In-Depth Analysis: Tren Korupsi 2016: Fenomena Munculnya Local Elite Capture

Tepat seminggu yang lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis tren penanganan kasus korupsi 2016. Tercatat 482 kasus korupsi berhasil ditangani aparat penegak hukum baik Kejaksaan, Kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tahun 2016. Dari 482 kasus tersebut sudah ditetapkan 1.101 tersangka, dengan kerugian negara sebesar 1,45 triliun dan nilai suap sebesar 31 miliar. Dari jumlah tersebut, 6 kasus diantaranya adalah pengembangan kasus yang dilakukan KPK, diantaranya kasus E-KTP, kasus suap Akil Mochtar terkait sengketa pilkada Kabupaten Buton, dan kasus suap pengesahan APBD Musi Banyuasin.

Menurut catatan ICW, ada perkembangan korupsi yang patut dicermati, yakni adanya 62 kasus korupsi yang melibatkan 61 Kepala Desa dan terkait dengan pengelolaan dana desa. Total kerugian negara yang ditimbulkan pun tak sedikit, sebesar 10,4 miliar. Jumlah kasus korupsi dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan dikorupsi. Sektor pertama adalah keuangan daerah atau APBD, sektor kedua sektor pendidikan, sektor ketiga ditempati dana desa, sektor keempat adalah sosial kemasyarakatan, dan sektor kelima ditempati transportasi.

Bisa dikatakan, meningkatnya korupsi dana desa merupakan akibat langsung dari kucuran 47 triliun kepada seluruh desa di Indonesia oleh Jakarta. Meskipun kerugian negara baru sebesar 10,4 miliar, namun hal ini menjadi sinyal munculnya sumber daya publik baru yang rawan dikorupsi oleh aparat desa. Korupsi dana desa bisa mengancam tujuan dari kebijakan desentralisasi keuangan pada Pemerintah Desa, yakni adanya prioritas agenda pembangunan yang dianggap terbaik untuk masyarakat desa. Sayangnya, meski baru berjalan beberapa tahun, telah lahir fenomena elit lokal yang mengkooptasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa.

Dalam kajian KPK pada Januari 2015, ditemukan 14 potensi persoalan pengelolaan dana desa. Salah satu aspek yang disoroti adalah sumber daya manusia dimana tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/ fraud dengan memanfaatkan lemahnya aparat desa. Seperti yang terjadi pada program sejenis PNPM Pedesaan, tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.Berbagai kasus korupsi dana desa memberi petunjuk bahwa korupsi tidak lagi menjadi bancakan elit politik di tingkat pusat dan tingkat daerahtapi juga sudah menjadi bancakan elit lokal desa (local elite capture).

Untuk menekan korupsi dana desa, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memberdayakan pengawasan internal yang sudah ada. Namun terlebih dahulu Inspektorat atau Badan Pengawas sejenis ditempatkan pada posisi yang relatif otonom, terutama dari politisasi dan kendali pejabat tertinggi di tingkat pusat (Menteri) dan daerah (Kepala Daerah) agar pengawasan internal tidak menjadi macan ompong. Pemerintah Pusat pun perlu bertindak tegas kepada pemerintah desa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, misalnya menghentikan kucuran dana ke desa untuk kurun waktu satu tahun. Selain pengawasan, ada baiknya dimaksimalkan pula upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. (Dewi/Adnan)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan