Peringatan kepada Hakim Konstitusi untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kode Etik

PERINGATAN TERBUKA KEPADA HAKIM KONSTITUSI


1.    Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. (Ketua MK)

2.    Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.  (Wakil Ketua MK)

3.    Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (Hakim MK)

4.    Manahan Sitompul, S.H., M. Hum. (Hakim MK)

5.    Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H. (Hakim MK)

6.    Dr. Wahiduddin Adams, SH. MA (Hakim MK)

7.    Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si.,DFM. (Hakim MK)

8.    I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (Hakim MK)

9.    Suhartoyo, S.H., M.H. (Hakim MK)

UNTUK TIDAK MELAKUKAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM KONSTITUSI

Disampaikan oleh

Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi



Jakarta, 1 Desember 2016

Kepada Yth.

1.    Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S

2.    Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. 

3.    Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

4.    Manahan Sitompul, S.H., M. Hum.

5.    Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H.

6.    Dr. Wahiduddin Adams, SH. MA

7.    Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si.,DFM.

8.    I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.)

9.    Suhartoyo, S.H., M.H.

Di Jakarta

Perihal : Peringatan Terbuka kepada Hakim Konstitusi untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi

Saat ini ada 2 (dua) permohonan pengujian terhadap UU Nomor 24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) berkaitan dengan ketentuan Masa Jabatan Hakim Konstitusi. Pertama, Permohonan Pengujian UU MK yang pada intinya untuk meminta agar Hakim Konstitusi diberikan masa kerja sampai dengan Usia 70 tahun (perkara 53/PUU-XIV/2016). Permohonan ini diajukan oleh  hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi. 

Kedua, Permohonan Pengujian UU MK yang pada intinya meminta agar Hakim Konstitusi menghapus ketentuan mengenai masa jabatan hakim Konstitusi. Permohonan ini terdaftar di Mahkamah Konstitusi (perkara 73/PUU-XIV/2016). Permohonan ini diajukan oleh Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia. Dalam permohonan tersebut CSSUI diwakili oleh Tjip Ismail, Dian Puji, Machfud Sidik, R.M Sigid Edi Sutomo, dan Darmin Hartono.  

Pemeriksaan terhadap kedua permohonan perkara tersebut telah diproses dan dilaksanakan – namun belum memasuki pada tahapan putusan - dengan dihadiri oleh sebagian atau seluruh Hakim Konstitusi.

Berkaitan dengan adanya dua permohonan tersebut, Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi menyampaikan pertimbangan sebagai berikut:

1.    Masa jabatan hakim konstitusi baik 70 tahun dan seumur hidup tidak termaktub dalam UUD 1945. Untuk konsep masa jabatan sengaja tidak dicantumkan di dalam konstitusi dan tidak dibicarakan para penyusun perubahan UUD 1945. Itu sebabnya jika memberikan masa jabatan seumur hidup akan bertentangan dengan nilai-nilai UUD 1945 dan gagasan para penyusun perubahan konstitusi.

2.    UU MK telah menentukan bahwa masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 Tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Artinya, masa jabatan hakim konstitusi dikehendaki para pembuat undang-undang dibatasi dengan beberapa faktor, yaitu diantaranya: usia produktif orang indonesia dan potensi kesehatan yang menganggu usia lanjut. Hal itu dapat dilihat dalam perbincangan mengenai kekuasaan kehakiman dan masa jabatan penyelenggara negara lainnya. Dengan demikian pilihan memperpanjang masa jabatan seumur hidup adalah pilihan yang memiliki hasrat kepentingan pribadi, bukan keinginan mematuhi ketentuan undang-undang

3.    Masa jabatan seumur hidup dapat menciptakan pertentangan dengan kepentingan personal (conflicts of interest) yang dapat merusak kewibawaan hakim. Hakim tidak dapat mengadili perkara yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Masa jabatan 70 tahun atau seumur hidup tentu saja akan memberikan keuntungan langsung bagi hakim karena tidak perlu lagi untuk mengikuti proses seleksi kembali untuk periode berikutnya yang proses seleksinya diserahkan kepada tiga lembaga (Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Keuntungan personal itu menyebabkan sedari awal Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan penetapan untuk menolak perkara ini karena bukanlah kewenangan hakim konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya sendiri tetapi harus merupakan kehendak dari UUD 1945 yang merupakan representasi dari pelaksanaan kedaulatan rakyat.

4.    MK memang memiliki kewenangan untuk menafsirkan undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi dalam melakukan penafsiran, Mahkamah tidak dapat melakukan penafsiran yang sewenang-wenang yang memberikan keuntungan kepada hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus dapat membedakan mana perkara yang berhubungan dengan dirinya secara personal dan dengan institusi Mahkamah Konstitusi. Dengan melakukan penafsiran dalam rangka meningkatkan kepentingan pribadi, Hakim Mahkamah telah melakukan penyalahgunaan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (abusive constitutionalism), sehingga kenegarawan para Hakim MK perlu dipertanyakan kembali. 

5.    Tidak adanya pembatasan mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi atau menjadikan masa jabatan Hakim Kostitusi selama seumur hidup akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang atau tindakan korupsi dari Hakim Konstitusi. Kejadian yang menimpa Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi pelajaran berharga dan tidak terulang kembali di lembaga ini.

6.    Untuk menghindari kecurigaan public atau memperburuk citra MK, maka keputusan mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi sebaiknya tidak diputus sendiri oleh Hakim Konstitusi, namun diserahkan kepada keputusan Pemerintah dan DPR RI melalui mekanisme Revisi UU MK.

7.    Permohonan dengan nomor perkara 53/PUU-XIV/2016 dan nomor perkara 73/PUU-XIV/2016 adalah jelas dan nyata berkaitan kepentingan langsung dengan Hakim Konstitusi karena terkait dengan masa jabatan Hakim Konstitusi.

8.    Memeriksa dan memutuskan suatu permohonan yang jelas dan nyata berkaitan kepentingan langsung dengan Hakim Konstitusi maka sangat sulit atau mustahil bagi Hakim Konstitusi untuk bertindak adil dan menempatkan diri sebagai seorang kenegarawanan.

9.    Apabila seluruh atau sebagian Hakim Konstitusi menerima atau mengabulkan permohonan perkara 53/PUU-XIV/2016 dan perkara 73/PUU-XIV/2016 dimana kedua permohonan tersebut pada intinya mengatur mengenai masa jabatan Hakim Konstitusi, maka  tindakan tersebut merupakan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagimana diatur dalam PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09/PMK/2006 khususnya pelanggaran terhadap PRINSIP KETAKBERPIHAKAN berkaitan dengan Penerapan antara lain:   

Butir ke-3  yang intinya

Hakim konstitusi harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim konstitusi tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara.

Butir ke-5 huruf b yang intinya sebagai berikut:

Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan


Bahwa PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09/PMK/2006 menegaskan bahwa Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.

Mengingat sejumlah pertimbangan ditas, maka “Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi” memberikan PERINGATAN TERBUKA yang pertama dan terakhir kepada seluruh Hakim Konstitusi untuk

  1. Menjaga kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagai mana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006.
  2. Menolak permohonan yang berkaitan dengan Masa Jabatan Hakim Konstitusi.

Apabila PERINGATAN ini diabaikan maka kami akan melaporkan seluruh atau sebagian Hakim Konstitusi kepada Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.


Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi


Bahrain

Direktur Advokasi

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 


Emerson Yuntho

Anggota Badan Pekerja

Indonesia Corruption Watch


Feri Amsari

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas

Tembusan Surat

  1. Dewan Etik MK RI
  2. Presiden RI
  3. Pimpinan DPR RI
  4. Ketua Mahkamah Agung RI  

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan