In Depth Analysis: POLEMIK KUOTA GULA IMPOR

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT), kali ini yang terkena adalah Ketua DPD RI, Irman Gusman. Dari operasi tangkap tangan itu, KPK mengamankan uang Rp 100 juta yang diduga sebagai suap untuk pengaturan kuota gula impor di Provinsi Sumatera Barat.

Dalam kasus ini Irman Gusman diduga melakukan perbuatan memperdagangkan pengaruh atau trading in influence. Posisinya sebagai Ketua DPD RI diyakini bisa memberikan pengaruh yang besar dalam penentuan kuota gula impor yang diberikan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) kepada CV Semesta Berjaya.

Konsep memperdagangkan pengaruh sendiri telah diatur dalam Pasal 18 a dan b United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Disebutkan dalam pasal ini, bahwa memperdagangkan pengaruh adalah sebuah janji, permintaan, penawaran, atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau orang lain, sehingga orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya untuk menghasut.

Meskipun sudah diatur dalam UNCAC, sayangnya Pemerintah tak kunjung mengadopsi konsep pidana memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif Indonesia. Akibatnya, banyak praktek semacam itu tak bisa dijerat dengan pasal kejahatan trading in influence. Dalam kasus yang menimpa Irman, jika ketentuan trading in influence bisa dimasukkan dalam UU Tipikor, pihak-pihak lain yang kerap menjual pengaruh bisa turut dijerat oleh penegak hukum.

Bagi dunia, khususnya negara-negara di Eropa, tindak pidana trading in influence sudah bukan hal baru, karena mereka telah terlebih dahulu membuat konvensi anti korupsi yang disebut dengan The Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption yang telah disahkan pada tahun 1999. Dalam konvensi ini juga memuat tentang ketentuan mengenai trading in influence yang tercantum dalam Pasal 12.

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang lebih serius untuk mengkriminalisasi praktek memperdagangkan pengaruh karena kita sudah menetapkan diri menjadi peserta UNCAC sejak tahun 2003, dan meratifikasi aturan itu kedalam UU No 7 Tahun 2006. Tiadanya kemauan untuk mengadopsi prinsip-prinsip penting dalam konvensi mengakibatkan agenda pemberantasan korupsi tidak berjalan efektif.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan