancara, setidaknya terdapat 5 calon yang bermasalah, mulai dari perihal integritas, kapabilitas, perspektif terkait layanan inklusif, dan independensi. Terdapat 2 nama bermasalah yang masih diloloskan.

Pada tahun 2020, proses seleksi hakim adhoc tindak pidana korupsi terjadi sebanyak 2 kali. Pertama, seleksi Hakim Ad Hoc Tipikor Tahap XIII (tahap 13) yang hasilnya diumumkan pada 28 oktober 2020. Dan kedua, Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tahap XIV Tahun 2020 yang diumumkan pada 26 November 2020. Proses yang seleksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pada tahap 13 maupun 14 cukup partisipatif, dari mulai proses seleksi administrasi, sampai dengan proses profile assessment dan wawancara. Pansel (panitia seleksi) memberikan informasi perihal nama dan informasi peserta seleksi kepada kelompok masyarakat sipil seperti ICW dan MaPpi FH UI. Kemudian, tim Pansel secara aktif meminta masukan kepada masyarakat perihal rekam jejak calon hakim ad hoc.

Terhadap proses seleksi tersebut, ada beberapa catatan yang harus diperbaiki. Pertama terkait dengan proses seleksi ditahap administrasi. Berdasarkan hasil penelusuran rekam jejak terhadap dokumen yang diterima dari Pansel, masih ditemukan calon-calon yang secara administrasi menurut undang-undang tidak memenuhi persyaratan. Misalnya, masih ditemukan calon-calon yang pengalaman dibidang hukumnya dibawah 15 (lima belas tahun), padahal undang-undang pengadilan tipikor memberikan batasan minimal 15 tahun. Akibatnya beberapa calon yang tidak memenuhi persyaratan tersebut melangkah ke tahap selanjutnya. Kedua, Panitia seleksi harus menyiapkan tim penelusuran rekam jejak sendiri yang sumber pembiayaan dari negara, harapannya agar Pansel tidak sepenuhnya menyerahkan tanggung jawabnya kepada publik. Dan ketiga, membangun kerjasama kelembagaan secara resmi dengan lembaga negara lainnya, misalnya seperti Komisi Yudisial dan KPK.    

  1. Kesimpulan

Pemberantasan korupsi mengalami kemunduran yang luar biasa pada sepanjang tahun 2020. Praktis seluruh elemen kekuasaan negara, mulai dari eksekutif, legislatif, dan penegak hukum tidak mampu memperlihatkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi. Arah kebijakan politik hukum pun kian kabur, alih-alih berorientasi pada kepentingan masyarakat, yang dilakukan malah memperkuat kepentingan sekelompok oligarki.

Lepas dari itu, kondisi Indonesia juga kian mengkhawatirkan akibat merebaknya wabah Covid-19. Tak bisa dipungkiri, seluruh sektor kehidupan masyarakat terdampak, khususnya ekonomi dan kesehatan. Namun, menanggapi persoalan ini, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, dalam konteks ekonomi, pemerintah justru menggelontorkan dana besar pada program pra kerja, menyewa influencer, dan memaksa menaikkan iuran BPJS. Untuk isu kesehatan pun begitu, kebijakan yang diambil justru sangat mengancam nyawa masyarakat, yakni dengan tetap menggelar kontestasi elektoral Pemilihan Kepala Daerah serentak. Hal ini semakin memperlihatkan perumusan kebijakan yang tak berorientasi dengan sense of crisis sebagaimana yang kerap disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.

Upaya pemulihan ekonomi melalui program penyehatan ekonomi nasional juga menuai persoalan. Terutama dalam hal pengawasan masyarakat, sebab sampai saat ini praktis tidak ada informasi terkait implementasi program tersebut.  Program anti korupsi yang juga digadang-gadang oleh Presiden yakni Strategi Nasional Pencegahan Korupsi pada faktanya belum sepenuhnya berhasil. Misalnya dalam lingkup sistem penanganan perkara tindak pidana berbasis teknologi informasi yang masih butuh perbaikan bebereapa hal mendasar.

Begitu pula pada lingkup regulasi, produk yang dihasilkan DPR kerap kali bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat dan seakan menihilkan aspek pemberantasan korupsi. Poin ini dapat merujuk pada pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Praktis dua regulasi itu hanya mementingkan aspek ekonomi, khususnya investasi. Bahkan, diduga kuat telah dirancang sejak awal untuk menguntungkan segelintir elit dan kelompok oligarki. Belum lagi dalam konteks implementasi revisi UU KPK, yang telah terbukti secara terang benderang mengendurkan kinerja dari lembaga anti rasuah itu.

Pada UU MK pun terjadi hal serupa. Di tengah situasi carut marut pembentukan legislasi, pemerintah dan DPR diduga mengondisikan Mahkamah dengan memberikan serangkaian keuntungan bagi sembilan hakim konstitusi melalui pengundangan UU MK. Hal ini menciptakan implikasi serius, sebab, berbagai legislasi yang bermasalah pada dasarnya akan bermuara pada MK. Tentu dengan kondisi seperti ini masyarakat akan sulit untuk percaya terhadap objektivitas proses dan putusan pengujian sebuah UU.

Penegak hukum juga memiliki problematika tersendiri. Baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK gagal memperlihatkan prestasi ke masyarakat, terutama dalam kaitan penuntasan perkara yang berkelindan dengan korupsi. Mulai dari penuntasan perkara penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan, keterlibatan penegak hukum dalam perkara Joko S Tjandra, sampai pada rangkaian kontroversi KPK. Dalam hal ini, Presiden juga abai dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap penegakan hukum.

Peran Presiden dalam menegakkan nilai integritas pun layak dipertanyakan. Setidaknya ada dua kejadian yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebut saja praktik dinasti politik yang terjadi pada Pilkada lalu, tatkala anak serta menantu Presiden justru mengikuti proses politik elektoral di Solo dan Medan. Tak hanya itu, pada pertengahan tahun ini, staff khusus millennial yang kerap dibanggakan oleh Presiden juga ternyata tersandung persoalan konflik kepentingan. Presiden juga seakan mendiamkan begitu saja praktik rangkap jabatan yang semakin marak terjadi di beberapa instansi negara.

Sepanjang tahun ini, ICW juga mencatat ada beberapa seleksi jabatan publik lembaga negara, diantaranya Ombudsman dan Komisi Yudisial. Selain itu, untuk lingkup kekuasaan kehakiman, tahun ini juga diselenggarakan seleksi Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Rata-rata temuan dalam seleksi itu masih sama dengan waktu sebelumnya, yakni keterbatasan akses informasi, tidak mempertimbangkan integritas, dan kompetensi para kandidat.

Maka dari itu, dari sejumlah catatan di atas, semakin terlihat bahwa negara belum sepenuhnya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Apalagi terkait pemberantasan korupsi, peran pemerintah dan DPR praktis tidak terlihat. Sehingga, tahun 2020 layak disebut sebagai era kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Jakarta, 30 Desember 2020
 

 

Indonesia Corruption Watch

[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201216162401-532-583014/realisasi-pen-baru-693-persen-per-14-desember-2020

[2] https://www.kemenkeu.go.id/media/15366/photostory_pen_demandside.pdf

[3] https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/bumn-juga-masuk-program-pemulihan-ekonomi-nasional/

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan