Catatan ICW: MK di Era Arief Mulai Tidak Pro Pemberantasan Korupsi

Catatan kinerja Mahkamah Konstitusi terkait isu pemberantasan korupsi (2015-kini)

MAHKAMAH KONSTITUSI MULAI TIDAK PRO PEMBERANTASAN KORUPSI

Mahkamah Konstitusi (MK) sejak dipimpin oleh Arief Hidayat pada 14 Januari 2015 lalu hingga kini semakin tidak menunjukkan dukungannya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sejumlah permohonan yang diajukan oleh mantan atau kerabat koruptor maupun pihak yang sedang diselidiki dalam perkara korupsi akhirnya dikabulkan oleh MK. Lembaga ini menjadikan upaya pemberantasan korupsi dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Di era Arief Hidayat sebagai Ketua, dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) setidaknya terdapat 5 putusan MK yang mengakomodir terduga, tersangka, dan mantan terpidana kasus korupsi serta memberikan dampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.

Pertama, perluasan objek praperadilan. Pada 28 April 2015, MKmengabulkan permohonan terkait uji materi pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan. Permohonan diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia  yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung. Melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan untuk memperluas objek permohonan praperadilantidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan namun menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan yaitu, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Muncul kekhawatiran perluasan objek praperadilan dimanfaatkan oleh “koruptor” untuk melepaskan diri dari proses hukum yang menjeratnya. Kinerja institusi penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) juga sangat mungkin terhambat karena harus menghadapi “banjirnya”permohonan praperadilan dari para tersangka. Pada sisi lain mulai muncul disparitas putusan praperadilan antara satu perkara dengan perkara yang lain sehingga berdampak pada tiadanya kepastian hukum. Perkara korupsi kelas kakap yang melibatkan petinggi di Kepolisian dan mantan Dirjen Pajak yang sebelumnya ditangani oleh KPK, akhirnya “dilepaskan” akibat adanya perluasan objek praperadilan.

Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada 9 Juli 2015 MK mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan (Putusan MK Nomor 42/PUU-XII/2015). Pasal tersebut menentukan bahwa calon kepala daerah adalah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Permohonan ini diajukan oleh 2 orang mantan terpidana korupsi yaitu Jumanto (mantan Ketua DPRD Probolinggo/ divonis 6 tahun penjara) dan Fathor Rasyid (mantan Ketua DPRD/divonis 4 tahun penjara)

Dalam putusannya MK menyatakan ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu. Dengan putusan ini maka mantan napi dapat mengikuti pilkada tanpa menunggu lima tahun pascabebas. Namun dengan syarat jika ingin maju sebagai calon kepala daerah, ia harus mengungkapkan status hukumnya sebagai mantan napi dan tidak dalam status hak politiknya dicabut. 

Putusan MK tersebut bertolak belakang dengan putusan sebelumnya yaitu Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam putusan terdahulu MK memperkuat adanya semacam pembatasan seseorang untuk menduduki jabatan melalui proses pemilihan dengan harus menunggu selama lima tahun semenjak berakhir menjalani hukuman.

Putusan MK ini berdampak pada munculnya sejumlah mantan napi korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada. Dalam catatan ICW terdapat 17 orang yang bermasalah karena tersandung dalam kasus korupsi termasuk 6 mantan napi korupsi yang mengikuti pilkada 2015 lalu. Dari 7 orang tersebut, sebanyak 3 orang mantan napi kasus korupsi akhirnya terpilih menjadi kepala daerah untuk lima tahun mendatang. Ketiga adalah Vonie  Anneke Panambunan (Minahasa Utara), Rusnadi (Natuna) dan H. Gusmal (Solok), Sedangkan mantan koruptor yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah namun tidak terpilih antara lain Soemarmo (Semarang), Hakim Fatsey (Buru selatan), Ustman Ikhsan (Sidoarjo), dan Abubakar Ahmad (Dompu).

Ketiga, larangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Pada akhir Desember 2015, MK mengabulkan permohonan dari Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali. Dalam putusannya, majelis hakim MK menyatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang digugat itu berbunyi, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”. Menurut majelis, dalam pasal tersebut jelas bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak termasuk jaksa.

Seperti diberitakan, Mahkamah Agung mengabulkan PK Kejaksaan Agung pada 11 Juni 2009 dengan memvonis Djoko dua tahun penjara dan denda Rp15 juta. Namun, hingga kini ia diduga melarikan diri ke Papua Nugini. Putusan MK ini sudah barang tentu menutup peluang bagi Jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap vonis bebas dalam perkara korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap namun dinilai kontroversial. Selain itu putusan MK dikhawatirkan digunakan oleh Djoko Tjandra, untuk “membebaskannya” dari proses hukum maupun upaya perburuan terhadap dirinya.

Keempat, mantan terpidana (korupsi) dapat mengikuti Pilkada di Aceh. Pada 23 Agustus 2016, MK mengambulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 67 ayat (2) huruf g berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitas”.MK menilai pasal 67 ayat (2) huruf g tersebut bertentangan dengan UUD 45 secara bersyarat dan juga tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Abdullah Puteh merupakan mantan Gubernur Aceh periode 2000 – 2005 yang pernah dijerat oleh KPK dalam perkara korupsi pengadaan 2 buah Helikopter MI-2. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, Abdullah divonis 10 tahun penjara. Abdullah Puteh telah menjalani separuh hukuman tersebut tahun 2004 sampai 2009. Permohonan ini berkaitan dengan rencana Abdullah mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dari jalur independen dalam Pilkada Aceh pada tahun 2017 mendatang.

Kelima, penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi. Pada 7 September 2016, MK mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran "pemufakatan jahat" yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejaksaan Agung . Pemohon mengajukan uji materi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.Kata "pemufakatan jahat" dalam pasal ini mengacu pada Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016, MK menyatakan khusus istilah "pemufakatan jahat" dalam Pasal 88 KUHP tidak dapat dipakai dalam perundang-undangan pidana lainnya.Sehingga 'pemufakatan jahat' dalam pasal 15 UU Tipikor tidak dapat mengacu pada Pasal 88 KUHP. Dalam permohonan lainnya, MK juga telah menerima sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh Setya Novanto terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.

Dikabulkannya permohonan uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto tentu saja akan digunakannya untuk menghentikan proses hukum penyelidikan perkara korupsi skandal “papa minta saham” yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Agung. Sebagaimana diberitakan, HM Prasetyo, pada 9 September 2016 lalu sudah menyatakan akan mematuhi putusan MK tersebut. 

Secara keseluruhan kelima putusan kontroversial tersebut tidak saja mengecewakan namun menimbulkan kesan yang negative buat MK. Lembaga ini mulai menjauh dari semangat pemberantasan korupsi dan dinilai tidak mendukung kinerja lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Dalam putusan menyangkut hak politik, lembaga konstusi ini dinilai justru memberikan ruang bagi mantan koruptor untuk eksis atau tampil dalam proses demokrasi – mengikuti proses pilkada. MK telah membuat proses demokrasi menjadi tercemar dengan memberikan peluang figure orang yang bermasalah ikut Pilkada dan menutup kemungkinan calon-calon yang berintegritas bertarung dalam kancah Pilkada.

MK melalui putusannya -khususnya berkaitan dengan praperadilan, peninjauan kembali, permufakatan jahat - telah menghambat upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Tentu saja hal ini akan menguntungkan koruptor maupun pihak yang sedang diselidiki oleh penegak hukum untuk meloloskan diri dari proses hukum. 

Kondisi MK saat ini tentu saja berbeda ketika MK dipimpin oleh Jimly Asidiqie, Mahfud MD maupun Hamdan Zoelva. Sebelum dipimpin oleh Arief Hidayat, MK dikenal sebagai penyelamat gerakan antikorupsi dan KPK. Dalam pantauan ICW sebelum tahun 2015, sedikitnya terdapat 16 uji materiil terkait dengan UU Tipikor dan UU KPK. Pada era mereka upaya para koruptor memanfaatkan MK untuk meloloskan diri dari proses hukum pada akhirnya ditolak. Sebelumnya ketika ada permohonan judicial review yang diajukan oleh koruptor, maka publik maupun semua pihak tidak perlu terlalu was-was karena dapat dipastikan akan ditolak permohonannya oleh MK. Upaya perlawanan balik koruptor (corruptor fight back) yang dilakukan melalui MK menjadi sia-sia. 

MK pada - era Arief Hidayat saat ini - tidak saja dipersoalkan tentang komitmen antikorupsinya namun juga tersandera karena persoalan integritas dari sang Ketua MK. Sebagaimana diketahui, Arief pada April 2015 pernah membuat memo katebelece kepada mantan Jampidsus Widyo Pramono untuk memberikan perlakukan khusus kepada kerabatnya di Kejaksaan. Meski awalnya menyangkal namun akhirnya setelah diperiksa oleh Majelis Etik MK, Arif akhirnya mengakuinya dan pada April 2016 lalu dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran kode etik meskipun sanksinya ringan. Karena skandal ini muncul pula desakan sebanyak 10.081 orang (per 24 Oktober 2016) agar Arief mundur sebagai Ketua MK  (https://www.change.org/p/prof-dr-arief-hidayat-s-h-m-s-melanggar-kode-etik-ketua-mk-harus-mundur )

Sebelum Arief dapat sanksi, kredibilitas MK sudah tercoreng dengan kasus suap yang menimpa Akil Mochtar, Ketua MK sebelumnya. Akil telah divonis penjara selama seumur hidup karea menerima suap dalam sejumlah sengketa Pilkada.

MK dibawah kepemimpinan Arief Hidayat juga belum mampu mengembalikan tingkat kepercayaan publik pada tingkatan yang maksimal. Survei yang dibuat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menjelang akhir 2015 lalu menyebutkan kepercayaan public terhadap MK hanya sebesar 59,1 %. Jauh dari kepercayaan public kepada KPK (74.9 %) maupun kepada Presiden (81,5 %). MK hanya lebih tinggi sedikit dari kepercayaan public terhadap DPD sebesar 53,4 % dan DPR sebesar 40 %.

Kami mengingatkan hakim MK untuk kembali ke jalan yang lurus (shiratal mustaqiem) menjaga konstitusi, demokrasi dan pemberantasan korupsi. Marwah MK juga harus tetap dijaga agar tetap menjadi “Mahkamah Konstitusi” bukan disalahgunakan untuk “Membela Koruptor” atau menjadi ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi. “Sinar Ketuhanan” di MK dharapkan juga jangan disalahgunakan untuk menyinari atau membela koruptor.

Seluruh hakim MK seharusnya sadar betul bahwa lembaga ini yang tidak saja merupakan lembaga penjaga konstitusi namun juga penjaga demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi. Jika MK secara institusi tidak bisa diharapkan menjadi penjaga demokrasi dan agenda pemberantasan korupsi, maka lebih baik jika Arief Hidayat selaku Ketua MK untuk mengundurkan diri. Kita butuh figur-figur hakim dan Ketua MK yang berintegritas dan mendukung pemberantasan korupsi.


Jakarta, 24 Oktober 2016


Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan