In-Depth Analysis: Dinasti Politik Melanggengkan Korupsi

Fenomena dinasti politik bukan hal baru di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan dinasti politik terus tumbuh subur, diantaranya adalah peran partai politik dalam pemilihan calon kandidat yang akan diusung dan pembatalan larangan konflik kepentingan dalam undang-undang Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi.

Partai politik cenderung memilih calon kandidat atas dasar selera elit partai. Akibatnya proses pencalonan tidak terukur, tidak memperhatikan kompetensi serta integritas calon kandidat. Di sisi lain, dinasti politik yang telah terbentuk mempertahankan kekuasaanya dengan mengunci pos-pos penting dalam tubuh partai di tingkat daerah maupun nasional. Alhasil, dinasti politik semakin langgeng berjalan di sebagian daerah di Indonesia.

Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal 7 huruf r undang-undang Pilkada, pada 8 Juli 2015 lalu, merupakan suatu kemunduran dan berpotensi memperkuat lahirnya dinasti- dinasti politik baru. Dalam aturan tersebut diatur mengenai larangan bari calon kepala daerah yang masih memiliki hubungan dengan petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan adanya putusan MK, maka kemungkinan calon kepala daerah berasal dari keluarga atau kerabat petahana akan semakin besar.

Keberlangsungan dinasti politik tentu bukan hanya mematikan iklim demokrasi tetapi juga menciptakan praktek korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch sampai Januari 2017, paling tidak ada enam kepala daerah pelaku korupsi yang diketahui berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya, yaitu Ratu Atut Chossiyah (Gubernur Banten 2007-2017) korupsi pengadaan alat kesehatan dan suap sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Atty Suharti (Walikota Cimahi 2012-2017) suap proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi, Sri hartini (Bupati Klaten 2016-2021) suap dalam promosi jabatan PNS, Yan Anton Ferdian (Bupati banyuasin 2013-2018), suap proyek pengadaan di Dinas Pendidikan, Syaukani Hasan Rais (Bupati Kutai Kertanegara 1999-2010) korupsi pembangunan Bandara Samarinda, dan Fuad Amin (Bupatin Bangkalan 2003-2012) suap jual beli gas alam untuk pembangkit listrik serta melakukan pencucian uang atas harta yang diduga dari hasil korupsi.

Paling tidak ada dua faktor penyebab dinasti politik melakukan korupsi, pertama motivasi untuk menguasai dan melanggengkan posisi politik di daerah. Sebagai pejabat di daerah, tentu akan lebih mudah mengakses, menguasai serta menggunakan sumber daya ekonomi. Akses terhadap sumber daya eknomi ini yang seringkali menimbulkan praktek korupsi. Misalnya permainan dalam penyusunan anggaran, dimana anggaran yang disusun tidak mencerminkan kepentingan masyarakat namun kepentingan kelompok tertentu. Kedua dinasti politik butuh dana besar untuk merawat kekuasaan dan jaringan yang dimilikinya baik di partai maupun organisasi masyarakat. Dana ini tentunya tidak akan keluar dari kantong pribadi dinasti politik, namun dari anggaran daerah. Misalnya saja pada kasus korupsi dana bantuan sosial yang seringkali tidak diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung dinasti politik ketimbang masyarakat yang memang seharusnya mendapatkan.

Berkaca dari banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari dinasti politik, sudah seharusnya masyarakat ikut ambil bagian untuk menghentikannya. Hal ini dapat dimulai dengan kritis memilih calon kepala daerah yang tidak terkait dengan dinastik politik pada pilkada serentak 15 Februari 2017 mendatang. Akan ada 101 daerah yang mengikuti pilkada, dimana 7 gubernur, 18 walikota dan 76 bupati yang akan dipilih oleh masyarakat di daerah masing-masing.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan