In-Depth Analysis: Buruk Etika Hakim Konstitusi

Kredibilitas Mahkamah Konstitusi (MK) kembali ke titik nadir. Belum selesai dengan proses hukum penyuapan yang menimpa Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, MK kembali disorot karena persoalan integritas dan komitmen antikorupsinya.

Berdasarkan sejumlah pemberitaan media disebutkan separuh dari jumlah hakim konstitusi yang sekarang berjumlah 8 orang ini diduga belum melaporkan atau memperbarui laporan harta kekayaannya kepada KPK. Dari daftar yang beredar tersebut terdapat nama Arief Hidayat, Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya dapat menjadi contoh dan panutan bagi hakim-hakim yang lain.

Arief Hidayat, saat menjabat sebagai Wakil Ketua MK pernah melaporkan kekayaannya kepada KPK. Namun ketika dilantik sebagai Ketua MK, dirinya belum memperbarui. Hakim Konstitusi lainnya yang belum memperbarui kekayaan adalah Anwar Usman (Wakil Ketua MK), Suhartoyo, dan Aswanto.

Berdasarkan data Anti Corruption Clearing House - Komisi Pemberantasan Korupsi (ACCH-KPK) hingga 1 Maret 2017 baru 4 orang yang dinilai memiliki kepatuhan dalam melaporkan kekayaannya sebagai Hakim Konstitusi. Keempat orang tersebut adalah Maria Farida Indrati (melapor 2015 dan kekayaan Rp 8,5 miliar), Wahiduddin Adams (melapor 2014 dan kekayaan Rp 3,7 miliar), Dewa Gede Palguna (melapor 2015 dan kekayaan Rp 5,2 miliar), dan Manahan M. P. Sitompul (melapor 2016 dan kekayaan Rp 1,132 miliar).

Regulasi yang mewajibkan Penyelenggara Negara – termasuk Hakim Konstitusi – untuk melaporkan harta kekayaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Dalam Pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa Setiap Penyelenggara Negara (PN) berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.

Pada sisi lain ketidakpatuhan tersebut merupakan bentuk pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi khususnya berkaitan dengan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan pada butir ke-6 menyebutkan Hakim konstitusi harus menginformasikan secara terbuka tentang keadaan kekayaan pribadi dan keluarganya atas kesadaran sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tidak melaporkan atau menginformasikan kekayaan secara terbuka sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka tindakan Hakim konstitusi tersebut dapat berakibat pada turunnya rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan publik terhadap Hakim Konstitusi maupun MK secara kelembagaan. Kondisi ini juga berdampak pada keraguan publik tentang komitmen antikorupsi dari masing-masing individu Hakim Konstitusi.

Ketidakpatuhan atas kewajiban pelaporan kekayaan tersebut kemudian mendorong sejumlah LSM seperti Indonesia Corruption Watch, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, dan Indonesia Budget Centre yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK untuk melaporkan 4 hakim konstitusi kepada Dewan Etik MK atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.

Untuk mengembalikan citra MK di mata publik maka Dewan Etik MK - ada atau tidak adanya laporan pengaduan - sebaiknya menjatuhkan sanksi bagi Hakim Konstitusi yang dinilai tidak patuh terhadap perintah Undang-Undang khususnya mengenai kewajiban pelaporan kekayaan sebagai penyelenggara negara. Seluruh Hakim Konstitusi juga harus segera melaporkan dan memperbarui kekayaaannya dengan jujur dan secara berkala sebagai bentuk komitmen antikorupsi mereka.*** (Emerson/Adnan)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan