Korupsi di Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi (PT) tengah menjadi sorotan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik dugaan korupsi dalam pemilihan rektor di sejumlah perguruan tinggi. Tak lama berselang, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempublikasikan temuannya terkait pola-pola korupsi di perguruan tinggi.

Dalam pembukaan Anti-Corruption Summit di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta akhir Oktober lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan telah mengendus adanya keganjilan dalam pemilihan rektor.

“Mohon maaf Pak Nasir, bukan kami menakut-nakuti, kami sudah mendengar adanya pengangkatan rektor yang kurang transparan,” ujarnya seraya berkata kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, seperti dilansir Tempo.

Selang beberapa waktu kemudian, Agus mengatakan KPK berfokus mengawasi pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri. Ia enggan merinci data yang dikumpulkan. Namun, terangnya, perguruan tinggi dengan aset besar akan menjadi fokus utama pengawasan. “Perguruan tinggi yang mempunyai aset besar sudah masuk radar,” katanya seperti dikutip dari Tempo, 19 November 2016.

Peneliti ICW, Siti Juliantari menyayangkan ihwal adanya dugaan korupsi dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi dan individu di dalamnya semestinya menjadi pihak yang turut serta dalam pemberantasan korupsi. “Mereka diharapkan punya integritas, tapi justru jadi pelaku korupsi itu sendiri,” ujarnya awal pertengahan November lalu.

Terkait dugaan korupsi dalam pemilihan rektor, Tari, sapaan akrabnya, mengapresiasi langkah KPK untuk menelisik hal tersebut. Kendati demikian, kasus tersebut tidak semestinya mandeg di tengah jalan. “Harus ditindaklanjuti, jangan menaikkan isu lalu tidak ada kelanjutannya.”

**

Korupsi di perguruan tinggi sejatinya bukan cerita anyar. ICW melakukan pemantauan terhadap korupsi di perguruan tinggi dalam rentang waktu 10 tahun. Sejak tahun 2006 hingga Agustus 2016, tercatat sedikitnya 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi. “Tren korupsi di perguruan tinggi semakin meningkat, bukannya menurun,” jelas Tari.

Dari keseluruhan kasus korupsi tersebut, ICW mencatat terdapat sedikitnya 65 pelaku berasal dari lingkungan civitas akademika, pegawai pemerintah daerah, dan pihak swasta. Rinciannya yaitu 32 orang pegawai dan pejabat struktural di tingkatan fakultas atau universitas, 13 orang Rektor atau Wakil Rektor, 5 orang dosen, 2 orang pejabat pemerintah daerah, dan 10 orang pihak swasta.

Pantauan ICW kemudian menemukan 12 pola korupsi di perguruan tinggi. Tak tertutup kemungkinan terdapat pola lainnya di luar pola-pola yang telah ditemukan. “Bisa jadi lebih banyak karena di luar pantauan kami.”

Dari 12 pola yang ditemukan, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa menjadi modus yang paling banyak digunakan. Tercatat 14 dari 37 kasus yang ditemukan menggunakan modus pengadaan barang dan jasa.

Salah satu kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di perguruan tinggi terjadi di Universitas Airlangga (Unair). 30 Maret 2016 lalu, Rektor Unair, Fasichul Lisan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dua kasus pengadaan barang dan jasa.

Kasus pertama yaitu pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Unair yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2007 – 2012. Kasus kedua adalah peningkatan sarana dan prasarana Rumah Sakit Pendidikan Unair yang bersumber dari dana DIPA tahun 2009.

Fachrul sebagai Kuasa Pengguna Anggaran Unair, diduga melawan hukum  dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Dari kasus tersebut, kerugian negara mencapai Rp 85 Miliar.

Pola lain yaitu korupsi dana penelitian dan dana beasiswa mahasiswa. Korupsi dana penelitian umumnya diselewengkan untuk kegiatan yang sama sekali tidak terkait dengan dana penelitian seperti kepentingan pribadi dan perjalanan dinas.

Sedangkan korupsi dana beasiswa umumnya berupa pemotongan besaran beasiswa atau pengambilalihan seluruh atau sebagian dana beasiswa, membuat dana yang tersedia tidak tersalurkan kepada mahasiswa.

Praktik korupsi dengan menggunakan pola suap juga umum ditemukan. Misalnya, suap atau “jual beli” nilai. Dampak modus tersebut secara kerugian negara tidak ditemukan, “Tapi suap ini biasanya banyak dan sering,” ujar Tari. Bentuknya dapat berupa uang dan barang yang diberikan mahasiswa kepada dosennya agar mereka diluluskan.

Kasus tersebut pernah ditemukan pada Oktober 2014 lalu di perguruan tinggi swasta, Universitas Gunadarma. 300 mahasiswa kala itu terancam gagal mengikuti wisuda karena pihak universitas membatalkan wisuda ratusan mahasiswa yang terlibat “jual beli” nilai.

Ketika itu terdapat oknum pegawai universitas yang memberikan tawaran berupa kenaikan nilai dengan jumlah 250.000 rupiah untuk satu mata kuliah.

Suap dalam penerimaan mahasiswa baru dan suap terkait akreditasi juga pernah ditemukan. Selain itu, suap dalam pemilihan pejabat di internal perguruan tinggi, seperti yang tengah menjadi polemik saat ini masuk dalam temuan ICW.

Pola gratifikasi mahasiswa terhadap dosen juga umum terjadi. Namun, tidak semua gratifikasi berujung pada suap. Untuk modus ini, “Umumnya disebabkan ketidakpahaman terhadap gratifikasi.”

Pola-pola lain yang ditemukan ICW yatu Korupsi dana hibah atau CSR, korupsi anggaran internal perguruan tinggi, korupsi penjualan aset milik perguruan tinggi, dan korupsi dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa.

**

“Semuanya mengkhawatirkan,” keluh Tari setelah memaparkan pola-pola yang ditemukan. Baginya, korupsi yang terjadi mencoreng Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian seolah menjadi slogan semata.

Banyak hal yang menyebabkan korupsi di perguruan tinggi terjadi. Tari lantas menyoroti otonomi yang telah diberikan kepada perguruan tinggi. Otonomi dalam konteks akademik disebutnya relatif telah membaik, namun tidak demikian dalam hal non-akademik. Salah satu contohnya ialah pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan di kampus tidak dibarengi dengan akuntabilitas. “Ini yang jadi cikal bakal korupsi,” sebutnya.

Ia memberi contoh, sejauh penglihatannya belum ada kampus yang rutin menjalankan praktik keterbukaan informasi. Informasi penerimaan dana yang masuk, penggunaan uang, program yang dijalankan, masih sulit untuk ditemukan. Hal itu juga diperparah dengan kesulitan mahasiswa untuk mengakses informasi tersebut. “Kampus itu lembaga publik, tapi mengeluarkan informasi hanya sebatas yang mereka mau. Mereka sangat tertutup.”

ICW bersama UI bersih pernah melakukan permintaan informasi kepada pihak kampus Universitas Indonesia (UI), namun informasi berupa laporan pertanggungjawaban tidak mereka dapat. Mereka lalu mengajukan gugatan dan mengadukannya kepada Komisi Informasi Pusat. Proses sengketa informasi dimenangkan, namun, “Putusan KIP tidak membuat UI berubah, pengelolaan tetap tertutup.”

Tari menambahkan, banyak hal yang dapat dilakukan untuk memutus rantai korupsi di perguruan tinggi. Salah satunya melalui strategi pencegahan dan penindakan dari aparat penegak hukum. Tata kelola perguruan tinggi misalnya, harus dibenahi. Perguruan tinggi harus lebih transparan, “Segala kebijakan, program, dana dana yang digunakan harus dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Selain itu, penyadaran akan bahaya korupsi bagi civitas akademika menjadi penting. Terlebih apabila melihat para aktor korupsi yang sebagian berasal dari lingkungan kampus itu sendiri.

Tak kalah penting, yaitu memasukkan kurikulum antikorupsi pada setiap program studi di perguruan tinggi. Hal tersebut juga mesti dibarengi dengan penerapan nilai-nilai antikorupsi yang didiskusikan di dalam kelas. “Sejauh ini hanya pemanis saja, harusnya menjadi cerminan bagi pihak kampus.”

Dia juga menyarankan hal lain seperti dibentuknya unit pengendali gratifikasi di tiap perguruan tinggi, audit berkala oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan hukuman berat bagi pelaku korupsi di perguruan tinggi.

Tari berharap perguruan tinggi dapat menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Perguruan tinggi semestinya dapat mengajarkan nilai-nilai yang lebih baik dari yang telah ada saat ini.

Terlebih, perguruan tinggi merupakan pencetak generasi muda yang akan berpengaruh di masa mendatang. Banyak pula lulusan perguruan tinggi yang menjadi pejabat publik. Sejauh ini perguruan tinggi belum dapat memberikan contoh baik terhadap hal tersebut. “Mereka harus membenahi diri,” tutupnya.

(Egi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan