In-Depth Analysis: Menjerat Korporasi Korup

Korporasi-korporasi nakal kini tak bisa tenang lagi. Akhir tahun 2016 lalu Mahkamah Agung  telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 tahun 2016 tentang tata cara penanganan tindak pidana oleh korporasi yang akan menjadi panduan bagi penegak hukum dalam menjerat korporasi.

Perma 13/2016 mengatur secara tegas penegak hukum dalam meminta pertanggungjawaban hukum kepada seseorang yang tercatat pada akta korporasi sebagai penanggung jawab korporasi itu, misalnya, direktur utama atau dewan  direksi. Sementara, kepada koorporasi itu sendiri akan dikenakan denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Langkah MA menerbitkan Perma ini seolah menuntaskan dahaga para penegak hukum yang selama ini tak cukup percaya diri mengusut secara hukum peran korporasi dalam berbagai kejahatan termasuk korupsi karena KUHAP belum mengatur surat dakwaan terhadap korporasi.

Pimpinan KPK, Laode M Syarif, mengaku saat ini pihaknya dan beberapa penegak hukum lainnya masih ragu untuk menjerat korporasi sebagai pelaku kasus korupsi lantaran belum ada pedoman yang cukup meskipun sebenarnya pada beberapa kasus korupsi mengindikasikan keterlibatan korporasi.

Keraguan yang dirasakan KPK tentu bisa dipahami karena lembaga antirasuah ini memiliki catatan gemilang terkait vonis bersalah para terdakwa korupsi di pengadilan tipikor. Sehingga ketika melimpahkan kasus terkait korporasi namun hakim memiliki cara pandang yang berbeda soal hukum acaranya sehingga kemudian menolak dakwaan KPK maka akan merusak kredibilitas KPK sendiri.

Di sisi lain banyak kasus korupsi dan penyuapan pada proses lelang yang melibatkan petinggi korporasi. Sayangnya, hukuman hanya menyasar pemilik, pengurus, atau petinggi korporasi. Sementara, korporasi yang menuai keuntungan justru bebas jeratan karena bisa bebas menunjuk CEO baru.

Kemudian ditinjau dari kerugian negara akibat kejahatan korporasi ternyata sangat besar. Menurut kajian KPK tahun 2010 dibidang kehutanan di 4 provinsi di Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim), dugaan kerugian negara akibat penambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan sekurang-kurangnya Rp 15,9 triliun per tahun. Angka tersebut di luar kompensasi lahan yang tidak diserahkan, biaya reklamasi yang tidak disetorkan dan denda kerusakan kawasan hutan konservasi sebesar Rp 225 miliar. 

Potensi kerugian negara dari kasus per kasus korupsi di sektor kehutanan juga tergolong besar. Kasus korupsi dalam pemberian izin kehutanan di Kabupaten Pelalawan diduga merugikan negara senilai Rp 1,3 triliun. Perkara ini melibatkan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dan sejumlah pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Perkara korupsi lainnya adalah pelepasan izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit satu juta hektar di wilayah Penajam Utara, Berau, Kalimantan Timur – yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp 346 miliar.

Terbitnya Perma merupakan langkah maju untuk mengatasi persoalan kejahatan korporasi, kini penegak hukum harus cepat berakselerasi mengusut semua kejahatan yang dilakukan, agar pertumbuhan ekonomi dan perekonomian nasional tidak terganggu oleh korporasi pemburu rente.  Keberhasilan menjerat korporasi bisa jadi akan menjadi titik awal bagi penegak hukum untuk mengusut korupsi yang murni dilakukan sektor swasta ( market corruption) sebagai mana mandat UNCAC yang telah diratifikasi dalam UU No.7 tahun 2006. (SNYT)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan